Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image SAIFUL ANWAR

Dedes

Sastra | Sunday, 07 Apr 2024, 23:51 WIB
sumber gambar: https://pin.it/2QHU5bArS
sumber gambar: https://pin.it/2QHU5bArS

Dedes tak akan pernah melupakan kejadian itu, saat ia dibawa paksa ke tempat yang tak pernah ia inginkan.

Namanya Dedes, putri tunggal Mpu Parwa. Sejak kecil ia hidup bersama ayahnya yang seorang brahmana. Dedes lahir di Daha, ibukota Kediri. Pada umurnya yang kedua ayahnya meninggalkan Daha karena suatu alasan yang tidak pernah Dedes ketahui.

Sejak kecil Dedes diajari ayahnya ilmu & pengetahuan agama Siwa. Pada usianya yang ke duabelas Dedes sudah mampu membaca tulisan pallawa dan mengerti bahasa sanekerta. Pada usianya yang ke lima belas ia telah membaca kitab Lubdaka, Smaradahana, Arjunawiwaha, Ramayana, dan Mahabharata. Pada tahun berikutnya ia mulai mempelajari silpasastra.

Dedes adalah perempuan cerdas dan berpengatahuan luas, kata orang ia mewarisi kehebatan ayahnya.

“Siwa dan Buddha tidak berbeda. Keduanya hanya berbeda jalan dalam mencapai pencerahan,” kata sang ayah suatu hari.

Dedes sangat bahagia hidup bersama ayahnya. Rumahnya yang berada di kaki gunung Kawi itu, selain menjadi tempat tinggal, juga merupakan kadewaguruan tempat orang-orang belajar ilmu agama. Jumlah muridnya memang tidak banyak, namun dengan jumlah itu membuat ia dan ayahnya tak pernah merasa kesepian.

"Dulu di Daha murid ayah berjumlah ratusan, tapi di sini jumlahnya tak lebih dari lima belas orang.”

"Kenapa bisa begitu, Ayah?” tanya Dedes.

Mpu Parwa tidak menjawab.

Hingga usia Dedes memasuki tujuhbelas, ia tak pernah tahu alasan ayahnya meninggalkan Daha. Padahal sependek yang ia tahu brahmana yang hidup di istana raja adalah yang paling mulia di antara yang mulia.

"Ayah, bolehkah aku bertanya sesuatu padamu?” suatu hari Dedes memberanikan diri bertanya.

"Bertanya? Tentu boleh sayang.”

Jantung Dedes berdetak kencang. Bagaimaa jawaban ayahnya nanti? Apakah ia akan marah besar? Dalam waktu sekian detik Dedes mencoba menenangkan diri, berusaha meyakini bahwa ini adalah hal yang patut ia tanyakan.

"Ayah, mengapa dulu engkau meninggalkan Daha?” Mpu Parwa menatap Dedes dengan pandangan sejuta tanya. Ia menyadari bahwa putri kecilnya telah besar. Ia tak bisa mencegahnya dari rasa penasaran.

"Dedes, anakku sayang. Usiamu memang masih muda, tapi ilmu dan pengetahuanmu sudah luas. Kau adalah anakku sekaligus muridku.”

Dedes menatap ayahnya dengan kebingungan. Mengapa ia tiba-tiba berkata begitu?

"Berjanjilah padaku untuk selalu memegang teguh ajaran Sang Hyang Widhi. Jangan pernah takut melawan penindasan dan ketidakadilan.”

Tak ada jawaban atas pertanyaan Dedes. Hanya itu yang Mpu Parwa katakan. Setelah kejadian itu Dedes tak pernah bertanya lagi. Pertanyaan itu ia simpan rapat dalam hatinya, tanpa tahu kapan akan menemui jawab.

Musim panen akan segera tiba. Desa Polowijen tengah menyiapkan pesta untuk menyambut panen raya. Sudah jamak diketahui bahwa Tumapel, selain dikenal karena emasnya, juga dikenal sebagai penghasil beras terbaik dan beras itu sebagian besar dari desa tersebut. Sawah-sawahnya membentang luas, mengisi hampir setengah luas desa itu.

Padi-padi telah menguning sepenuhnya. Hama tak pernah serius menyerang sawah, entah mengapa mereka tak pernah sedikit pun menyulitkan para petani. Ada mitos bahwa petani Polowijen memiliki ritual khusus untuk mengusir hama. Namun, ketika pihak kadipaten atau kerajaan datang untuk menanyakan hal itu semua petani menjawab “kami tak punya cara khusus.”

Mpu Parwa mempunyai sepetak sawah di dekat kadewaguruannya. Tak luas memang, tapi cukup untuk untuk menghidupi dirinya sendiri, Dedes, dan murid-muridnya.

