Mengintip Cara Otak Polyglot Bekerja: Latihan, Motivasi, dan Neuroplastisitas
Eduaksi | 2025-12-07 09:59:51Fenomena polyglot semakin mendapat perhatian dalam beberapa tahun terakhir. Banyak YouTuber dan influencer bahasa menunjukkan kemampuan berbicara dalam lima hingga sepuluh bahasa dengan lancar. Hal ini membuat masyarakat sering berasumsi bahwa para polyglot memiliki “bakat khusus” atau otak yang berbeda sejak lahir. Namun, apakah benar demikian? Atau kemampuan tersebut justru hasil latihan yang sangat terstruktur?
Polyglot sendiri merujuk pada seseorang yang mampu menggunakan banyak bahasa secara aktif—bukan hanya menghafal kosakata dasar, tetapi dapat berbicara, memahami, membaca, hingga menulis dalam konteks nyata. Kemampuan ini memang tidak umum, tetapi penelitian menunjukkan bahwa faktor terpenting bukanlah genetika, melainkan pengalaman, paparan bahasa, dan konsistensi latihan.
Setiap kali seseorang mempelajari kata baru, pola fonetik, atau struktur tata bahasa, otaknya membentuk koneksi saraf baru melalui proses neuroplasticity. Neuroplastisitas adalah kemampuan otak beradaptasi berdasarkan pengalaman, sehingga jaringan saraf dapat menjadi lebih kuat atau lebih efisien seiring latihan berulang. Area Broca berperan dalam produksi bahasa, sementara area Wernicke menangani pemahaman. Keduanya terhubung oleh fasciculus arcuatus, jalur saraf yang membantu otak memproses bahasa secara terpadu. Selain itu, hippocampus menyimpan memori jangka panjang, termasuk memori bahasa, sehingga sering disebut sebagai “gudang kosakata”.
Beberapa penelitian menemukan bahwa pembelajar bahasa intensif menunjukkan perkembangan pada area tertentu di otak. Studi dari Lund University misalnya, menemukan bahwa bilingual dan multilingual memiliki hippocampus dan korteks serebral yang lebih berkembang. Namun, temuan ini tidak berarti setiap polyglot memiliki ukuran otak yang lebih besar. Yang lebih konsisten adalah meningkatnya efisiensi jaringan otak mereka. Semakin sering seseorang menggunakan bahasa kedua atau ketiga, semakin cepat prefrontal cortex mengatur fokus, menghambat gangguan, dan memilih bahasa yang relevan.
Kemampuan beralih bahasa (code switching) juga menarik untuk dibahas. Proses ini melibatkan dorsolateral prefrontal cortex, bagian otak yang berfungsi seperti “manajer” yang memutuskan bahasa mana yang harus diaktifkan atau ditekan. Pada pemula, proses ini terasa berat dan membutuhkan usaha sadar. Namun, pada polyglot berpengalaman, jalur saraf yang mengatur pergantian bahasa menjadi sangat efisien sehingga pergantian dapat terjadi secara otomatis. Ini menunjukkan bahwa kemampuan tersebut merupakan hasil latihan, bukan kemampuan bawaan sejak lahir.
Selain aspek neurologis, terdapat faktor psikologis yang turut membentuk kemampuan polyglot. Banyak dari mereka memiliki motivasi intrinsik yang kuat, seperti rasa ingin tahu terhadap budaya, kecintaan pada komunikasi, atau minat akademis. Motivasi seperti ini membuat proses belajar bahasa menjadi lebih menyenangkan, sehingga meningkatkan konsistensi dan durasi latihan. Pola latihan yang teratur inilah yang mempercepat penguatan jalur saraf di otak.
Polyglot juga biasanya memanfaatkan strategi belajar yang efisien, misalnya menggunakan kesamaan tata bahasa antar bahasa tertentu, belajar melalui konteks nyata, atau menggunakan metode imersi mandiri melalui media, buku, dan percakapan. Strategi ini membuat proses pembelajaran lebih cepat dibandingkan memulai setiap bahasa dari nol. Di sisi lain, lingkungan juga berpengaruh. Seseorang yang berada dalam lingkungan multibahasa, tinggal di negara asing, atau bekerja dalam komunitas internasional akan memiliki peluang paparan yang lebih besar.
Penting untuk dipahami bahwa menjadi polyglot tidak identik dengan memiliki IQ tinggi atau bakat intelektual luar biasa. Banyak penelitian menemukan bahwa multilingualisme meningkatkan fungsi kognitif seperti fleksibilitas berpikir, memori kerja, kemampuan pemecahan masalah, serta pengendalian perhatian. Namun efek ini bersifat adaptif—artinya muncul karena latihan, bukan karena kemampuan bawaan. Anak-anak bilingual juga diketahui memiliki prefrontal cortex yang lebih berkembang dalam hal kontrol eksekutif, tetapi hal ini terjadi karena mereka terbiasa memilah bahasa sejak kecil.
Pada akhirnya, menjadi polyglot adalah hasil kombinasi antara latihan konsisten, motivasi kuat, strategi yang tepat, dan adaptasi otak melalui neuroplastisitas. Otak manusia sangat fleksibel: ia akan membentuk jalur baru jika diberi latihan memadai dan paparan terus-menerus. Tidak ada “struktur otak ajaib” yang hanya dimiliki segelintir orang. Yang ada adalah otak yang berlatih dan berkembang sesuai kebiasaan sehari-hari.
Fenomena polyglot justru menjadi cerminan luar biasa dari kemampuan otak manusia untuk beradaptasi. Siapa pun dapat mempelajari lebih banyak bahasa jika memahami prosesnya, menggunakan strategi yang tepat, dan mau konsisten. Pada akhirnya, yang membuat polyglot menarik bukanlah keunikannya sebagai individu “berbakat”, melainkan bagaimana mereka memaknai bahasa sebagai jendela untuk memahami dunia yang lebih luas.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
