Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image sucahyo adi swasono@PTS_team

Bias Samudra Kehidupan (Kedua)

Sastra | Thursday, 21 Mar 2024, 02:05 WIB
dokpri.com

Memasuki hari kedua puasa Ramadhan, Anggoro dan Alex memanfaatkan waktunya, pasca Ashar, dengan bercengkerama membahas hal-hal yang bersangkut paut dengan fakta kehidupan sebagai realitas yang tengah dihadapi oleh manusia saat ini.

Maklumlah, keduanya masih muda usia, telah memasuki semester akhir di perguruan tinggi negeri cukup ternama di kota tempat tinggal mereka berdua. Keduanya sedang giat-giatnya mencari jatidiri dalam mengarungi samudra kehidupan ini. Dan, tentunya keduanya pun mengaharapkan bagaimana bisa menjalankan satu kehidupan yang ideal, bukan kehidupan yang timpang.

Antara Anggoro dan Alex, hanya beda tempat studi formalnya saja. Anggoro studi di Universitas, sedangkan Alex studi di Politeknik. Anggoro mengambil program studi S1, sedangkan Alex mengambil program studi D4.

"Oh, ya Al, beberapa waktu yang lalu aku sempat membaca tayangan di sebuah medsos tentang kampusmu, dan viral lho? Apa kamu sudah membaca pula?" tanya Aggoro mengawali bicara dalam cengkeramanya dengan Alex.

"Tentang apa itu, Ang? Kan, berita dari kampusku yang ditayang di media sosial itu banyak dan bermacam-macam? Sebut saja soal apa yang viral itu, Ang, kalau boleh aku untuk menyingkronkan dari apa yang telah kamu baca?" tanya balik Alex kepada Anggoro.

"Hemm ... itu lho, tentang kasus dugaan korupsi terhadap pengadaan tanah untuk pengembangan kampusmu, Al. Dengan tajuk, 'Penelusuran atas dugaan penyelewengan proyek pengadaan tanah kampus Politeknik terus bergulir', begitu prolognya di tayangan medsos tersebut, Al. Tertanggal, Rabu 28/2/2024." jawab Anggoro lugas.

"Oh, soal dugaan korupsi itu, toch? Konon, dari pelbagai sumber yang layak dipercaya, bahwa kasus tersebut sebenarnya sudah lama, dan terangkai dengan kebijakan yang diterapkan oleh 2 direktur yang lama. Dan, baru meledak setelah tampuk pimpinan kampus dipegang oleh yang baru ini. Konon kabarnya pula, bahwa pimpinan yang baru inilah yang mencoba membongkar skandal korupsi yang terjadi di kampusku yang selama ini dianggap aman-aman dan landai-landai saja. Sepemahamanku, bahwa korupsi sebagai tindak pidana luar biasa atau extra ordinary crime, menurut hukum posistif di negeri ini prinsipnya adalah bisa 'berlaku surut'. Artinya, sekalipun tindak kejahatan yang merugikan negara itu dilakukan sekian tahun berlalu, masih bisa diusut, dan tak ada istilah tertelan oleh waktu yang bertahun-tahun lamanya, sehingga dianggap kadalawursa. Dengan kata lain, pelakunya yang merasa aman dan nyaman oleh karena waktu yang menenggelamkannya, tidak bisa begitu, lho Ang?" urai Alex pada batas yang dipahami terhadap skandal korupsi yang melanda kampus tempat dirinya berstudi.

"Ya, ya, ya, ya, Kawan ... pahamlah aku dengan apa yang kau utarakan itu, menyangkut skandal korupsi di kampusmu yang keren itu. Dan, kabarnya, skandal korupsi itu sedang ditangani oleh kejaksaan tinggi Jawa Timur, sudah dalam tahap penyidikan. Kita tunggu sajalah bagaimana perkembangannya, ujung akhir putusan pengadilan nantinya, apakah benar-benar bisa terbongkar secara objektif ataupun tidak, sehingga bisa menjerat pelakunya yang notabene adalah kaum cerdik cendekia yang seharus memberikan teladan dalam perbuatan bagi masyarakat kebanyakan, utamanya bagi mahasiswa dan mahasiswi yang tengah studi di kampus Politeknik sebagai kandidat sarjana yang sujana, bukan sebagai sarjana yang durjana. Begitu kan, Al, sebagaimana memaknai folosofi Tri Dharma Perguruan Tinggi bagi kita yang masih berstatus sebagai mahasiswa?" kata Anggoro sambil menyinggung tentang Tri Dharma Perguruan Tinggi yang berujung pada pengabdian masyarakat bagi keberadaan perguruan tinggi di negeri ini, dan itu idealnya. Bukan malah sebaliknya, yakni mencederai sendiri terhadap apa yang telah menjadi janji-ikrar civitas akademika.

"Memang itu idealnya, Kawan. Mantap sekali ulasanmu dalam untaian kata dan bahasa yang gamblang. Sekarang, mari kita beralih ke topik lainnya, yang berelevansi dengan situasi dan kondisi saat ini, saat kita dalam nuansa Ramadhan, bagaimana? OK?" harap Alex kepada Anggoro.