“Sawah desa Polowijen adalah yang diberkati Dewi Sri.”

"Bukankah semua sawah juga diberkahi Dewi Sri, ayah?” tanya Dedes.

“Kau benar, anakku. Tapi hanya di desa inilah Dewi Sri memberi lebih.”

“Memberi lebih?”

“Jika kau amati, air yang mengalir di desa ini berbeda dengan yang lain. Air di sini seakan memiliki jiwa.”

Mpu Parwa dan Dedes berdiri di tengah sawah, memandangi padi-padi yang besok akan mereka panen. Di atas mereka awan putih menggantung di langit, berjejer saling bergandengan. Burung-burung melintasi kaki langit dengan penuh kegembiraan, gemericik air menjelma kidung puja para dewa.

Terpujilah Sang Hyang Widhi. Terpujilah Dewi Sri.

===

Berita itu telah sampai ke telinga Tunggul Ametung, sang adipati Tumapel. Dedes, putri Tunggal Mpu Parwa telah beranjak dewasa. Kecantikannya tak tertandingi bahkan oleh dewi kahyangan sekali pun. Hati Tunggul Ametung dipenuhi kegelisahan. Darah mudanya berdesir sangat kencang, libido dalam tubuhnya meronta-ronta. Ia ingin segera membuktikan sendiri desas-desus itu. Sudah jamak diketahui bahwa Tunggul Ametung gemar mengoleksi perempuan cantik. Entah sudah berapa banyak perempuan yang ia bawa ke istana, bukan sebagai permaisuri tetapi sebagai selir. Hampir semua dibawa secara paksa. Semua perempuan itu cantik, namun tak ada yang membuat sang adipati jatuh hati.

“Siapkan pasukan. Kita akan segera ke Desa Polowijen.”

Tunggul Ametung menuju ke desa Polowijen dengan pasukannya, lengkap dengan kerta kuda dan pembawa umbul. Pasukan itu lebih mirip pasukan tempur, padahal yang mereka tuju adalah perempuan belia di desa kecil di kaki gunung Kawi.

Sesampainya di Polowijen Tunggul Ametung segera memerintahkan pasukannya untuk mencari Dedes. “Cari perempuan itu! Jangan kembali sampai kalian menemukannya!”

Pasukan itu berpencar ke segala penjuru. Bertanya pada semua orang yang ditemui. Pintu-pintu rumah digedor tanpa permisi dan basa-basi. Orang-orang ketakutan, mereka mengira sedang dirampok.

Seorang murid Mpu Parwa menyaksikan kejadian itu lalu melaporkannya pada sang guru.

"Pasukan Tunggul Ametung mencari Dedes, Guru.”

"Hah? Ada urusan apa mereka dengan anakku?!” Mpu Parwa bertanya dengan penuh amarah.

“Guru, Tunggul Ametung gemar mengoleksi perempuan. Kini ia menginginkan Dedes.”

"Tapi aku seorang Brahmana dan putriku juga akan menjadi brahmana. Bagaimana mungkin?!”

Tak lama kemudian Tunggul Ametung bersama pasukannya menemukan kediaman Mpu Parwa dan segera mendatanginya.

"Oh, kau kah itu Mpu Parwa? Seorang brahmana mulia yang pernah mengabdi di istana Kediri?” Tunggul Ametung berbicara dari atas kudanya.

Mpu Parwa berdiri di depan gerbang kadewaguruannya. Ia menyambut Tunggul Ametung penuh was-was dan curiga.

“Semoga Sang Hyang Widhi senantiasa memberkahimu, wahai adipati Tumapel.”

“Aku dengar putrimu sudah besar. Kecantikannya telah menyihir seluruh Tumapel. Dari desas-desus yang kudengar dia adalah yang tercantik dari semuanya. Berapa usianya sekarang?”

"Ada urusan apa tuan dengan putriku?”

Di tengah percakapan itu Dedes tiba-tiba muncul dari dalam kadewaguruan. Kecantikannya memancar terang, sangat terang seakan tak ada yang lebih terang dari sinar kecantikan itu. Tunggul Ametung yang terpesona kemudian turun dari kudanya, ia diam terpaku melihat kecantikan Dedes. Wajah itu, mata itu, bibir itu, dan lekuk tubuh itu, semua yang ada pada Dedes telah menghipnotis Tunggul Ametung. Kecantikan itu telah membawanya ke swargaloka untuk beberapa saat.

“Rupanya orang-orang telah keliru. Kau jauh lebih cantik dari yang kubayangkan.”

Dengan satu lambaian tangan, Tunggul Ametung memerintahkan pasukanya minggir. Ia lalu berjalan menuju arah Dedes.

