Ketika Waktu Menyentuh Tubuh: Menyelami Penuaan (Aging) dari Sudut Pandang Sains dan Filsafat
Pendidikan dan Literasi | 2025-11-03 09:50:28Oleh:
Putri Agustina
S3 Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Sebelas Maret
Mengapa Kita Menua?
Pernahkah Anda bertanya mengapa rambut kita memutih, kulit berkerut, atau tenaga tak lagi sekuat masa muda? Penuaan adalah kenyataan universal yang dialami setiap makhluk hidup. Namun, di balik tanda-tanda fisiknya yang tampak jelas, proses penuaan menyimpan misteri biologis dan makna eksistensial yang mendalam. Dengan menggabungkan tinjauan ilmiah mutakhir dan perenungan filsafat, kita dapat memahami penuaan bukan sebagai akhir, melainkan sebagai fenomena paling kompleks dalam kehidupan.
Bagian 1: Perspektif Ilmiah – Mengapa Kita Menua?
Secara ilmiah, ditinjau dari sudut pandang biologi, penuaan (aging) adalah proses alami yang ditandai oleh penurunan progresif fungsi fisiologis tubuh seiring berjalannya waktu. Penuaan adalah proses bertahap dan akumulatif dari kerusakan molekuler dan seluler yang menyebabkan penurunan fungsi organ dan peningkatan kerentanan terhadap penyakit. Para ilmuwan berupaya menemukan “sakelar” utama yang mengendalikan proses penuaan, yang kemudian dirangkum dalam beberapa teori kunci:
1. Kerusakan Telomer
Telomer adalah tutup pelindung di ujung setiap kromosom kita. Teori telomere shortening oleh Elizabeth Blackburn menunjukkan bahwa setiap kali sel membelah, telomer menjadi semakin pendek hingga akhirnya sel kehilangan kemampuan untuk bereplikasi. Ketika telomer menjadi terlalu pendek, sel kehilangan kemampuannya untuk membelah diri dan menjadi sel senescent (sel yang menua/mati). Akumulasi sel senescent ini berkontribusi pada peradangan kronis dan disfungsi organ.
https://www.antiaging4everyone.com/telomereshortening.html" />
2. Akumulasi Kerusakan DNA dan Radikal Bebas
Proses metabolisme normal menghasilkan radikal bebas (molekul oksigen reaktif) yang dapat merusak DNA, protein, dan lemak sel. Seiring waktu, mekanisme perbaikan sel kita menjadi kurang efisien, menyebabkan kerusakan DNA menumpuk. Kerusakan ini, yang dipercepat oleh faktor lingkungan seperti polusi dan radiasi, menjadi pemicu utama disfungsi sel. Teori free radical yang dikemukakan oleh Denham Harman (1956) menjelaskan bahwa penuaan disebabkan oleh akumulasi kerusakan akibat radikal bebas yang dihasilkan dalam metabolisme seluler.
https://www.researchgate.net/figure/Illustration-of-different-factors-responsible-for-free-radical-generation-resulting-in_fig1_361734785" />
3. Peran Gen dan Proteostasis
Penelitian menunjukkan gen tertentu, seperti yang terlibat dalam jalur metabolisme TOR (Target of Rapamycin), memainkan peran kunci dalam mengatur laju penuaan. Selain itu, proteostasis (kemampuan sel untuk menjaga kualitas protein) menurun seiring usia. Ketika protein-protein penting ini salah lipat atau rusak, fungsi sel terganggu secara keseluruhan.
Penemuan-penemuan ini telah memicu ilmu baru yang disebut Gerosains (Geroscience), yang fokus pada intervensi—seperti obat-obatan senolitik yang membersihkan sel senescent—untuk memperlambat laju penuaan dan memperpanjang masa hidup sehat (healthspan).
Namun, sains modern kini melihat penuaan bukan hanya sebagai “penyakit yang harus dilawan”, melainkan juga sebagai bagian dari desain biologis yang kompleks. Penelitian terbaru dalam bidang epigenetik menunjukkan bahwa pola ekspresi gen dapat berubah seiring waktu, memengaruhi proses penuaan pada tingkat molekuler (Horvath, 2013). Bahkan, ilmuwan kini mengembangkan pendekatan untuk “memutar balik jam biologis” melalui manipulasi epigenetik dan terapi regeneratif—sebuah langkah yang tampak seperti fiksi ilmiah, namun mulai menjadi kenyataan.
Bagian 2: Perspektif Filosofis – Ketika Filsafat Berbicara Tentang Waktu dan Kefanaan
Jika sains menjelaskan bagaimana kita menua, maka filsafat mencoba menjawab mengapa kita menua. Sejak zaman Yunani kuno, para filsuf telah merenungkan arti penuaan sebagai bagian dari keberadaan manusia. Aristoteles memandang penuaan sebagai konsekuensi alami dari kehidupan yang bergerak menuju ketidakseimbangan—ketika “panas vital” dalam tubuh memudar. Sementara Seneca, seorang filsuf Stoik Romawi, menulis bahwa penuaan bukanlah musuh, melainkan kesempatan untuk mencapai ataraxia, ketenangan batin, dan kebijaksanaan sejati. Dalam pandangan Martin Heidegger, penuaan adalah pengalaman eksistensial yang menyingkapkan “ketakterhindaran kematian” (being-toward-death). Kita menyadari bahwa waktu bukan hanya sesuatu yang lewat di luar diri, tetapi juga sesuatu yang membentuk keberadaan kita. Dengan menua, manusia diingatkan pada kefanaan, dan karenanya, pada nilai kehidupan itu sendiri.
Pada kerangka pemikiran ini, penuaan beralih dari masalah teknis biologis menjadi pertanyaan eksistensial.
