Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Siti Muzdalifah

Apakah LDR Dapat Meminimalisir Perilaku Seksual?

Edukasi | Monday, 01 Jan 2024, 09:21 WIB

Remaja sekarang sudah jauh mengerti tentang dunia percintaan diri sendiri, sehingga jauh dari kata perjodohan. Misalnya anak di bangku sekolah seperti SMP dan SMA rata-rata sudah menjalani hubungan percintaan dengan lawan jenis layaknya orang dewasa. Perilaku seksual adalah suatu bentuk aktivitas fisik antara seorang pria dengan seorang wanita, atau antara lawan jenis, yang dilakukan dengan dorongan seksual dan mengungkapkan perasaan, emosi, dan hasrat seksual melalui berbagai tindakan. Hubungan percintaan atau berpacaran identik dengan perilaku seksual seperti berpegangan tangan, mencium kening, berpelukan, serta berhubungan intim yang dimana perilaku tersebut disertai rasa hasrat dengan lawan jenis. Beberapa perilaku seksual tidak mempunyai konsekuensi, terutama konsekuensi fisik atau sosial. Namun, dampaknya bisa memengaruhi perasaan lainnya, seperti perasaan bersalah, depresi, dan marah pada anak perempuan yang terpaksa menggugurkan kandungannya (Sarwono, 2011).

Remaja mempunyai hasrat yang mulai meningkat dan hasrat yang meningkat membutuhkan penyaluran melalui perilaku seksual tersebut. Tidak hanya karena hormon yang meningkat, perilaku seksual juga terjadi karena remaja mempunyai rasa keingintahuan yang tinggi terhadap sesuatu yang belum diketahui. Sehingga mengakibatkan mereka search konten pornografi, dan mencoba melakukannya dengan kekasihnya. Menurut Sylvester (2014) dalam Yulianto et al. (2022) mengungkapkan bahwa pengawasan orang tua yang kurang membuat perilaku seksual remaja mudah meningkat, dan rendahnya perilaku seksual remaja terjadi karena pola asuh authoritative dari orang tua. Perilaku seksual biasanya merangsang hasrat dan menghasilkan perubahan fisiologis pada orang yang terangsang, ada yang dapat dikenali dan tidak dapat dikenali. Menurut Yulianto (2020a), Perilaku Seksual yang dilakukan remaja sebelum menikah mempiliki urutan berdasarkan tingkat keintiman, mulai dari sentuhan dengan lawan jenis, berciuman, belaian, dan melakukan persetubuhan. Di beberapa budaya, seks dianggap pantas hanya untuk pasangan menikah, dan hubungan di luar nikah serta perzinahan dianggap tabu. “Perilaku seksual yang dilakukan sebelum menikah dapat disebut sebagai perilaku seksual pranikah” (Yulianto, 2020).

Perilaku seksual terjadi ketika pasangan berduaan disuatu ruangan yang berarti mereka melakukan pertemuan secara langsung, alih-alih untuk melepas rasa rindu pada pasangan. Tetapi apa yang terjadi apabila salah satu dari pasangan tidak memiliki waktu banyak untuk bertemu, memiliki kesibukan dalam bekerja, dan hubungan mereka mengalami LDR? Apakah lebih meminimalisir terjadinya perilaku seksual, atau malah lebih sering dilakukan tetapi tidak secara langsung? LDR atau “Long Distance Relationship” merupakan sebutan untuk seseorang yang melakukan hubungan percintaan dengan kekasihnya tetapi dengan jarak yang lumayan jauh, sehingga kemungkinan mereka untuk bertemu cukup sulit. Seseorang melakukan LDR karena beberapa sebab, misalnya: rumah yang berjarak jauh dengan pasangan, bekerja di luar kota, atau menempuh pendidikan yang jauh dari kota asalnya. Tetapi di zaman sekarang ini LDR bukan menjadi penghalang untuk melanjutkan suatu hubungan, karena zaman semakin canggih dan sudah banyak alat komunikasi yang dapat digunakan untuk pasangan yang sedang mengalami LDR. Pasangan LDR akan sulit untuk bertemu apalagi untuk berduaan dengan pasangannya, tetapi tidak menjadi jaminan pasangan yang mengalami LDR tidak melakukan perilaku seksual tersebut walaupun tidak bertemu.