"Baiklah, bagaimana bila kita bahas tentang surga dan neraka sebagai fenomena yang tiada putusnya dalam konteks hidup dan kehidupan manusia seumumnya?" kata Anggoro yang berusaha melempar bola persoalan kepada Alex untuk ditangkap dan diulas lebih dalam yang tak sekedar kulit permukaannya saja.

"OK, langsung saja, ya? Bagiku, Ang ... agama apapun, kepercayaan apapun pasti mengarahkan kepada pengikutnya untuk hidup menuju surga, dan menghindari neraka. Tinggal bagaimanakah cara atau jalan yang tepat menuju surga. Itu yang penting dan utama. Sebab, yang demikian itu masih menjadi polemik yang tidak pernah ada ujungnya di antara umat beragama. Dan, fakta realitanya memang begitu, tak terbantahkan. Masing-masing penganut agama mengklaim bahwa kelompoknyalah yang paling benar, agamanyalah yang bisa menghantar menuju ke surga, mereka menganggap kelompok yang lain salah, agama yang lain dianggap sesat, kafir, dan akan terjerumus ke neraka. Padahal, Tuhannya sama, namun kenapa umat manusia jadi beda-beda dalam menerima dan menanggapi ajaran Tuhannya?" ulas Alex menanggapi persoalan yang dilemparkan Anggoro.

"Aku sendiri pun begitu, Al. Terkadang terbit suatu kebimbangan, apakah agama yang kupilih sudah tepat? Apakah ibadah yang kujalankan sudah benar? Apakah pahala-pahala yang sudah kukumpulkan, bila itu memang dikategorikan sebagai pahala, bisa menjadi tiket menuju ke surga? Manusiawi, kan bila aku sampai berpikir seperti itu?" timpal Anggoro.

"Ya, manusiawilah, Kawan, sebelum kita mendapatkan satu jawaban kepastian yang objektif ilmiah. Bukan serangkaian jawaban naratif-retorik belaka, jauh dari hal-hal yang logis-rasional. Sebab, bukankah kepastian alam semesta ini sejalan dengan akal sehat, dan tak ada kepastian alam semesta yang tak sejalan dengan akal sehat bagi sosial budaya manusia? Dengan kata lain, bisa dinyatakan dan dibuktikan secara empiris," sahut Alex dengan dasar logika-rasionalitasnya.

"Kalau begitu, apa yang telah kau pahami tentang surga, Kawan?" tanya Anggoro.

"Surga, adalah suatu kondisi kehidupan yang ideal, seimbang dengan segala aspek yang terlingkup di dalamnya. Surga kehidupan yang dimaksudkan di sini adalah gambaran kehidupan yang dikehendaki Tuhan. Sebuah kehidupan yang adil, sejahtera, penuh kebaikan dan kedamaian dalam balutan lingkungan yang bersih, indah dan terjaga keseimbangannya. Hal itu akan tercipta sebagai akibat proses pemahaman yang tepat pada diri manusia terhadap ajaran Tuhan yang universal. Semua ajaran Tuhan berisi nilai-nilai kebajikan, nilai-nilai yang berlandaskan keseimbangan, nilai-nilai kebajikan yang bersifat universal. Artinya, semua agama atau aliran kepercayaan apapun akan mempunyai pandangan atau pemahaman yang sama terhadap nilai-nilai kebajikan. Nilai-nilai kebajikan merupakan nilai-nilai positif, antara lain: saling tolong-menolong dalam kebajikan, saling menghargai dan menghormati, membantu yang lemah, berbuat adil, tidak merusak diri, tidak merugikan sesama, tidak menyakiti yang lain, tidak menghambur-hamburkan harta, tidak merusak alam, selalu menjaga kebersihan, rajin, profesional, produktif, tidak berlebih-lebihan, dan berbagai nilai-nilai positif lainnya," ulas Alex dengan seksama, menjawab pertanyaaan yang diajukan Anggoro.

"Lantas, muaranya bagaimana, Al?" tanya Anggoro dengan antusiasnya.

"Semua nilai-nilai positif atau perbuatan-perbuatan baik itu harus dirangkai menjadi aturan-aturan yang mengikat, menjadi sistem kehidupan yang ideal. Sistem yang tidak memberikan ruang sama sekali terhadap perilaku-perilaku yang negatif, perbuatan-perbuatan buruk yang tercela. Maka itulah kehidupan yang ideal menurut maunya Tuhan, dan menjelmalah sebagai surga kehidupan yang real dan nyata, bukan fatamorgana ..." tandas Alex dalam mengemukakan pemahamannya tentang surga kepada Anggoro.

"Siap, Kawan, terima kasih atas kupasanmu soal surga yang begitu gamblang untuk dicerna dan yang seharusnya bisa ditindaknyatakan dalam praktik hidup di kehidupan ini," kata Anggoro menanggapi apa yang telah diulas Alex.

"Sama-sama, Kawan. Puji Tuhan, Alhamdulillah, Salam Seimbang Universal Indonesia Nusantara ..." uluk salam Alex kepada Anggoro, begitu terdengar suara azan Maghrib.

"Selalu Seimbang, Kawan ..." jawab Anggoro terhadap uluk salam dari Alex, menutup bincang cengkeramanya, dan isyarat untuk beranjak pulang ke rumah seiring dengan saat Maghrib telah tiba.

*****

Kota Malang, Maret di hari kedua puluh satu, Dua Ribu Dua Puluh Empat.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image