Banjir Sumatra Bukan Sekadar Cuaca, Melainkan Akumulasi Salah Kelola Ruang
Info Terkini | 2025-12-11 14:50:16
Banjir yang melanda berbagai wilayah di Sumatra dalam beberapa pekan terakhir seharusnya menjadi pertanda keras bahwa bencana ini bukan lagi fenomena alam semata. Hujan deras memang menjadi pemicu, tetapi bukan penyebab utama. Di balik air yang meluap dan rumah-rumah yang terendam, ada persoalan jauh lebih mendasar: tata kelola ruang yang tidak sesuai, pengawasan lingkungan yang lemah, dan kebijakan pembangunan yang lebih sering tunduk pada kepentingan jangka pendek daripada keberlanjutan jangka panjang. Ketika pola yang sama berulang dari tahun ke tahun, maka kesimpulannya jelas, banjir Sumatra merupakan akumulasi dari kegagalan manusia mengelola ruang hidupnya sendiri.
Dalam dua dekade terakhir, Sumatra kerap menjadi tempat pembangunan yang berorientasi pada ekstraksi sumber daya. Perluasan perkebunan sawit, pertambangan, hingga pembangunan permukiman tanpa kajian daya dukung lingkungan telah mengubah wajah ekologis pulau ini secara drastis. Hutan yang seharusnya menjadi penyangga air diubah menjadi lahan monokultur, membuat tanah kehilangan kemampuan menyerap curah hujan tinggi. Ada daerah yang dulu hijau kini lebih mirip wilayah gersang rapuh, mudah longsor, dan tidak mampu menahan air dalam jumlah besar. Ketika hujan turun sebentar saja, limpasan air meningkat berlipat. Maka tidak mengherankan bila sungai yang dulu tenang kini meluap hanya dalam hitungan jam.
Masalah tidak berhenti di kawasan hulu. di wilayah perkotaan, persoalan tata ruang justru lebih kompleks. Banyak kota di Sumatra berkembang tanpa rencana drainase yang memadai. Ruang terbuka hijau menyusut, beton mendominasi, dan sistem resapan nyaris tidak berfungsi. Aliran sungai dipersempit demi proyek properti, rawa dikeringkan untuk pembangunan jalan, dan saluran drainase berubah menjadi tempat pembuangan sampah. Pemerintah daerah sering kali tersandera kepentingan ekonomi jangka pendek, mengabaikan analisis risiko bencana yang seharusnya menjadi basis perencanaan. Ketika wilayah yang seharusnya menjadi area tangkapan air dijadikan kompleks permukiman, maka banjir hanya menunggu waktu untuk terjadi.
Salah satu kenyataan pahit dalam penanganan banjir Sumatra adalah minimnya implementasi kebijakan tata ruang yang sebenarnya sudah tersedia. RTRW daerah kerap hanya menjadi dokumen administratif tanpa kekuatan eksekusi. Pelanggaran alih fungsi lahan sering dibiarkan, bahkan kadang dilegalkan secara bertahap. Pengawasan terhadap korporasi besar yang mengelola lahan dalam skala masif juga tidak konsisten. Akibatnya, bencana ekologis terjadi secara structural ditopang oleh kombinasi antara lemahnya penegakan hukum dan minimnya komitmen politik untuk menjaga ekosistem secara utuh.
Di sisi lain, masyarakat menjadi korban terbesar dari kebijakan ruang yang keliru. Setiap banjir, ribuan keluarga mengungsi, anak-anak kehilangan akses pendidikan, dan aktivitas ekonomi terhenti. Kerugian material terus menumpuk, sementara trauma sosial tidak pernah benar-benar diatasi. Namun ironisnya, setelah air surut, diskusi publik kembali tenggelam bersama lumpur yang mengering. Tidak ada evaluasi mendalam, tidak ada koreksi kebijakan besar-besaran, dan tidak ada komitmen nyata untuk mengembalikan fungsi ekologis yang sudah rusak parah.
Pembicaraan soal banjir Sumatra harus bergeser dari sekadar cuaca ekstrem menuju persoalan tata kelola ruang. Selama paradigma pembangunan tidak berubah dari eksploitasi menuju keberlanjutan banjir akan terus menjadi “ritual tahunan” yang memakan korban. Pemerintah daerah dan pusat perlu memperkuat penegakan hukum lingkungan, memulihkan kawasan hulu, memperbaiki tata kelola drainase kota, serta memastikan bahwa setiap izin pembangunan benar-benar melalui kajian risiko bencana. Tanpa langkah-langkah ini, Sumatra akan terus menghadapi ancaman yang sebenarnya bisa dicegah. Banjir bukan takdir, melainkan cermin dari kesalahan pengelolaan ruang yang harus segera diperbaiki.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
