Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image marsya Kayla sabina

Banjir Sumatera dan Krisis Tata Ruang

Politik | 2025-12-30 01:20:12
sumber: kompas.com

Banjir yang Bukan Kebetulan

Banjir bandang dan longsor yang melanda berbagai wilayah di Sumatera dalam beberapa waktu terakhir kembali menimbulkan korban jiwa serta kerusakan permukiman. Akses transportasi terputus, aktivitas ekonomi terganggu, dan ribuan warga terdampak. Dalam banyak laporan, hujan dengan intensitas tinggi kerap disebut sebagai pemicu utama. Namun, penjelasan tersebut belum sepenuhnya menjawab mengapa dampak yang muncul begitu besar dan berulang di wilayah yang sama.

Jika ditelusuri lebih jauh, kawasan yang terdampak parah justru berada di wilayah yang mengalami perubahan fungsi lahan secara signifikan. Hutan yang sebelumnya berperan sebagai penyangga ekologis perlahan berkurang dan digantikan oleh perkebunan skala besar. Kondisi ini menunjukkan bahwa banjir dan longsor di Sumatera tidak berdiri sendiri, melainkan berkaitan erat dengan cara ruang direncanakan dan dimanfaatkan.

Banjir sebagai Fakta Sosial

Bagi masyarakat setempat, banjir dan longsor bukan sekadar peristiwa alam, melainkan pengalaman yang mengganggu keberlangsungan hidup. Rumah terendam, lahan pertanian rusak, dan sumber penghasilan hilang dalam waktu singkat. Warga dengan sumber daya terbatas menjadi pihak yang paling rentan, karena pilihan untuk berpindah atau memulihkan kondisi pascabencana sangat terbatas.

Namun, pengalaman warga kerap tenggelam dalam pembacaan yang terlalu menyederhanakan bencana. Perhatian publik lebih banyak tertuju pada penanganan darurat dan distribusi bantuan, sementara kondisi struktural yang membentuk kerentanan wilayah jarang dibahas secara mendalam. Akibatnya, bencana diperlakukan sebagai kejadian sesaat, bukan sebagai persoalan yang menuntut evaluasi kebijakan jangka panjang.

Opini Publik dalam Perspektif Walter Lippmann

Dalam Public Opinion, Walter Lippmann menjelaskan bahwa masyarakat sering memahami realitas melalui gambaran-gambaran sederhana yang dibentuk dari informasi terbatas dan narasi yang berulang. Realitas yang kompleks kemudian direduksi agar mudah dipahami, meskipun berisiko mengaburkan akar persoalan.

Kerangka ini relevan untuk membaca bagaimana banjir di Sumatera dipersepsikan. Bencana lebih sering dipahami sebagai konsekuensi alam, bukan sebagai hasil dari kebijakan tata ruang dan pengelolaan lingkungan. Ketika opini publik terbentuk demikian, ruang untuk mempertanyakan keputusan-keputusan struktural menjadi sempit. Dorongan terhadap pembenahan kebijakan pun melemah, karena bencana dianggap sebagai sesuatu yang tidak terhindarkan.

Krisis Tata Ruang dan Alih Fungsi Lahan

Krisis tata ruang menjadi benang merah dari berbagai bencana ekologis di Sumatera. Alih fungsi hutan menjadi perkebunan monokultur telah mengurangi daya serap tanah dan mengganggu keseimbangan hidrologis. Sungai kehilangan ruang limpasan, sementara kawasan perbukitan menjadi lebih rentan terhadap longsor.

Kondisi ini diperparah oleh lemahnya pengawasan terhadap pelaksanaan rencana tata ruang. Perizinan lahan kerap berjalan tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan secara memadai. Tata ruang yang seharusnya berfungsi sebagai instrumen pengendali justru kalah oleh kepentingan ekonomi jangka pendek. Akibatnya, risiko bencana terus terakumulasi dan pada akhirnya ditanggung oleh masyarakat.

Membaca Ulang Bencana

Banjir dan longsor di Sumatera perlu dibaca sebagai peringatan atas rapuhnya tata kelola ruang. Selama bencana terus dipahami sebagai peristiwa alam semata, krisis tata ruang akan tetap tersembunyi di balik narasi cuaca ekstrem. Dalam kerangka Lippmann, perubahan kebijakan memerlukan perubahan cara publik memahami realitas.

Membaca bencana secara utuh berarti mengakui bahwa air dan tanah bergerak mengikuti keputusan manusia. Tanpa pembenahan tata ruang yang konsisten dan berpihak pada keberlanjutan, bencana akan terus hadir sebagai konsekuensi dari ruang yang dikelola tanpa kehati-hatian.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image