Indonesia dan Gen Z Butuh Demokrasi Politik dan Ekonomi
Kolom | 2025-09-10 22:29:54Ketika kita mendengar kata demokrasi, yang terbayang sering kali adalah pemilu. Masyarakat datang ke bilik suara, mencoblos, lalu pulang. Namun, para pemikir politik mengingatkan bahwa demokrasi tidak boleh dipersempit hanya pada momen lima tahunan saja. Demokrasi liberal, yang dominan di banyak negara saat ini, memang lebih baik daripada kekerasan dan teror sebagai cara mengatur masyarakat. Tetapi, demokrasi yang hanya berhenti di bilik suara pada dasarnya hanya demokrasi artifisial dan manipulatif.
Gagasan demokrasi partisipatoris hadir sebagai kritik sekaligus perluasan dari sekadar demokrasi bilik suara. Demokrasi partisipatoris menekankan bahwa partisipasi warga tidak boleh berhenti pada pemilu, tetapi harus merambah ke ruang-ruang kehidupan lain, termasuk ekonomi. Dalam masyarakat kapitalis liberal, kita hidup sebagai warga negara di dalam demokrasi, tetapi bekerja di dalam sebuah diktator kecil bernama perusahaan. Demokrasi partisipatoris menantang kontradiksi itu dengan memperjuangkan ekonomi yang dikelola secara demokratis, yaitu dengan kendali pekerja melalui manajemen bersama.
Demokrasi yang sejati membutuhkan fondasi ekonomi yang adil. Demokrasi tidak hanya butuh suara, tetapi juga ruang, waktu, dan keterampilan bagi semua orang untuk terlibat dalam politik. Jika sumber daya dalam masyarakat timpang, hanya segelintir elite yang punya kesempatan terlibat penuh, sementara mayoritas tetap terpinggirkan. Hasilnya adalah bentuk demokrasi yang timpang. Demokrasi di atas kertas, oligarki dalam kenyataan.
Demokrasi partisipatoris membayangkan sebuah masyarakat pasca-kelangkaan, di mana teknologi produktif membantu meminimalkan kerja yang melelahkan. Setiap orang memiliki waktu dan kesempatan untuk ikut serta dalam debat politik dan pengambilan keputusan. Demokrasi tidak lagi menjadi hak eksklusif mereka yang punya waktu luang dan sumber daya, tetapi benar-benar menjadi milik semua warga.
Dari perspektif inilah, kita bisa memahami pemikiran Karl Marx tentang demokrasi. Bagi Marx, demokrasi adalah kebalikan dari monarki. Demokrasi bukan kekuasaan yang mengasingkan manusia, tetapi pemerintahan diri dan penentuan nasib sendiri oleh rakyat. Demokrasi, dalam pandangannya, adalah kebenaran politik. Sementara sosialisme adalah kebenaran ekonomi. Keduanya menyatu dalam gagasan tentang demokrasi sosialis, di mana rakyat bukan hanya berdaulat secara politik, tetapi juga secara ekonomi.
Contoh nyata dari ide itu adalah Komune Paris tahun 1871. Bagi Marx, Komune Paris adalah pengambilalihan kembali kekuasaan negara oleh masyarakat di mana rakyat sendiri, khususnya kelas pekerja, membentuk pemerintahan mereka tanpa ditundukkan oleh elite lama. Para pejabat dipilih langsung, bisa diganti sewaktu-waktu, dan bertanggung jawab kepada rakyat, bukan kepada penguasa pusat. Kekuasaan tidak lagi menjadi milik segelintir birokrat, tetapi dipegang oleh komunitas secara kolektif.
Komune Paris bukan hanya perubahan politik, tetapi juga sosial-ekonomi. Ia menandai peralihan dari kepemilikan pribadi atas alat produksi menuju kendali kolektif oleh para pekerja. Marx menyebutnya sebagai bentuk pemerintahan kelas pekerja yang sesungguhnya. Sebuah mekanisme di mana demokrasi politik berjalan beriringan dengan demokrasi ekonomi. Inilah demokrasi partisipatoris dalam praktik. Perpanjangan prinsip demokrasi dari ranah politik ke ranah produksi (Fuch, 2023).
Alhasil, demokrasi sejati tidak berhenti pada prosedur elektoral. Demokrasi membutuhkan partisipasi nyata dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam dunia kerja dan ekonomi. Pemilu mungkin penting, tetapi tidak cukup. Demokrasi partisipatoris menantang kita untuk membayangkan masyarakat di mana suara rakyat tidak hanya terdengar di bilik suara, tetapi juga di pabrik, kantor, dan ruang publik. Dalam semangat Komune Paris, demokrasi sejati adalah rakyat yang memerintah dirinya sendiri untuk politik yang lebih adil dan ekonomi yang lebih setara. Dalam konteks hari ini, Indonesia dan Gen Z pun juga membutuhkan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
