Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Amalia Azizah

Marah Bikin Kepala Berdenyut? Ternyata Ini Reaksi Ilmiah Tubuhmu

Edukasi | 2025-10-24 04:47:34

Latar belakang Pernahkah Anda merasa pusing di kepala setelah marah? Mengapa sesuatu yang berawal dari perasaan bisa berubah menjadi rasa sakit fisik yang nyata? Banyak orang menganggap marah hanyalah urusan hati atau perasaan. Padahal di balik emosi itu, tubuh sedang menjalankan serangkaian reaksi biologis yang rumit. Otak mengirimkan sinyal bahaya, hormon stres melonjak, dan sistem saraf bekerja lebih cepat dari biasanya. Fenomena ini menarik untuk dilihat melalui kacamata biopsikologi-cabang ilmu yang mempelajari hubungan antara proses biologis dan perilaku manusia. Dari sudut pandang ini, marah bukan sekadar luapan perasaan, tetapi reaksi kompleks yang melibatkan otak, sistem saraf, dan hormon stres. Semua perubahan itu bisa menjelaskan mengapa setelah amarah mereda, justru rasa sakit kepala atau kelelahan datang setelahnya. Tulisan ini akan membahas bagaimana marah dapat memicu reaksi biologis dan menyebabkan sakit kepala,serta mengapa memahami hubungan antara emosi dan tubuh penting untuk kesehatan kita. Pembahasan Apa yang terjadi pada tubuh saat kita marah? Bayangkan tubuh kita seperti sebuah alarm rumah yang tiba-tiba berbunyi saat ada "pencuri" (dalam hal ini adalah sesuatu yang membuat kita kesal marah). Bagian otak yang bernama amigdala langsung aktif. Amigdala berfungsi seperti “alarm emosional”. Ia mendeteksi acaman, baik ancaman nyata (seperti bahaya fisik) maupun sosial (seperti ejekan ataupun frustasi). Begitu amigdala “berbunyi,” otak menilai bahwa ada situasi yang perlu dihadapi. Sinyal itu kemudian dikirimkan ke hipotalamus, yaitu bagian kecil di dasar otak yang berperan sebagai pusat pengatur sistem tubuh kita. Hipotalamus langsung menyalakan “mode siaga” tubuh dengan mengaktifkan sistem saraf simpatik. Begitu sistem ini aktif, jantung berdebar lebih cepat agar darah dan oksigen lebih banyak mengalir ke otot, pernapasan juga meningkat agar oksigen masuk lebih banyak, pembuluh darah menyempit terutama di kepala dan leher, serta otot menegang terutama di sekitar bahu, tengkuk, dan wajah. Sementara itu, hipotalamus juga memerintahkan kelenjar adrenal (yang ada di atas ginjal) untuk melepaskan hormon adrenalin dan kortisol ke dalam darah. Bagaimana rasa marah bisa berujung sakit kepala? Saat marah, otot menegang terutama di leher, bahu, dan kepala. Kalau otot-otot ini tetap tegang terlalu lama, mereka bisa menekan saraf-saraf di sekitar kepala. Hasilnya? Timbul rasa sakit kepala atau berdenyut-denyut di kedua sisi kepala. Bayangkan saja seperti tali sepatu yang terlalu ketat, lama kelamaan terasa sakit, bukan? Hormon stres (adrenalin dan kortisol) yang dilepaskan ketika marah juga memiliki efek samping. Ketika tubuh dalam mode siaga, sistem saraf simpatik memusatkan energi ke bagian tubuh yang dibutuhkan untuk bertindak (seperti otot besar di tangan dan kaki). Adrenalin bekerja cepat untuk memperkuat efek “mode siaga” dan kortisol bekerja sedikit lebih lambat untuk menjaga tubuh tetap waspada lebih lama. Kombinasi keduanya membuat pembuluh darah di kepala menyempit, dengan tujuan agar darah lebih banyak dialirkan ke otot besar dan jantung. Akibatnya aliran darah ke otak bagian tertentu menjadi tidak stabil dan pasokan darah terganggu sehingga otak tidak mendapat oksigen yang cukup. Hal itulah yang menyebabkan sakit kepala, rasa berdenyut di pelipis, bahkan pusing hebat yang muncul setelah emosi mereda. Dan