Di Dalam Angkot 02, Aku Melihat Cinta yang Salah Tempat
Ekspresi | 2025-10-28 08:42:16
Hujan baru saja reda malam itu, Sabtu, 25 Oktober. Udara Bogor masih basah, menyisakan aroma tanah yang bercampur asap kendaraan dan uap gorengan dari pinggir jalan. Jam di ponsel menunjukkan pukul tujuh malam lewat sedikit ketika aku melangkah ke dalam angkot nomor 02 jurusan Sukasari. Angkot itu hampir penuh. Seperti biasa, ruang sempit dengan bangku yang berhadap-hadapan, lampu temaram, dan suara mesin yang sesekali tersendat di tanjakan.
Aku baru saja pulang dari kondangan seorang kakak kelas pondok. Di kepala masih tersisa ekspresi bahagia kedua mempelai, di dada masih hangat oleh nostalgia. Tapi perjalanan pulang malam itu menghadirkan sesuatu yang berbeda. Sebuah pertemuan singkat yang entah kenapa menempel lama di ingatan.
Dua orang remaja laki-laki naik beberapa menit setelah aku duduk. Keduanya tampak sebaya, mungkin sekitar pertengahan dua puluhan. Rambut mereka sedikit berantakan karena rintik hujan dan angin, pakaian kasual. Salah satunya berbicara dengan gaya yang lembut, gerak tangannya lentur, dan sesekali menepuk bahu temannya sambil tertawa lepas.
Di sela-sela obrolan, tangannya bertumpu di lutut rekannya, seperti ingin memastikan bahwa kehadirannya benar-benar dirasakan. Bahkan ada satu momen ketika salah satu di antara keduanya mengelap bibir bekas makan rekannya dengan sehelai tisu.
Aku memperhatikan mereka dari sudut mata. Tidak lama, tapi cukup untuk membaca keakraban yang tak biasa. Bukan karena ingin mengintip urusan orang lain, melainkan karena di ruang sekecil angkot, setiap gerak menjadi dekat, nyaris menyentuh ruang pribadi kita masing-masing.
Sepanjang jalan Pajajaran hingga menuju Sukasari, keduanya terus bercanda, sesekali berbisik pelan dan tertawa. Tak ada yang gaduh. Tak ada yang salah. Tapi entah kenapa, di dalam kepala muncul tanda tanya yang tidak mudah dijawab: apakah aku baru saja melihat dua orang yang tengah jatuh cinta, hanya saja bentuknya tak seperti yang biasa kutemui?
Ketika mereka turun di depan sebuah mal, aku sempat menoleh. Di bawah lampu kuning depan Lippo Plaza Kebun Raya Bogor, mereka berjalan beriringan sambil bergandengan tangan. Pemandangan yang mungkin biasa di kota besar, tapi masih terasa asing bagi mata yang lama tumbuh di lingkungan religius dan konservatif.
Angkot kembali berjalan, dan dalam guncangan jalan yang menurun, pikiranku justru naik ke banyak tempat. Aku bertanya dalam hati, "mengapa pemandangan itu begitu mengguncang?" Mungkin karena selama ini aku hidup di ruang yang menata batas secara tegas: mana laki-laki, mana perempuan; mana boleh, mana tidak; mana cinta yang diterima, mana yang dianggap menyimpang.
Tapi malam itu, di balik jendela angkot yang buram oleh embun, aku melihat sesuatu yang membuatku diam lama. Bukan karena benci, bukan pula karena jijik, melainkan karena resah, resah yang lahir dari benturan antara apa yang kulihat dan apa yang kutanam dalam keyakinan sejak kecil.
Aku dibesarkan di lingkungan yang menempatkan nilai-nilai agama sebagai kompas utama kehidupan. Dari kecil, aku diajarkan bahwa Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan: laki-laki dan perempuan. Bahwa cinta memiliki koridornya sendiri, bukan sekadar perasaan, tapi juga tanggung jawab terhadap fitrah penciptaan.
Maka ketika malam itu aku melihat dua laki-laki yang tampak begitu akrab, saling menatap lembut dan menggenggam tangan, ada sesuatu di dalam diriku yang terusik.
Aku tak ingin men-judge mereka, sebab aku tahu, label adalah hal paling cepat sekaligus paling dangkal yang bisa diberikan manusia. Aku tak tahu kisah hidup mereka, tak tahu apa yang membuat mereka sampai di titik itu, dan aku tak punya hak untuk menebak-nebak. Tapi tetap saja, ada rasa ganjil yang berputar di dada. Sebuah rasa yang sulit kuceritakan tanpa disalahpahami.
Mungkin inilah tantangan sekaligus dilema sesungguhnya yang sering dihadapi orang-orang yang tumbuh di tengah nilai religius: bagaimana berdamai antara ajaran yang diyakini suci dengan kenyataan sosial yang semakin kompleks. Aku percaya Tuhan tidak menciptakan kekeliruan, tapi aku juga percaya bahwa manusia, dalam perjalanannya, sering kali hilang arah dalam upaya memahami diri dan cinta.
Aku teringat kata seorang teman yang pernah menulis tentang keberagaman gender di kota besar. Katanya, "Kita sering takut pada hal yang tidak kita pahami." Kalimat itu terngiang pelan. Dan memang, mungkin rasa resahku bukan semata karena apa yang kulihat, tapi karena aku belum sepenuhnya siap untuk memahami. Belum selesai belajar menerima bahwa dunia kini menampilkan wajah yang jauh lebih rumit daripada yang pernah diajarkan di ruang-ruang pengajian.
Namun malam itu juga, aku sadar bahwa tak semua hal harus segera diputuskan dalam kategori benar atau salah. Ada hal-hal yang cukup untuk direnungkan saja, sebagai bahan tafakur tentang bagaimana nilai, budaya, dan pengalaman pribadi membentuk cara kita melihat sesama manusia.
Dua kursi di seberangku malam itu seolah menjadi cermin kecil: memperlihatkan bahwa manusia bisa begitu beragam dalam mengekspresikan kasih sayang, dan aku, dengan segala keterbatasanku, masih terus belajar untuk memahami perbedaan itu tanpa kehilangan keyakinanku sendiri.
Ketika angkot berhenti di Sukasari, aku turun sambil menghela napas panjang. Kota Bogor sudah mulai lengang, lampu toko satu per satu padam. Di bawah rintik yang kembali turun, aku melangkah pelan, masih memikirkan pertemuan singkat itu.
Aku tak tahu apakah mereka benar sepasang kekasih atau hanya dua sahabat yang dekat. Tapi yang jelas, pertemuan malam itu menyisakan satu pelajaran: bahwa menjadi manusia beriman bukan berarti menutup mata terhadap kenyataan, melainkan berani menatap dunia apa adanya, dengan tetap menjaga batas, tapi juga dengan hati yang terbuka.
Sebab barangkali, Tuhan memang menciptakan kita berpasang-pasangan, laki-laki dan perempuan. Tapi Ia juga menciptakan rasa ingin tahu, empati, dan kerinduan untuk memahami sesama. Dan di situlah, aku kira, ujian kemanusiaan dimulai.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
