Marhaenisme dan Perlawanan terhadap Kapitalisme
Politik | Friday, 01 Sep 2023, 11:14 WIBKetika menyebut Sukarno pasti di benak kita akan muncul istilah marhaenisme, lalu apa sebetulnya marhaenisme itu? Marhaenisme adalah sebuah ideologi yang membela kaum bawah yang menyuarakan anti kemiskinan. Marhaenisme sangat melekat di tubuh PNI sehingga para pendukung PNI biasa di sebut dengan kaum marhaen. Kini, Marhaenisme menjadi ideologi politik dan asas Gerakan mahasiswa nasional Indonesia (GmnI), Untuk memahami ideologi ini, kita perlu menengok sejarahnya.
Ideologi Marhaenisme lahir dari perjumpaan Sukarno dengan seorang petani miskin di Bandung Selatan yang daerah persawahannya terhampar luas. Bung Karno, yang waktu itu menjadi mahasiswa THS Bandung (sekarang ITB) kemudian terlibat dalam suatu percakapan dengan petani berpakaian lusuh yang tengah mencangkul sawahnya. Sukarno lalu menanyakan status kepemilikan dan hasil dari sawah itu.
Petani itu pun menceritakan bahwa ia memiliki sendiri sawahnya yang sempit dengan hasil yang sekedar cukup untuk menghidupi keluarganya. Petani itu memiliki sendiri pondok tempat tinggalnya. Dengan perkataan lain, ia memiliki – sekalipun serba sedikit, modal dan alat produksinya.
Walaupun sawah, bajak dan cangkul adalah kepunyaan sendiri dan ia mengejakannya sendiri, namun hasil yang didapat tidak pernah mencukupi untuk istri dan keempat anaknya. Petani itu bernama Mang Aeng, suatu nama yang konon umum di kalangan rakyat jelata Jawa Barat di tahun 1920-an itu. Sukarno menyebutnya Marhaen.
Ia akan memakai nama itu untuk menyebut jutaan orang Indonesia yang nasibnya seperti si Marhaen orang kecil dengan tanah milik kecil, dengan alat-alat kecil sekedar cukup untuk dirinya sendiri. Kaum Marhaen, menurut Sukarno, berbeda dengan kaum proletar menurut paham Marxisme.
Kaum proletar adalah mereka yang sama sekali tidak ikut memiliki sarana produksi, berbeda dengan si Marhaen yang sekalipun “orang kecil”, miskin, namun bukan tergolong proletar. Sejak itu istilah Marhaen lahir. Pada dasarnya Marhaenisme menuntut perlunya persatuan di antara semua golongan melawan kekuatan kolonialis-imperialis.
Di samping itu juga mempertentangkan gagasan sosialisme, nasionalisme dan demokrasi melawan kapitalisme, neoliberalisme dan rasisme. Tujuan perjuangan adalah untuk kemenangan massa Marhaen.
Dari peristiwa pertemua itu kemudian Sukarno terpicu berbagai pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan ini akhirnya melahirkan berbagai dialektika pemikiran sebagai landasan gerak selanjutnya. Kehidupan, kepribadian yang lugu, bersahaja namun tetap memiliki semangat berjuang memenuhi kebutuhan hidupnya inilah, maka nama petani tersebut oleh Bung Karno diabadikan dalam setiap rakyat Indonesia yang hidupnya tertindas oleh sistem kehidupan yang berlaku.
Sebagai penyesuaian bahasa saja, nama Mang Aen menjadi Marhaen. Istilah ini untuk pertama kalinya digunakan oleh Soekarno di dalam pleidoinya tahun 1930, Indonesia Menggugat untuk mengganti istilah proletar. Marhaenisme sebagai suatu ajaran kemudian makin berkembang terutama oleh Bung Karno dengan tulisan dan pidato-pidatonya. Antara lain pidatonya 1 Juni 1945 yang umum disebut pidato Lahirnya Pancasila.