"Hei, tunggu! Apa yang akan kau perbuat pada putriku?!” Mpu Parwa tiba-tiba menghadang Tunggul Ametung.

Semua orang kaget, selama ini tak ada yang berani menentang sang adipati. Tak satu pun.

"Apa kau sadar apa yang telah kau perbuat?!” Mata Tunggul Ametung menatap Mpu Parwa dengan penuh amarah, “Aku Tunggul Ametung, adipati Tumapel yang agung. Akulah kepanjangan tangan Kertajaya sang Raja Kediri.”

"Aku tak peduli! Aku tanya sekali lagi, apa yang akan kau perbuat pada putriku?!”

"Pasukan Tunggul Ametung bersiap-siap, sementara murid-murid Mpu Parwa yang diliputi kebingungan dan ketakutan berbaris di belakang sang guru.

"Ayah, ada apa ini?” Suara Dedes parau. Ia merasa sesuatu yang buruk akan menimpa dirinya dan ayahnya.

Suasana menjadi sangat menegangkan. Kabar kedatangan Tunggul Ametung segera menyebar ke seuluruh penjuru desa. Orang-orang yang tengah menyiapkan ritual panen raya segera menghentikan aktivitasnya. Mereka ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dengan cepat kadewaguruan Mpu Parwa dikerubungi banyak orang.

Mereka segera mengetahui bahwa sang adipati menginginkan Dedes.

“Tapi dia adalah putri brahmana, apakah sang adipati berani?” kata seorang penduduk desa yang sedang menyaksikan kejadian itu.

“Dia adalah adipati kesayangan raja Kertajaya, tak ada yang mustahil baginya.” Yang lain menjawab.

Suasana menjadi semakin tegang. Tunggul Ametung memberi isyarat agar pasuknnya bersiap-siap. Sementara itu Mpu Parwa berusaha sekuat tenaga mencegah Tunggul Ametung.

"Wahai Dedes, maukah kau ikut denganku. Aku akan menyayangimu lebih dari ayahmu. Akan kujadikan kau permaisuriku. Kau akan tinggal di istana bersamaku.” Suara Tunggul Ametung melembut.

“Tidak! Dedes tidak akan kuserahkan padamu. Ia akan menjadi brahmana sepertiku. Aku tidak akan pernah menyerahkan putriku pada begundal sepertimu!”

Raut wajah Tunggul Ametung memerah, matanya menatap tajam Mpu Parwa.

"Begundal katamu? Akulah yang memberi hidup orang-orang di seluruh Tumapel. Tanpa aku apa jadinya kalian?!”

"Memberi hidup katamu? Bukankah justru kami yang memberimu hidup? Kau sama saja degan Kertajaya. Kau hidup mewah dari keringat rakyat. Sudah berapa karung beras kami yang kau makan? Sudah berapa ratus ternak kami yang kau sembelih dan kau jadikan hidangan di istanamu itu?”

Dedes semakin cemas. Ia memegangi tangan ayahnya dan berkata “Ayah sudah, jangan dilanjutkan.” Tapi ayahnya terus berbicara tanpa henti.

“Pantas Kertajaya mengusirmu dari Daha,” Ucapan Tunggul Ametung menghentikan Mpu Parwa.

"Apa maksudmu?” tanya Dedes pada Tunggul Ametung.

“Ah, rupanya ayahmu tak pernah menceritakannya.”

"Apa maksudmu” Dedes bertanya lagi.

“Ayahmu dahulu adalah brahmana di istana Kediri. Ia duduk di samping raja Kertajaya. Tapi ia diusir oleh Kertajaya karena membanngkang. Ayahamu adalah seorang pembangkang! Bersyukurlah karena sang raja masih berbaik hati tidak menghabisi nyawanya. Berterima kasihlah pada raja Kertajaya, sang pellindung kita, karena berkat...”

“Aku tidak membangkang!” sergah Mpu Parwa, “Aku hanya tak mau menyesatkan rakyat.”

"Kau menolak perintah raja!”

"Aku tidak menolak perintah raja! Aku mempertahankan agama. Aku tak mau mengakui dia sebagai dewa. Dia adalah manusia biasa, bukan Siwa, Brahma, atau Wisnu. Dia ...”

"Cukup!” Suara Tunggul Ametung keras bagai guntur, “aku muak mendengar kata-katamu. Aku ke sini untuk meminang Dedes. Jika kau setuju aku akan menghadap raja Kertajaya agar dia mengampunimu. Bagaimana?”

“Aku tak butuh ampunan dari rajamu yang sesat itu.”

