Islam, Tambang, dan Kelestarian Alam
Politik | 2025-10-23 23:41:19
Isu pertambangan belakangan ini kembali menguak. Publik dikejutkan dengan fakta ditemukannya beberapa tambang ilegal di sekitar sirkuit Mandalika yang berada di Nusa Tenggara Barat (NTB).
Kepala Satuan Tugas Koordinasi dan Supervisi KPK Wilayah V, Dian Patria menduga kemungkinan ada tindak pidana lain selain dari tindak pidana korupsi, seperti tindak pidana sectoral berupa kehutanan, lingkungan dan pajak (Kompas.com, 22/10).
Dalam hal ini, pemerintah mengerahkan fokus pada persoalan administratif seperti masalah perizinan, legalitas, dan pajak, namun sayangnya mengenyampingkan persoalan yang lebih besar dampaknya, yaitu masalah kerusakan lingkungan, ekosistem hingga kehidupan sosial-ekonomi masyarakat sekitar.
Greenpeace, yang sejak 2009 lalu concern terhadap isu-isu lingkungan dan kerusakan alam telah banyak melakukan upaya perbaikan baik melalui riset lingkungan hidup dan upaya hukum untuk memulihkan kerusakan alam dan lingkungan dari dampak kebijakan pemerintah berkaitan dengan izin usaha tambang dan atau dari aktivitas eksploitasi perusahaan tambang itu sendiri, terutama pada wilayah-wilayah konservasi.
Pada kasus terkait Izin Usaha Pertambangan di Raja Ampat lalu misalnya, Greenpeace telah merilis laporan terbaru dalam website mereka, yang menyatakan setidaknya poin penting tentang pencabutan IUP empat perusahaan tambang di Raja Ampat oleh pemerintah. Dalam laporan tersebut, Greenpeace menyampaikan kekhawatiran terhadap dampak yang masih akan terus berlangsung, pencabutan IUP empat perusahaan tambang oleh pemerintah hanya untuk meredam kehebohan dan tuntutan publik, pasalnya pengaktifan kembali IUP di Raja Ampat pernah terjadi berulang kali (Greenpeace.org, 12/06).
Khawatirnya, seperti Raja Ampat, NTB juga akan dihadapi dengan pola yang sama, yaitu mencabut izin tambang ilegal hanya sekedar untuk meredam gejolak publik.
Polemik IUP ini juga tak lepas dari andil pemerintah itu sendiri. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengungkap bahwa perizinan tambang ini banyak yang ditunggangi oleh kepentingan oligarki dan mengabaikan kepentingan masyarakat serta dampak pertambangan pada lingkungan hidup dan alam sekitar.
Pada tahun 2021, melalui laman BBC.com, setidak merangkum beberapa dampak kerusakan yang dirasakan oleh masyarakat dan alam. Diantaranya; tambang nikel di Halmahera Timur yang menyebabkan laut dan udara tercemar; tambang pasir laut di Daeng Sahabu yang merusak ekologi laut dan kehidupan sosial masyarakat; tambang biji besi di Dairi yang merupakan daerah patahan atau daerah rawan gempa, dimana perusahaan juga membangun buangan limbah di dekat sumber air masyarakat setempat yang mengakibatkan kekhawatiran terhadap kebutuhan air warga setempat, terlebih kekhawatiran terhadap dampak aktivitas tambang pada tanah patahan.
Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa aktivitas pertambangan seringkali meninggalkan dampak yang begitu signifikan terhadap kehidupan sosial masyarakat setempat, ekosistem dan ekologi di wilayah terdampak. Kendati masyarakat setempat juga memungkinkan menikmati pertumbuhan ekonomi dan pembangunan, namun kerusakan yang ditimbulkan tetap tidak bisa diabaikan karena memiliki resiko yang luas dan jangka panjang.
Islam, Tambang dan Kelestarian Alam
Pada dasarnya tambang merupakan harta kepemilikan umum, yang artinya ia merupakan sumber daya alam yang manfaatnya boleh dinikmati oleh seluruh manusia. Hal ini merujuk pada salah satu hadis Rasulullah,
“Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Dalam sudut pandang Islam, pengelolaan tambang justru wajib dilakukan oleh negara, agar hasil atau manfaat dari tambang tersebut dapat dikembalikan kepada kemaslahatan masyarakat.
Meskipun pengelolaan tambang dianjurkan, namun Islam telah mengatur agar manusia tetap memiliki koridor dalam memanfaatkan sumber daya alam, sehingga tidak menimbulkan kerusakan alam. Allah SWT berfirman,
“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Al A’raf: 56).
Abu Nadzifah, Peneliti Sistem Energi dalam artikelnya “Telaah Ideologis Isu Lingkungan Tambang Nikel” memaparkan bahwa segala aktivitas manusia yang berkaitan dengan alam akan mendisrupsi siklus alami yang terjadi di alam semesta. Namun, Allah Swt. telah mencitpakan alam semesta dengan kadar khusus, yaitu memiliki daya lenting alamiah. Kadar ini sekalipun terdisrupsi oleh aktivitas manusia – dalam taraf tertentu – masih dapat ditoleransi oleh alam semesta dan dikembalikan ke siklus alaminya, baik secara langsung (oleh proses alam) maupun dengan bantuan manusia.
Berdasarkan hal ini, maka sejatinya manusia dapat memanfaatkan sumber daya alam, termasuk tambang hingga batas kapasitas lestari maksimum (maximum sustainable capacity), yang dampaknya masih bisa ditanggulangi oleh manusia, seperti melakukan penghijauan ulang. Pengelolaan limbah dan dampak lingkungan juga harus menjadi bagian yang diperhatikan, walaupun akan mengurangi profit.
Negara juga perlu mengklasifikasi zona wilayah setidaknya menjadi tiga zona, yaitu zona penduduk, industri dan konservasi. Zona industri dikhususkan untuk aktivitas industri, baik dari aspek penambangan (front-end), pengolahan (mid-end), hingga distribusi dan manajemen limbah (back-end). Sedangkan zona konservasi dikhususkan untuk menjaga keanekaragaman hayati, dan tidak boleh diotak-atik untuk keperluan penduduk maupun industri sekalipun ada potensi tambang di dalamnya.
Dengan demikian, Islam menjamin bahwa industri tambang dapat terus berjalan, tetapi juga dapat dirasakan manfaatnya pada manusia dan kelestarian alam semesta tetap bisa terjaga.
Oleh sebab itu, pengelolaan tambang seperti ini hanya dapat dilakukan oleh negara dengan sistem pemerintahan Islam (Khilafah). Dalam Khilafah, pemerintah tidak boleh mengeluarkan IUP pada perusahaan swasta untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam, karena perusahaan swasta memiliki kecenderungan atau perhitungan low and profit untuk keberlangsungan usahanya. Hal ini pula yang meniscayakan perusahaan tambang melakukan eksploitasi sumber daya alam tanpa melakukan reboisasi, penghijauan (afforestation), restorasi (restoration), rehabilitasi (rehabilitation), dan reklamasi (reclamation), karena pemulihan ini juga membutuhkan dana dan usaha yang cukup besar. Akibatnya, perusahaan-perusahaan tambang swasta hanya mengeruk tambang tanpa memperdulikan dampaknya terhadap masyarakat setempat dan kerusakan alam sekitar.
Allahua’lam.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