Marhaenisme kemudian dianggap sebagai perasan semua ajaran Soekarno. Setelah Indonesia merdeka, PNI kemudian memakainya sebagai asas perjuangan dan menyebut organisasinya sebagai Front Marhaenis. Dalam sejarah PNI, berhagai rumusan tentang Marhaenisme telah dibuat. Dalam masa awalnya setelah kemerdekaan, para pemimpin PNI sering dikecam kehidupan mereka tidak sesuai dengan konsep Marhaenis yang mereka perjuangkan.
Rumusan Marhaenisme juga sering berubah sesuai dengan perkembangan politik — dan komposisi pimpinan PNI. Pertentangan dalam tubuh pimpinan PNI sendiri mengakibatkan antara lain pemisahan dan pembentukan partai baru, Partai Indonesia Raya (PIR, 1948), Partai Rakyat Nasional (PRN, 1950) dan Partindo (1958). Pada 1960 PNI memberi gelar Presiden Soekarno sebagai “Bapak Marhaenisme” dan rumusan resmi Marhaenisme mempersamakannya dengan Pancasila dan Manipesto Politik 1959 (Manipol).
Setelah 1960 PNI bergeser ke kiri– konon untuk mengimbangi berkembangnya PKI, hingga kemudian muncul rumusan Marhaenisme sebagai Marxisme yang diterapkan di Indonesia. Beberapa tokoh yang menentang kemudian dituding scbagai “Marhaenis gadungan.” Rumusan ini diubah dan dikembalikan lagi pada persamaan Marhaenisme dengan Pancasila pada 29 November 1966, lewat suatu deklarasi Yudya Pratidina Marhaenis.
Marhaenisme adalah ideologi yang menentang penindasan manusia atas manusia dan bangsa atas bangsa. Untuk masa sekarang, ideologi ini telah berkembang dan dikenal dengan nama Marhaenisme Kekinian. Ideologi ini dikembangkan dari pemikiran presiden pertama Indonesia, Sukarno. Tujuannya adalah untuk mengangkat kehidupan rakyat/orang kecil.
Orang kecil yang dimaksud adalah petani dan buruh yang hidupnya selalu dalam cengkeraman orang-orang kaya dan penguasa. Bagi Soekarno ideologi marhaenisme adalah ideologi perjuangan bagi golongan masyarakat yang dimiskinkan oleh sistem kolonoalisme, imperialisme, feodalisme dan kapitalisme.
Untuk dapat memahami marhaenisme menurut Soekarno harus menguasai dua pengetahuan. Menurut marhaenisme, agar mandiri secara ekonomi dan terbebas dari eksploitasi pihak lain, tiap orang atau rumah tangga memerlukan faktor produksi atau modal. Wujudnya dapat berupa tanah atau mesin/alat. Dalam konteks modern, kendaraan, perangkat teknologi informasi, alat dapur dan barang elektronik bisa saja diberdayakan dengan tepat guna sebagai modal atau faktor produksi.
Meskipun tidak besar, kepemilikan modal sendiri ini perlu untuk menjamin kemandirian orang atau rumah tangga itu dalam perekonomian. Sukarno dalam pidato Hari Kemerdekaan RI tahun 1963 mengatakan dengan lantang bahwa “Kita bangsa besar, kita bukan bangsa tempe. Kita tidak akan mengemis, kita tidak akan minta-minta apalagi jika bantuanbantuan itu diembel-embeli dengan syarat ini syarat itu ! Lebih baik makan gaplek tetapi merdeka, dari pada makan bestik tetapi budak.”
Kutipan pidato ini menunjukkan betapa Soekarno ingin mengajak kepada seluruh masyarakat Indonesia melalui ideologi marhaen
untuk menjadi bangsa yang mandiri, berdaulat
secara ekonomi dan tidak tergantung pada
negara-negara asing. Ideologi marhaen ini
menegaskan tentang keberpihakan Soekarno
pada prinsip kemandirian yang harus dimiliki
oleh bangsa dan penentangan terhadap segala
bentuk penjajahan.