Pasangan yang mengalami LDR masih ada kemungkunan untuk melakukan perilaku seksual namun secara tidak langsung. Seseorang yang melakukan LDR akan lebih sering melakukan chatting atau video call dengan kekasihnya baik untuk memberi kabar satu sama lain maupun meluapkan rasa rindu satu sama lain. Tetapi dibalik itu pasangan LDR bisa melakukan hal tidak senonoh pula seperti melakukan video call secara intens yang berkaitan dengan hal intim biasa disebut dengan VCS/ video call seks. VCS adalah tindakan seksual antara dua orang melalui video call. Contohnya adalah ketika seseorang dan pasangannya melakukan masturbasi melalui video call untuk memuaskan hasrat seksualnya. Tetapi pasangan yang merasa malu untuk melakukan VCS lebih memilih untuk melakukan phone sex, yaitu sama hal nya seperti melakukan obrolan melalui telfon tetapi membicarakan sex untuk menaikkan gairah seksual, dan biasanya dilakukan dengan disertai masturbasi.

Dorongan seksual cenderung cepat terpuaskan, dan VCS seringkali menjadi metode pilihannya. Tetapi apabila dilakukan secara berlebihan tanpa pengendalian diri dapat mengakibatkan kecanduan pemuasan hasrat seksual dan resiko psikologis yang dapat mempengaruhi keadaan psikologis seperti perasaan bersalah, depresi dan ketegangan mental. Tidak hanya itu, ketika hubungan telah berakhir tetapi sang mantan masih menyimpan video hasil VCS yang sempat ia record, maka revenge porn bisa saja terjadi. Revenge porn merupakan penyebaran video atau foto seksual seseorang dengan tujuan untuk mengintimidasi atau mempermalukan orang tersebut, biasanya hal ini terjadi karena mantan pacar mengancam ingin menjalin berhubungan kembali. Berkembangnya teknologi, penyebaran informasi menjadi tidak terbatas dan sulit dikendalikan. Selain itu, video seksual yang diperoleh secara digital dapat ditransfer ke akses terhadap konten pornografi. Jika kegiatan VCS yang sifatnya sangat privat diketahui oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, maka bisa saja mereka dianggap sebagai pelaku kegiatan asusila sehingga berdampak pada menurunnya reputasi sosial yang negatif bahkan sanksi sosial. Hal itu yang berdampak buruk bagi seseorang yang melakukan VCS dan bisa berimbas pada psikologis maupun keinginan untuk bunuh diri.

Banyak orang berpikir bahwa perilaku seksual terjadi karena pasangan yang sering bertemu dan berduaan, ternyata perilaku seksual juga dapat terjadi pada pasangan yang tidak bertemu. Perilaku seksual sendiri dapat diminimalisir dengan cara membatasi content para remaja saat menggunakan internet agar tidak menonton pornografi. Remaja juga perlu mendapatkan edukasi tentang pentingnya organ reproduksi dan privasi diri. Sehingga, LDR bukan menjadi solusi dari permasalah perilaku seksual yang banyak terjadi di kalangan remaja. Remaja membutuhkan kesadaran agar lebih bijak menentukan pilihan hidupnya dan juga berfokus meningkatkan potensi diri tanpa harus terlibat lebih jauh dalam dunia percintaan, karena jika hidupnya sudah ber-value maka cinta pun akan tumbuh sendirinya.

Daftar Pustaka

indotesis.com. (2017). Pengertian, Bentuk dan Faktor Penyebab Perilaku Seks Bebas. Medium. https://medium.com/@indotesis/pengertian-bentuk-dan-faktor-penyebab-perilaku-seks-bebas-e17e97603c1

Ramot, C. (2023). Fenomena Video Call Sex (VCS) di Era Dating Apps dan Langkah Menghindarinya. Klikdokter. https://www.klikdokter.com/psikologi/relationship/dampak-video-call-sex

Ratnawati, M. T. (2014). Hubungan antara Kebiasaan Menonton Film Porno dengan Perilaku Seksual Remaja di Smk Saraswati Salatiga Kelas X Otomotif. Universitas Kristen Satya Wacana.

Rohmadini, A., Egi, M., Khansa, N., & Yulianto, A. (2020). Perbedaan Perilaku Seksual Pranikah Antara Remaja Pengguna Internet Tinggi Dan Remaja Pengguna Internet Rendah Di Tangerang Selatan.

Yulianto, A. (2020). Pengujian Psikometri Skala Guttman untuk Mengukur Perilaku Seksual Pada Remaja Berpacaran. 18, 38–48. https://doi.org/10.47007/jpsi.v18i01.80

Yulianto, A. (2020b). Premarital Sexual Behaviors: Youth and Romantic Relationship. https://doi.org/10.5220/0009562400250028

Yulianto, A., Putri, A. A., & Moningka, C. (2022). Pengaruh Pola Asuh Orang Tua dan Jenis Kelamin Terhadap Perilaku Seksual pada Remaja Berpacaran. Buletin Poltanesa, 23(1). https://doi.org/10.51967/tanesa.v23i1.1054

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image