Diskursus Gizi Anak dan Polemik Kebijakan Makanan Bergizi Gratis (MBG)
Politik | 2025-11-18 09:01:52
Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) merupakan program yang dicetuskan oleh Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto yang dilaksanakan secara serentak mulai tanggal 6 Januari 2025 di seluruh wilayah Indonesia.
Dilansir dari situs Republika, pemerintah telah menetapkan alokasi anggaran untuk pelaksanaan program ini sebesar Rp 71 triliun yang diambil dari dana APBN 22025, dengan target penerima manfaat mencapai 17,9 juta orang, di antaranya 15,5 juta pelajar, dan 2,4 juta ibu hamil, ibu menyusui, dan balita. Hingga kini, baru tercatat sebanyak 2 juta lebih orang yang menerima manfaat dari program tersebut, meliputi anak-anak sekolah dari pra SD hingga SMA, pondok pesantren, sekolah berkebutuhan khusus (SLB), dan ibu hamil, serta ibu menyusui.
Sebagaimana tercatat dalam dokumen “Perubahan Ketiga Atas Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Bantuan Pemerintah untuk Program Makan Bergizi Gratis Tahun Anggaran 2025” oleh Badan Gizi Nasional, inisiatif ini lahir dari latar belakang tingginya angka stunting dan gizi buruk di Indonesia yang mengindikasikan sebagian besar anak Indonesia masih mengalami hambatan pertumbuhan fisik maupun kognitignya.
Oleh karena itu, tujuan dari adanya program ini ialah memudahkan ibu hamil dan anak-anak dalam menjangkau makanan bergizi, sehingga dapat meningkatkan kualitas kelahiran dan mendorong pertumbuhan anak sehat yang kelak dapat mewujudkan generasi muda yang cerdas, aktif, dan produktif. Dengan demikian, standar gizi yang digunakan dalam program ini mengacu pada Permenkes Nomor 28 tahun 2019 tentang Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan untuk Masyarakat Indonesia.
Namun, kenyataan di lapangan, sebagian masyarakat menilai realisasi program ini belum sepenuhnya berjalan secara konsisten. Kualitas menu dan tata kelola menjadi sorotan. Saat diperiksa, hanya sekitar 30-35% menu yang diperiksa memenuhi angka kecukupan gizi yang direncanakan.
Anggaran yang semulanya sebesar Rp 15 ribu dipotong menjadi Rp 10 ribu per porsi sontak hal ini menimbulkan kontroversi. Para karyawan dapur MBG mengalami kesulitan dalam menyediakan makanan lengkap berisi karbohidrat, protein, sayur, buah, dan minuman lantaran harga tersebut dinilai tidak realistis untuk memenuhi kebutuhan gizi ideal apabila melihat fluktuasi harga bahan pokok dan biaya distribusinya.
Ada juga laporan yang menyatakan bahwa menu yang disajikan tidak selalu menyesuaikan dengan selera anak-anak, sehingga menciptakan masalah baru dari hasil pembuangan sisa makanan (food waste). Selain itu, Badan Gizi Nasional juga mencatat jumlah kasus keracunan MBG mencapai 11.640 ribu orang. Saat ditelusuri, sebagian dapur atau unit penyedia tidak memenuhi standar higienitas, sehingga harus dinonaktifkan sementara.
Pada akhirnya, program MBG menjadi langkah ambisius yang membutuhkan sejumlah perbaikan yang bersifat mendasar. Pemerintah perlu meninjau kembali mengenai besaran anggaran yang diberikan untuk program ini agar mampu mencukupi gizi anak-anak yang menjadi fokus utama dalam pelaksanaannya.
Standarisasi menu dan pengawasan mutu juga perlu diperkuat mengingat adanya laporan mengenai menu yang tidak ideal, lauk yang sangat sedikit, atau bahkan kasus makanan tak higienis menunjukkan bahwa perlunya SOP yang jelas dan wajib dipatuhi oleh seluruh penyedia. Pengawasan tidak boleh berhenti pada administrasi saja, melainkan harus ada pengawasan di lapangan secara berkala, pelatihan terkait menjaga kehigienisan dapur, hingga audit gizi oleh para ahli nutrisi.
Selain itu, program ini juga harus melibatkan komunitas lokal, mulai dari orang tua, sekolah sampai dengan UMKM pangan. Pelibatan ini mendorong pendistribusian makanan yang lebih baik, dan membuka peluang ekonomi bagi masyarakat. Perlunya mekanisme umpan balik dari penerima manfaat sebagai bahan evaluasi.
Yang tidak kalah penting adalah sistem transparansi dan akuntabilitas publik di mana publik berhak mengetahui sumber bahan baku, standar dapur, hingga nilai kontrak penyedia makanan. Hal ini bertujuan untuk menghindari potensi penyimpangan sekaligus membangun kepercayaan masyarakat terhadap program yang memanfaatkan anggaran negara dalam jumlah besar.
Dengan demikian, program ini harus dipandang sebagai investasi jangka panjang, bukan hanya proyek jangka pendek yang dikejar angka distribusi. Apabila kualitas makanan menjadi prioritas utama dan implementasinya diperkuat, maka program ini berpotensi besar mengurangi masalah gizi dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Indonesia.
Artikel ini ditulis oleh Oula Zahrah Nabila Ratnasari, berafiliasi sebagai mahasiswa Universitas Airlangga.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