Berbeda dengan kapitalisme, modal dalam
marhaenisme bukanlah untuk ditimbun atau
dilipatgandakan, melainkan diolah untuk
mencukupi kebutuhan hidup dan menghasilkan
surplus. Petani menanam untuk mencukupi
makan keluarganya sendiri, barulah menjual
surplus atau kelebihannya ke pasar. Penjahit,
pengrajin atau buruh memproduksi barang yang
kelak sebagian akan dipakainya sendiri, walau
selebihnya tentu dijual. Idealnya, syarat
kecukupan-sendiri ini harus dipenuhi lebih dulu
sebelum melayani pasar. Ini artinya ketika
buruh, pengrajin atau petani memproduksi
barang yang tak akan dikonsumsinya sendiri, ia
cuma bertindak sebagai faktor produksi bagi
pihak lain, yang menjadikannya rawan untuk
didikte oleh pasar atau dieksploitasi.
Secara agregat (keseluruhan) dalam sistem
ekonomi marhaenisme, barang yang tidak/
belum diperlukan tidak akan diproduksi, sebab
setiap orang/rumah tangga tentu memastikan
dulu profil dan taraf kebutuhannya sendiri
sebelum membuat apapun. Inovasi kelahiran
produk baru akan terjadi manakala
kebutuhannya sudah kongkret betul. Cara ini
mendorong tercapainya efisiensi, sekaligus
mencegah pemborosan sumber daya serta sikap
konsumtif. Dan karena hanya difungsikan
sekadar menghasilkan surplus, modal yang
tersedia juga mustahil ditimbun atau
diselewengkan untuk menindas tumbuhkembangnya perekonomian pihak lain.
Di dalam marhaenisme terdapat faham
kebangsaan yang berdasarkan
perikemanusiaan, persamaan nasib, gotong
royong, hidup kemasyarakatan yang sehat,
kerjasama untuk mencapai sama bahagia, tidak
untuk menggencet dan menghisap. Jadi dalam
faham kebangsaan itu harus ada semangat
kerjasama dan gotong royong antar bangsa
Indonesia dan antara bangsa Indonesia dengan
bangsa-bangsa lain di dunia.
Sosio-demokrasi adalah faham yang
menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Gagasan
ini merupakan reaksi terhadap demokrasi yang
muncul di barat pada waktu Soekarno
mencetuskan ide ini. Demokrasi di Barat yang
dipahami Soekarno adalah Demokrasi yang
lebih bersifat liberalistis yang hanya menjamin
kebebasan warganya dalam bidang politik saja
dan tidak berlaku di bidang ekonomi.
Oleh karena itu supaya tidak terjadi
penindasan dan ada kebebasan di bidang
ekonomi maka sistem kapitalisme didalam
masyarakat itu harus dihapus, karena selama
sistem itu masih ada tidak mungkin terjadi
kebebasan ekonomi. Rakyat yang mengatur
negaranya, perekonomiannya dan kemajuannya
supaya segala sesuatunya bisa bersifat adil, tidak
membeda-bedakan orang yang satu dengan
orang yang lainnya.
Rakyat menginginkan berlakunya demokrasi sosial yaitu terlaksananya demokrasi politik dan
demokrasi ekonomi. Sukarno pun berhasil
menggelorakan semangat revolusi dan
mengajak bangsa Indonesia untuk melepaskan
diri dari imprealisme dengan konsep “berdiri di
atas kaki sendiri” atau yang lebih dikenal dengan
“Berdikari.” Konsep ini merupakan perlawanan
Soekarno atas bentuk neokolonialisme yang
ingin menjajah bangsa dengan ketergantungan
pada hutang luar negeri.
Pikiran-pikiran dasar tentang perjuangan
rakyat Indonesia melawan kapitalisme,
imperialisme, dan kolonialisme seperti yang
dimaksudkan dalam sosio-nasionalisme dan
sosio demokrasi tersebut, kemudian dinamakan
dengan ideologi Marhaenisme sebagai simbol
kekuatan rakyat yang berjuang melawan segala
sistem yang menindas dan memelaratkan
rakyat. Ideologi ini merupakan bentuk
perlawanan atas bangsa Indonesia terhadap
sistem imperalisme dan kolonialisme yang
sudah menginjak-injak bumi Indonesia dan
kapitalisme yang telah berkembang di barat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.