Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dandelion

Statistics Game dalam Demokrasi, Bathilkah?

Politik | Thursday, 15 Feb 2024, 17:14 WIB

Para oknum kapitalisme berpendapat bahwa demokrasi sudah sesuai dengan Islam. Padahal Allah Swt. memberikan firman melalui QS. Asy-Syuura ayat 10,

“Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah.”


Statistics game atau suara mayoritas yang menjadi penentu pemilihan umum dan kebijakan dalam demokrasi dicampurbaurkan dengan aturan Islam yang mulia demi meraup suara umat Islam di negeri kaum muslim. Berikut diantara alasan mereka:

a. Suara mayoritas tidak bertentangan dengan Islam sebab Rasulullah mundur pada perang Uhud berdasarkan suara mayoritas.

b. Voting hampir sama dengan perang, bukan untuk menentukan benar atau salah, tetapi untuk menentukan menang atau kalah. Jika voting terbanyak ada pada 'salah', maka kezaliman yang akan terjadi di negeri tersebut. Beda halnya jika umat memberikan voting pasa kebenaran, maka kemaslahatan umat akan tercapai.

c. Dalam demokrasi seperti perang. Perang memanglah perang menentukan menang dan kalah, tapi bukan menentukan haq dan bathil. Rasulullah pernah kalah perang bukan berarti beliau berada di jalan kebathilan.

d. Demokrasi itu sebenernya statistics game yang memeperbanyak populasi orang baik. Jika voting dilakukan 100 orang, maka butuh 51 lebih orang baik untuk memenangkan kebenaran.


Allah Swt. berfirman,


“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan.”(QS. An-Nisa' Ayat 65)


Allah tidak memerintahkan umat Islam untuk mengambil suara terbanyak demi memutuskan suatu perkara. Melainkan mengembalikannya kepada syariat Islam. Bagaimana Islam memandang perkara yang sedang mereka perdebatkan. Maka alasan-alasan mereka yang menyamakan atau menganggap demokrasi sudah sesuai dengan Islam adalah salah kaprah.


Pertama, berdasarkan salah satu nash Al-Qur'an (QS. An-Nisa' Ayat 65) saja, sudah menunjukkan bahwa pemecah permasalahan umat adalah syariat Islam (Al-Qur'an dan assunnah). Bahkan Thomas Jefferson, seorang pemikir Barat, mengungkapkan bahwa, "Demokrasi tidak lebih dari aturan mafia, dimana 51 persen orang merampas hak-hak 49 persen orang sisanya."


Kedua, Rasulullah dan para sahabat berembuk untuk menentukan apakah mereka akan menghadapi musuh di dalam atau di luar kota Madinah. Mayoritas memilih di luar, sedangkan Rasulullah memilih di dalam. Aktivitas ini dijadikan dalil kehalalan demokrasi. Padahal ketika Perjanjian Hudaibiyah, mayoritas sahabat menentang isi Perjanjian Hudaibiyah. Namun Rasulullah saw tidak goyah dan teguh pada apa yang telah diputuskan. Maka menjadikan musyawarah perang Uhud tidaklah relevan jika dijadikan rujukan bahwa demokrasi sesuai dengan Islam.


Ketiga, tidak bisa suara mayoritas dikatakan tidak berkaitan dengan haq dan bathil, sedangkan sejak awal kelahiran suara mayoritas sudah membawa paham yang bathil.


Keempat, memang benar statistics game hanya menentukan menang-kalah bukan benar-salah. Tetapi ketika suara mayoritas tadi digunakan untuk menentukan hukum yang bahkan sesuatu yang sudah menjadi kehendak Allah Swt. pun harus melalui persetujuan mayoritas, maka hal ini benar-benar bathil. Contoh, kehendak Allah Swt. adalah menerapkan kisas bagi pelaku pembunuhan sebagaimana yang tertera dalam QS. Al-Baqarah ayat 178,


"Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian hukuman qishash terhadap orang-orang yang dibunuh: orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Oleh karena itu, barangsiapa yang mendapat pengampunan dari saudaranya, hendaklah dia (yang memberi maaf) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah yang mendapat pengampunan membayar (diyat) kepada yang memberi pengampunan dengan cara yang baik pula. Itu adalah kemudahan dari Tuhanmu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih."


Jika menganut paham demokrasi, kebijakan pembunuhan bisa dianulir sesuai kesepakatan mayoritas yang menghasilkan UU suka-suka. Misal UU SPPA, mengatur ketentuan kasus pembunuhan oleh anak di bawah umur diselesaikan di luar pengadilan atau diversi apabila ancaman hukuman di bawah 7 tahun. Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, memiliki ancaman pidana di atas 7 tahun yakni pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau paling lama 20 tahun. Memang kisas dan diyat pembunuhan ada berbagai macam yang bisa kita pelajari di kitab-kitab fiqih. Tapi itu berdasarkan Al-Qur'an dan assunnah, bukan hasil putusan suara terbanyak.


Allah Swt. berfirman,


"Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Yang mereka ikuti hanya persangkaan belaka dan mereka hanyalah membuat kebohongan."(QS. Al-An'am Ayat 116)


Tidak hanya itu, di dalam Al-Qur'an menyebutkan pada banyak ayat yang menjelaskan suara mayoritas cenderung identik dengan kebutukan dan nafsu manusia:


- Mayoritas manusia tidak beriman (QS. Al-Baqarah 100; Yusuf 106; Asy-Syu'ara 8, 67, 103, 121, 139, 156, 174, 190)


- Mayoritas manusia tidak beriman dan tidak mengetahui (QS. Al-A'raf 102; al-An'am 37, al-Anfal 34; Yunus 55; an-Nahl 75, 101; al-Anbiya 24, an-Naml 61, al-Qashash 13, 57, Luqman 25; az-Zumar 29, 49; ad-Dukhan 39; ath-Thur 47)


- Mayoritas manusia bersifat bodoh, fasik, tidak berakal dan tidak mau menerima kebenaran (QS. al-An'am 111; al-A'raf 102; al-Furqan 44; al-Ankabut 63; Fushilat 4; al-Hujurat 4)


- Mayoritas manusia mengikuti prasangka dan tidak bersyukur (QS. Yunus 36, 60; al-A'raf 17; an-Naml 73)


Berdasarkan dalil-dalil tersebut, jelas bahwa sistem suara terbanyak tidaklah relevan jika dikaitkan dengan Islam. Keduanya bertolak belakang. Belum lagi jika statistics game dijadikan sebagai acuan dalam hal memilih pemimpin negara. Sifat manusia mayoritas tidak beriman, tidak mengetahui, bodoh, tidak berakal maupun menerima kebenaran dan hanya mengikuti prasangka. Tidakkah sifat-sifat tersebut berpengaruh pada siapa dan seperti apa kualitas seseorang yang mereka pilih sebagai imam? Tentunya berpengaruh, bukan? Maka tidak heran suara mayoritas justru mendapat tempat terendah di dalam Al-Qur'an.


Demokrasi adalah kejahatan dan sudah sewajarnya umat muslim berlepas darinya. Adapun cara berlepas dari demokrasi adalah dengan memahami Islam kaffah dalam bingkai khilafah. Serta berdakwah meneladani Rasulullah mewujudkan Islam kaffah.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image