Tunggul Ametung telah mencapai batas kesabarannya. Ia memerintahkan pasukannya untuk membawa Dedes secara paksa. Mpu Parwa berusaha mencegah, tapi percuma.

“Ayah! Ayah!” sejurus kemudian Dedes disekap, tangannya diikat ke belakang, lalu diseret dengan keji.

“Terkutuklah kau Tunggul Ametung!” kutuk Mpu Parwa. Pasukan Tunggul Ametung melumpuhkan dia dan murid-muridnya. Tak sampai di situ, ia juga memukuli sang brahmana hingga tak sadarkan diri. Penduduk yang menyaksikan kekejaman itu tak bisa menahan tangis.

“Hentikan, tolong hentikan!” seru para penduduk desa.

“Ini adalah hukuman untuk pembangkang raja.” Ucap Tunggul Ametung dari atas kudanya.

Para penduduk yang tak tega melihat kondsi Mpu Parwa berusaha menyelamatkannya dari kekejaman pasukan Tunggul Ametung.

Melihat hal itu sang adipati menjadi sangat marah. “Ini adalah pembangkangan! Habisi mereka!”

Dedes sudah dinaikkan ke kereta. Ia tak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa menyaksikan ayahnya dihabisi. Ia hanya bisa diam melihat teman-teman seperguruannya dan penududuk desa disiksa. Semua terjadi tanpa Dedes bisa cegah. Ia berucap dalam hati “aku akan membalas semua perbuatanmu ini, bajingan!”

Desa Polowijen jatuh dalam kekacauan. Tak ada panen raya hari itu. Banyak penduduk mengalami luka berat. Begitu pun Mpu Parwa, ia berhasil selamat walau kondisinya sangat kritis. Selain menyiksa penduduk desa, pasukan Tunggul Ametung juga menghancurkan sawah yang semula akan dipanen. Mereka juga meracuni sumber mata air. Semua dilakukan atas nama kekuasaan.

Dalam laporannya ke raja Kertajaya, Tunggul Ametung berkata bahwa Mpu Parwa telah menghasut penduduk desa untuk memberontak pada Kediri. Ia bersama pasukannya lalu datang untuk menumpas pemberontakan itu.

===

Dedes membisu di dalam istana kadipaten. Sejak sampai di tempat itu Dedes tak pernah mengatakan sepatah kata pun. Ia tidak pernah menerima Tunggul Ametung. Jangankan merimanya, menjawab kata-katanya pun tidak pernah. Hingga pada pada hari ke 157...

“Bajingan!”

“Janganlah kau marah padaku, Dedes. Kumohon. Aku melakukan itu atas perintah raja Kertajaya. Aku hanya menjalankan tugas sebagai adipati.”

"Benarkah membawaku secara paksa adalah perintah raja?”

"Itu adalah caraku membuktikan pada semua orang bahwa ayahmu bersalah.”

“Ayahku tidak bersalah! Ia diusir karena mengatakan kebenaran!”

"Pahamilah bahwa justru tindakanku ini bertujuan melindungimu. Dengan menjadikanmu sebagai istriku, raja Kertajaya tidak akan menghukum ayahmu."

"Tapi kau membunuh ayahku, bajingan!"

Tunggul Ametung tiba-tiba memeluk Dedes dangan paksa. Tangannya yang keras berotot memegangi tengan Dedes yang lemah. Dedes meberontak sebisanya, namun percuma.

“Hei tenanglah, sayang. Tenang. Aku dengar dari pasukanku bahwa ayahmu masih hidup," kalimat itu membuat Dedes tak bergerak, “aku akan menjamin nyawa ayahmu asal kau mau menerimaku sebagai suamimu. Jika kau memberontak, aku tak segan membunuh ayahmu. Semua tergantung padamu.”

Benar kata Tunggul Ametung. Mpu Parwa masih hidup. Dedes menyaksikan sendiri saat ia diantar Tunggul Ametung ke Polowijen. Mereka menyaksikan dari kejauhan sosok brahmana itu.

Malam datang. Dedes diam, berusaha memikirkan segala kemungkinan yang mungkin. Baginya kini yang penting adalah ayahnya masih hidup. Tapi ia tak akan memaafkan Tunggul Ametung, tak akan. Ia harus membalas dendam, harus! Tapi ia harus bersabar dan menunggu waktu yang tepat.

Dengan penuh api dendam dalam dirinya Dedes merelakan tubuh kotor itu menggerayangi tubuhnya, ia rela mulut busuk bajingan itu menicumi buah dadanya. Air mata Dedes jatuh tak terbendung.

Malam itu purnama berinar terang, Tunggul Ametung mencumbu Dedes penuh gairah.

Semarang, 7 April 2024

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image