Mengembalikan Relasi Manusia dengan Alam
Eduaksi | 2025-11-19 11:20:46Cara kita memandang bumi sering kali terjebak pada ilusi bahwa manusia berdiri di luar alam. Tidak ada tindakan manusia yang benar-benar bebas dari jejak ekologis. Bahkan pilihan makan yang tampak paling bersih sekalipun tetap bersinggungan dengan kehidupan lain. Yang penting bukan mencari kesucian moral, tetapi menjaga kesadaran, dari mana makanan kita berasal, siapa yang bekerja memproduksinya, dan jejak apa yang kita tinggalkan. Kesadaran seperti ini membuat kita lebih berhati-hati dalam hidup, bukan karena takut salah, tetapi karena paham bahwa setiap keputusan selalu terhubung dengan dunia yang lebih luas.
Gary Snyder mengajak kita melihat tubuh kita, lingkungan sekitar, dan bumi sebagai satu kesatuan yang bernapas bersama. Baginya, memahami ruang hidup berarti mengakui bahwa apa pun yang terjadi pada satu bagian, cepat atau lambat akan memengaruhi keseluruhan. Inilah akar cara hidup bioregional, cara hidup yang menyadari bahwa manusia, budaya, dan tempat selalu saling menubuhkan. Kita tidak bisa hidup sehat di lingkungan yang sakit, dan tempat tidak bisa tumbuh subur jika ditinggali oleh manusia yang lupa asal-usul ekologisnya.
Bioregionalisme bukan anti-global, tetapi mengingatkan bahwa globalitas tak boleh mencabut manusia dari tanah tempatnya berpijak. Ada yang ingin menguasai biosfer, dan ada pula yang melihat dirinya sebagai bagian dari biosfer itu sendiri. Yang terakhir inilah yang disebut sebagai cara pandang planetarian, cara berpikir yang merawat keberagaman, menghargai perbedaan lanskap dan budaya, dan tidak memaksakan satu model pembangunan untuk semua. Di tengah krisis iklim dan kerusakan alam yang makin terasa, pandangan seperti ini menjadi penyeimbang dari hasrat ekspansi ekonomi yang serba seragam.
Snyder juga dekat dengan gerakan yang ingin melihat hubungan manusia-alam secara lebih dalam, bukan sekadar data ilmiah. Ia memadukan ajaran Buddhisme dan kebijaksanaan masyarakat adat untuk menunjukkan bahwa krisis ekologis sebenarnya adalah krisis hubungan, retaknya cara kita berelasi dengan sesama makhluk hidup. Dalam dunia yang semakin terpecah oleh politik dan pasar, pandangan lintas tradisi semacam ini membuka pintu bagi cara memahami bumi secara lebih utuh.
Sejak 1990-an, pertemuan antara agama dan ekologi berkembang menjadi gerakan besar yang melibatkan pemuka agama, ilmuwan, aktivis, dan masyarakat luas. Mereka mencoba menjawab satu pertanyaan penting: bagaimana manusia bisa hidup di bumi tanpa merusaknya? Dari sini lahir gagasan bahwa manusia bukan pusat dari semuanya, melainkan anggota komunitas bumi yang lebih luas. Kisah tentang kosmos bukan lagi kisah yang jauh di luar sana, tetapi cerita asal-usul yang menautkan kita dengan partikel debu bintang yang membentuk planet ini.
Kaza sendiri menggambarkan pengalaman ekologis melalui perjalanan kosmik, sebuah ritual yang membawa kita menelusuri sejarah alam semesta sejak awal terbentuk. Ritual ini mengingatkan bahwa kita berasal dari proses panjang yang tidak pernah berdiri sendiri. Pemahaman ekologis bukan hanya soal data, tetapi juga rasa—rasa kecil, rasa terhubung, dan rasa bertanggung jawab pada dunia tempat kita hidup.
Beberapa pemikir menawarkan cara pandang lain yang juga menolak pemisahan manusia dari bumi. Mereka melihat bahwa krisis lingkungan yang kita hadapi sekarang bukan hanya soal alam yang rusak, tetapi juga soal cara berpikir yang memisahkan segala hal menjadi kategori-kategori kaku. Alih-alih memisah-misahkan, mereka mengajak kita melihat dunia sebagai jaringan hubungan, selalu bergerak, selalu berubah, dan selalu saling memengaruhi (Mickey, 2016).
Alhasil, dialog antara pandangan agama, ekologi, dan filsafat ini membawa kita pada kesadaran bersama, kita membutuhkan cara baru memandang bumi. Bukan sebagai objek yang bisa dieksploitasi, tetapi sebagai rumah yang hidup. Di era ketika suhu meningkat, spesies punah, dan ketimpangan makin lebar, cara berpikir planetarian bukan lagi pilihan idealis, melainkan kebutuhan mendasar. Kita perlu membangun masa depan yang global namun tetap berakar pada tempat, terbuka pada kosmos namun nyata merawat tanah tempat kita berdiri. Karena hanya dengan cara inilah kehidupan bersama dapat terus berlanjut.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