1. Identitas dan Kontinuitas Diri
Secara filosofis, penuaan menantang konsep identitas diri. Jika setiap sel dalam tubuh kita digantikan selama bertahun-tahun, apa yang membuat kita tetap menjadi "diri yang sama"? Para filsuf (seperti John Locke) telah berpendapat bahwa kesadaran dan memori adalah benang yang merangkai identitas kita, terlepas dari perubahan fisik. Penuaan adalah ujian terhadap kontinuitas memori ini dan bagaimana kita berdamai dengan perubahan peran sosial kita.
2. Mortalitas dan Waktu
Penuaan adalah pengingat harian akan mortalitas (kefanaan). Filsafat, khususnya Eksistensialisme, mendorong kita untuk menghadapi kefanaan ini sebagai bagian integral dari keberadaan yang bermakna. Kesadaran bahwa waktu terbatas memberikan urgensi dan nilai pada pilihan hidup kita. Seorang filsuf Stoik akan melihat penuaan sebagai proses alami yang harus diterima dengan ketenangan, fokus pada apa yang dapat kita kendalikan (sikap dan karakter), bukan pada apa yang tidak dapat kita kendalikan (degenerasi tubuh).
3. Etika Kehidupan Panjang (Longevity Ethics)
Kemajuan Gerosains menimbulkan dilema etika baru. Jika kita dapat memperpanjang hidup sehat secara signifikan, apakah kita harus melakukannya? Siapa yang berhak mendapatkan akses ke teknologi anti-aging ini? Filsafat etika harus bergulat dengan dampak perpanjangan umur terhadap sumber daya planet, ketidaksetaraan sosial, dan makna kerja dalam masyarakat yang hidup hingga usia 150 tahun.
Antara Keabadian dan Kemanusiaan
Ironisnya, di era bioteknologi dan anti-aging industry yang bernilai miliaran dolar, banyak orang terobsesi untuk “melawan waktu.” Dari krim antipenuaan, suplemen antioksidan, hingga teknologi gene editing seperti CRISPR, manusia berusaha mempertahankan muda selama mungkin. Namun, pertanyaannya: apakah keabadian benar-benar sesuatu yang kita inginkan?
Filsuf kontemporer seperti Yuval Noah Harari (2017) memperingatkan bahwa ambisi manusia untuk menaklukkan kematian dapat membawa konsekuensi etis dan eksistensial. Jika manusia hidup tanpa batas waktu, apa yang terjadi pada makna kehidupan? Bukankah hidup menjadi berarti justru karena ia terbatas?
Menerima Penuaan: Antara Ilmu dan Kebijaksanaan
Ilmu pengetahuan terus berupaya memperpanjang usia dan meningkatkan kualitas hidup. Namun, penuaan tidak hanya soal biologi; ia juga soal makna. Penuaan memberi ruang bagi manusia untuk merenungkan perjalanan, menemukan kedewasaan spiritual, dan memahami diri secara lebih mendalam.
Kita mungkin tidak dapat menghentikan waktu, tetapi kita dapat berdamai dengannya. Sebagaimana ditulis oleh filsuf Prancis Simone de Beauvoir dalam bukunya The Coming of Age (1970):
“Menjadi tua bukanlah tragedi, melainkan proses menjadi manusia secara utuh.”
Penutup
Penuaan bukanlah kekalahan yang harus ditangisi, melainkan sebuah medan pertempuran ilmiah dan panggung perenungan filosofis. Secara ilmiah, kita sedang dalam perjalanan untuk menguasai biologi di balik penuaan demi memperpanjang masa healthspan. Secara filosofis, penuaan adalah sekolah yang mengajarkan kita kebijaksanaan, penerimaan, dan nilai waktu yang terbatas.
Penuaan adalah jembatan antara sains dan filsafat—antara tubuh yang melemah dan jiwa yang menajam. Dari laboratorium hingga ruang renung, manusia terus mencari cara untuk memahami waktu yang mengalir. Barangkali, rahasia sejati dari penuaan bukanlah tentang bagaimana menghindarinya, tetapi bagaimana menjalaninya dengan penuh kesadaran.
Pada akhirnya, tantangan terbesar kita bukanlah sekadar memperpanjang tahun hidup kita, melainkan memastikan bahwa tahun-tahun yang kita jalani, terlepas dari berapa pun jumlahnya, dipenuhi dengan makna, koneksi, dan kualitas—memadukan ilmu yang cerdas dengan jiwa yang bijaksana.
Daftar Pustaka
Beauvoir, S. de. (1970). The coming of age. New York: G.P. Putnam’s Sons.
Blackburn, E. H., Greider, C. W., & Szostak, J. W. (2006). Telomeres and telomerase: The path from maize, Tetrahymena and yeast to human cancer and aging. Nature Medicine, 12(10), 1133–1138. https://doi.org/10.1038/nm1006-1133
Harman, D. (1956). Aging: A theory based on free radical and radiation chemistry. Journal of Gerontology, 11(3), 298–300. https://doi.org/10.1093/geronj/11.3.298
Harari, Y. N. (2017). Homo Deus: A brief history of tomorrow. New York: Harper.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). New York: Harper & Row.
Horvath, S. (2013). DNA methylation age of human tissues and cell types. Genome Biology, 14(10), R115. https://doi.org/10.1186/gb-2013-14-10-r115
Seneca. (1969). Letters from a Stoic (R. Campbell, Trans.). London: Penguin Classics.
Aristoteles. (2004). On Youth and Old Age, on Life and Death, on Breathing. In The Complete Works of Aristotle (J. Barnes, Ed.). Princeton University Press.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