terkadang setelah amarah mereda, tubuh tidak serta merta kembali normal. Kadar adrenalin dan kortisol masih tinggi untuk beberapa waktu, otot masih tegang, dan pembuluh darah belum sepenuhnya rileks. Itulah sebabnya banyak orang masih merasa pusing, lelah, atau bahkan nyeri kepala beberapa jam setelah emosi mereda. Mengapa Penting Memahami Hubungan Emosi dan Tubuh? Emosi dan tubuh memiliki keterkaitan dan saling memengaruhi. Saat marah, tubuh mengaktifkan “mode siaga” yang membuat kerja organ menjadi lebih keras. Jika hal ini berlangsung terus-menerus maka dapat memicu penyakit fisik seperti hipertensi, gangguan pencernaan, atau sakit kepala kronis. Hormon stres seperti kortisol memang berguna dalam keadaan darurat, tetapi jika kadarnya terus tinggi dapat menurunkan daya tahan tubuh dan menyebabkan kelelahan. Karena itu, memahami keterkaitan antara pikiran dan tubuh penting agar kita dapat menjaga kesehatan secara menyeluruh melalui pengelolaan emosi, relaksasi, meditasi, atau mindfulness. Kesimpulan Dari kacamata biopsikologi, amarah bukan hanya urusan emosi, melainkan juga peristiwa biologis yang memengaruhi otak, saraf, dan hormon. Saat emosi memuncak, tubuh ikut menanggung dampaknya hingga akhirnya memicu ketegangan dan sakit kepala. Sangat penting untuk menyadari bahwa tubuh dan emosi saling berhubungan. Sehingga kita tahu bahwa menenangkan pikiran juga berarti menyehatkan tubuh agar kita tidak terjebak dalam stress yang diam- diam merusak kesehatan. Menenangkan pikiran tidak berarti menekan emosi, menahan kemarahan sepenuhnya dapat meningkatkan tekanan darah dan meningkatkan stres karena emosi itu tetap "terkunci" di dalam tubuh. Namun, melampiaskan marah dengan cara meledak-ledak juga membuat sistem saraf dan hormon stres bekerja terlalu keras. Yang lebih tepat adalah memberi ruang untuk marah tanpa dikuasai oleh marah, sehingga tubuh punya waktu untuk menurunkan kadar adrenalin dan kortisol, serta agar otak bisa berpikir lebih jernih. Mengelola marah bukan berarti menahan marah, tapi mengatur cara kita mengekspresikannya agar tidak merusak tubuh maupun hubungan sosial. Hal itu bisa dilakukan dengan mengambil jeda sejenak, menarik napas dalam, mindfulness, atau menyalurkan energi lewat aktivitas positif. Ini bukan hanya tindakan emosional yang bijak, tapi juga bentuk perawatan diri yang paling dasar. Mari kita jadikan kesadaran ini sebagai langkah awal untuk hidup yang lebih seimbang, dimana pikiran tenang seiring dengan tubuh yang sehat. Dengan begitu, produktivitas kita bisa meningkat dan siap menghadapi berbagai tantangan hidup dengan lebih bijak. Referensi Isdianto, A., Indunissy, N. A., & Fitrianti, N. (Mei 2025). Dampak Kemarahan terhadap Kesehatan: Pengaruh Emosi Negatif pada Organ Tubuh dan Cara Mengatasinya. Jurnal Education and development Institut Pendidikan Tapanuli Selatan, 67-71. Kadir, A. (2010). Perubahan Hormon Terhadap Stress. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma, 2-3. Meilani, Aras, D., & Hasyar, A. R. (Februari 2024). Hubungan Antara Tingkat Stress Dengan Kejadian Nyeri Kepala Primer Pada Mahasiswa S1 Fisioterapi Fakultas Keperawatan Universitas Hasanuddin. Indonesian Journal of Physiotherapy, 6-9. Sic, A., Bogicevic, M., Brezic, N., Nemr, C., & Knezevic, N. N. (February 2025). Chronic Stress and Headaches: The Role of the HPA Axis and Autonomic Nervous System. Biomedicines 2025, 3-4. YusriantoElga, A. (2017). Stop! Jangan Marah! Yogyakarta: Laksana.

https://pin.it/4D4zRzXey

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image