Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dimas Muhammad Erlangga

Politik Perempuan di Pemilu 2024

Politik | Friday, 05 Jan 2024, 03:46 WIB
Momentum Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, baik Pemilu Legislatif maupun Pemilu Presiden, merupakan arena politik yang penting bagi pergerakan perempuan.

Karena itu, keikutsertaan kaum perempuan dalam arena tersebut harus diletakkan sebagai bagian dari agenda perjuangan politik perempuan. Melalui arena itu, kaum perempuan punya ruang untuk mendesakkan agenda politiknya.

Mari kita lihat. Di Pileg lalu, dari 7.698 caleg yang bertarung untuk perebutan kursi DPR-RI, sebanyak 3.194 di antaranya adalah caleg perempuan. Menariknya lagi, sekitar lebih dari 4% dari caleg perempuan itu berasal dari latar-belakang aktivis pergerakan perempuan.

Pada kenyatannya, sebagaimana diungkapkan, Sangat disayangkan memang bila melihat jumlah pemilih di Indonesia mayoritas adalah perempuan dengan jumlah pemilih sejumlah 96.557.044 orang hanya mampu mewakilkan 112 orang perempuan di parlemen. Dari 3.194 caleg perempuan yang berkompetisi di pileg tahun 2019 ini hanya 3,5 persen saja yang lolos ke senayan.

Ini menandakan bahwa belum semuanya pemilih perempuan yang ada di negeri ini memilih caleg perempuan. Di sisi lain, perempuan sendiri menganggap bahwa politik adalah dunia lelaki dan kotor yang penuh dengan korupsi-kolusi-nepotisme. Selain itu juga faktor Budaya, agama, dan sosial juga merupakan salah satu hambatan yang mempersulit perempuan masuk dalam parlemen.

Di arena Pilpres, situasinya lebih parah lagi: tak satupun perempuan yang muncul dalam bursa pencalonan Capres-Cawapres. Dua pasang Capres-Cawapres yang akan bertarung dalam Pilpres mendatang semuanya adalah laki-laki. Padahal, sejak pemilu 1999 hingga pemilu 2009, masih ada perempuan yang meramaikan pertarungan pemilihan Presiden.

Banyak yang menilai, kegagalan caleg perempuan itu dipicu oleh sejumlah faktor, seperti politik uang, kecurangan pemilu, dan penempatan perempuan di nomor urut bawah (3, 6, dan 9). Selain itu, di tengah alam demokrasi persaingan bebas, caleg perempuan kurang mendapat dukungan dari partai dalam hal logistik, jaringan politik, dan pengembangan kapasitas. Maklum, banyak partai politik hanya memanfaatkan Caleg perempuan sebagai pelengkap persyaratan untuk mendaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Selain itu, lingkungan politik Indonesia yang patriarkal juga mempengaruhi tingkat keterpilihan caleg perempuan. Arena politik masih dianggap wilayahnya ‘kaum laki-laki’. Belum lagi, ada takhayul dalam politik, yakni bahwa pemimpin ‘kuat, tegas, dan berani’ hanya ada pada laki-laki.

Selain itu, kultur patriarkal ini cukup lama mengurung perempuan agar hanya berada di wilayah domestik rumah tangga. Akhirnya, ketika perempuan terjun ke politik, mereka berhadapan dengan kondisi subjektif berupa pengalaman dan pengetahuan politik yang minim.

Saya kira, selain faktor-faktor di atas, ada persoalan juga di tingkatan gerakan perempuan itu sendiri. Kendati disadari bahwa perjuangan lewat jalan parlementer sangat penting dalam pemajuan agenda politik perempuan, tetapi pemenangan caleg perempuan belum menjadi kerja politik bersama (kolektif) oleh semua organisasi perempuan.

Padahal, kerjasama kolektif semacam itu penting untuk membantu proses pemenangan caleg perempuan, seperti penyiapan dan penyebaran bahan agitasi-propaganda, kampanye, penggalangan dana, hingga pengawalan pemilih dan hasil suara caleg perempuan.

Lebih jauh lagi, caleg-caleg perempuan belum berhasil membawa isu-isu perempuan dalam kampanye Pileg maupun Pilpres. Padahal, dalam beberapa tahun terakhir, isu-isu perempuan cukup banyak menarik perhatian publik, seperti kasus perkosaan, pelecehan seksual, kekerasan terhadap perempuan, dan lain-lain.

Belum lagi dampak kebijakan neoliberal yang dirasakan langsung oleh kaum perempuan, terutama buruh, petani, miskin perkotaan, dan lain-lain, gagal diolah oleh caleg perempuan untuk mendapatkan dukungan dari sektor-sektor tersebut.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image