Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image haura Insiyah

Judol Merajalela, Remaja Terjerat: Negara Tutup Mata?

Pendidikan dan Literasi | 2025-12-08 07:30:13

Oleh: Ayu Lestari

Kebiasaan menggunakan pinjol (pinjaman online) tidak hanya menyasar orang dewasa, tetapi juga remaja. Saat ini banyak remaja yang terjangkit tren tersebut. Salah satunya terjadi pada seorang siswa kelas VIII SMP di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Berawal dari bermain gim daring, remaja tersebut tertarik mencoba judi online (judol). Karena terjerat judi online, ia kemudian mengambil banyak pinjol hingga mencapai jutaan rupiah, bahkan berutang kepada teman-temannya sebesar empat juta rupiah demi membayar pinjol tersebut. Pada akhirnya ia bolos sekolah selama satu bulan karena merasa malu akibat tidak mampu melunasi utang-utangnya (Kompas.com, 29-10-2025).

Fenomena tersebut hanyalah satu dari sekian banyak kasus pinjol dan judol yang menyasar generasi muda. Hal ini terjadi karena konten judi online telah merambah berbagai situs, termasuk situs pendidikan dan gim daring, sehingga siswa semakin rentan terpapar.

Kasus ini menunjukkan adanya celah besar dalam pengawasan dan pendampingan siswa oleh orang tua maupun sekolah. Seorang siswa dapat terlibat judol dan pinjol dalam jangka waktu cukup lama tanpa adanya pencegahan dari keluarga dan sekolah.

Judol dan pinjol adalah lingkaran setan yang akan terus menyasar generasi muda dan masyarakat luas selama sistem sekuler masih mewarnai pemikiran umat, termasuk dalam sistem pendidikan. Sistem pendidikan hari ini hanya berfokus mencetak generasi muda yang siap kerja dan mampu meningkatkan perekonomian keluarga, tetapi mengabaikan fondasi dasar pendidikan akidah. Akibatnya, mereka mungkin kaya akan pengetahuan umum tetapi miskin akidah Islam serta pertahanan diri (mental) dalam merespons berbagai persoalan hidup.

Kasus-kasus seperti ini sangat memprihatinkan karena menunjukkan kegagalan sistem pendidikan dan lemahnya pengawasan negara terhadap konten-konten tidak bermanfaat yang merusak moral generasi. Kurikulum pendidikan semakin sarat dengan nilai-nilai materialistis yang mengabaikan nilai agama dan moral, sehingga membentuk pola pikir yang keliru—keinginan untuk kaya secara instan tanpa kerja keras melalui judol.

Judol mudah diakses meski dengan modal kecil. Perilaku remaja yang terlibat pun hanya mengikuti tren tanpa memedulikan standar halal dan haram. Minimnya pemahaman masyarakat tentang keharaman judol dan pinjol membuat kasus-kasus ini terus meningkat. Perjudian, baik online maupun konvensional, semakin marak terjadi di negeri mayoritas muslim ini.

Iklan judol dan pinjol sangat mudah diakses para remaja pengguna gawai yang krisis akidah, tanpa adanya filter dari negara. Upaya penegakan hukum yang dilakukan negara masih bersifat reaktif (muncul setelah ada kasus) dan teknis semata, bukan sistemik dan menyeluruh, misalnya dengan menutup total akses judol dan pinjol.

Kacau-balaunya standar halal dan haram di masyarakat merupakan buah diterapkannya sistem sekuler kapitalis yang hanya melihat manfaat duniawi. Sistem ini jelas batil karena bertentangan dengan ajaran Islam. Prinsip bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat menjadikan aturan buatan manusia lebih tinggi kedudukannya daripada hukum Allah Ta’ala. Akibatnya, perkara yang benar (hak) dan salah (batil) bercampur aduk, termasuk dalam persoalan perjudian ini.

Perjudian dalam berbagai bentuk hukumnya haram bagi umat Islam. Allah Ta’ala berfirman dalam QS. Al-Maidah ayat 90 yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, berjudi, berkorban untuk berhala, dan mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu beruntung.” Ayat ini menegaskan bahwa berjudi adalah perbuatan setan dan harta yang diperoleh darinya adalah haram.

Oleh karena itu, penting menerapkan pendidikan Islam yang menekankan penguatan akidah agar peserta didik memiliki arah dalam bertindak, tidak hanya mengandalkan pendidikan akademik semata. Untuk mewujudkan hal tersebut, dibutuhkan peran negara dalam menerapkan sistem pendidikan Islam yang berstandar syariat dan mampu membentuk generasi saleh berkepribadian Islam.

Dan hanya khilafahlah yang mampu menerapkan sistem pendidikan Islam secara menyeluruh bersama syariat Islam lainnya, demi terwujudnya kehidupan yang tenteram, tenang, dan sejahtera dalam keimanan serta ketaatan kepada Allah Ta’ala.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image