Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Bima Nayaka Pandya

Naturalisasi Bukan Solusi Utama, Hanya Tambalan dalam Sistem yang Rapuh

Kebijakan | 2025-07-05 12:15:19

Tim nasional Indonesia tengah berada dalam fase keemasan baru. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, skuad Garuda menembus babak keempat Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia. Euforia meluap. Stadion kembali dipenuhi, laga disaksikan jutaan pasang mata, dan nama-nama pemain naturalisasi dielu-elukan layaknya pahlawan baru. Di tengah atmosfer kemenangan, ada satu benang merah yang tak bisa diabaikan yaitu kebijakan naturalisasi yang kembali menjadi penopang performa timnas, di saat regenerasi pemain lokal belum menunjukkan konsistensi.

Naturalisasi bukan hal baru di dunia sepak bola Indonesia. Sejak awal 2000-an, langkah ini hadir sebagai solusi darurat karena minimnya pemain lokal yang memiliki pengalaman bertanding di level internasional. Dalam perjalanannya, kebijakan ini tidak lagi bersifat sementara. Ia berkembang menjadi kebijakan struktural yang terencana, masuk dalam strategi resmi negara, dan kini bahkan menjadi tumpuan harapan banyak pihak. Nama-nama seperti Thom Haye, Ragnar Oratmangoen, hingga rekrutan anyar berdarah Belanda, Ole Romeny, menjadi penguat utama lini tengah dan lini serang Indonesia. Mereka bukan sekadar pelengkap, tapi pengisi posisi vital yang sulit diisi pemain lokal.

Namun dalam perspektif suatu kebijakan publik, kebijakan naturalisasi menyisakan pertanyaan serius mengenai prinsip keadilan distribusi. Di satu sisi, negara memberi perlakuan istimewa kepada atlet asing demi kepentingan prestasi jangka pendek, tetapi di sisi lain masih banyak atlet muda lokal yang belum mendapatkan akses pembinaan yang layak. Ini menimbulkan kesenjangan: antara pemain yang dibina bertahun-tahun di sistem yang minim dukungan, dan pemain naturalisasi yang langsung menempati posisi strategis dalam timnas. Jika tidak diatur secara proporsional, kebijakan ini justru berisiko mengikis rasa keadilan publik dan menimbulkan demoralisasi di kalangan pemain muda Indonesia yang merasa perjuangannya tak dihargai.

Dari sisi regulasi, naturalisasi memiliki dasar hukum yang kuat. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan mengizinkan pemberian status WNI kepada individu yang memberi manfaat luar biasa bagi bangsa, termasuk atlet. Sedangkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional memberikan landasan penghargaan bagi atlet asing yang mengharumkan nama Indonesia. Prosedur legal pun melalui beberapa tahap, mulai dari rekomendasi PSSI, evaluasi teknis oleh Kemenpora, verifikasi oleh Kemenkumham, pembahasan Komisi X DPR, hingga pengesahan Presiden.

Namun dari kacamata kebijakan publik, naturalisasi hanya efektif jika menjadi bagian dari solusi menyeluruh. William Dunn pernah menekankan bahwa kebijakan publik yang baik adalah yang menuntaskan akar persoalan, bukan sekadar mengatasi gejala. Dalam konteks sepak bola, akar masalahnya ada pada sistem pembinaan yang tidak stabil dan infrastruktur yang belum merata. Banyak kompetisi usia dini berhenti di tengah jalan karena dana minim. Fasilitas latihan di luar kota besar masih jauh dari memadai. Bahkan, pencarian bakat pun belum berbasis data yang terintegrasi secara nasional.

Selain persoalan pemain, kualitas pelatih lokal juga menjadi titik rawan yang kerap luput dari sorotan. Banyak pelatih usia muda belum memiliki lisensi resmi, apalagi pengetahuan sport science modern. Program latihan pun terjebak pada pola lama yang sulit bersaing di level Asia. Ironisnya, federasi lebih sering menganggarkan dana untuk mendatangkan pemain dari luar negeri, ketimbang mengirim pelatih lokal belajar ke akademi elite dunia. Tanpa pelatih berkualitas, kehadiran pemain naturalisasi hanya menjadi tontonan mewah tanpa efek menular. Ilmu berhenti di ruang ganti, tidak pernah turun ke generasi berikutnya.

Kebijakan naturalisasi juga tidak lepas dari dinamika persepsi publik. Di satu sisi, dukungan terhadap timnas menguat. Antusiasme melonjak. Namun, di ruang digital, perdebatan masih berlangsung sengit. Isu “tim instan”, pertanyaan soal identitas nasional, dan kritik terhadap lemahnya pembinaan lokal masih jadi topik hangat di media sosial. Ini menunjukkan bahwa meskipun euforia sedang tinggi, masyarakat tetap menuntut arah kebijakan yang berjangka panjang dan tidak semata-mata pragmatis.

Jika Indonesia serius ingin mewujudkan masa depan sepak bola yang berdaya saing, pembenahan di luar lapangan harus menjadi prioritas. Salah satu jalan strategis adalah mendorong kolaborasi antara PSSI, universitas, dan lembaga riset. Jepang punya Japan Institute of Sports Sciences (JISS) yang secara konsisten meneliti biomekanik, nutrisi, dan recovery pemain. Indonesia butuh lembaga serupa yang mampu memproduksi data akurat untuk mendukung latihan berbasis sains.

Teknologi analitik performa juga perlu diadopsi lebih luas. Latihan tim tidak cukup lagi mengandalkan intuisi pelatih. Rekaman video, GPS tracker, heart rate monitor, dan aplikasi data statistik harus menjadi standar, bahkan di tingkat akademi dan sekolah sepak bola. Dengan teknologi ini, pembinaan bisa lebih tepat sasaran, risiko cedera ditekan, dan potensi pemain bisa dimaksimalkan sejak dini.

Akhirnya, naturalisasi bukan kebijakan yang harus ditolak. Justru langkah ini bisa memperkuat daya saing jika ditempatkan secara proporsional. Namun, ketergantungan berlebihan akan menjadi jebakan jika tidak diimbangi dengan pembinaan yang sistemik. PSSI, pemerintah, dan para pemangku kepentingan harus memastikan bahwa talenta lokal dibina secara serius, pelatih dilatih secara profesional, dan infrastruktur dikembangkan secara merata. Dengan fondasi seperti itu, kehadiran pemain naturalisasi justru akan menjadi pelengkap yang memperkaya, bukan menggantikan wajah sepak bola Indonesia.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image