Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fika Salsabila

Solusi atas Penderitaan Pengungsi Rohingya

Politik | Monday, 27 Nov 2023, 21:53 WIB

Pengungsi Rohingya tiba di bibir pantai Desa Pulo Pineung Meunasah Dua, Kecamatan Jangka, Bireuen pada Kamis subuh (Detik Sumut, 16-11-2023). Warga yang mengetahui kedatangan pengungsi Rohingya ramai-ramai datang ke lokasi untuk menolak kedatangan mereka. Di sisi lain, pemerintah pun menolak kehadiran pengungsi Rohingya. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Muhammad Iqbal, menyatakan bahwa Indonesia tidak berkewajiban menerima pengungsi Rohingya sebab Indonesia tidak ikut meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951. Konvensi tersebut mengakui hak-hak orang yang mencari suaka untuk menghindari penindasan di negara-negara lainnya.

Dikutip dari artikel tirto.id, "Karena itu Indonesia tidak memiliki kewajiban dan kapasitas untuk menampung pengungsi, apalagi untuk memberikan solusi permanen bagi para pengungsi tersebut," kata Iqbal beberapa waktu lalu. Dirinya menyindir negara lain yang meratifikasi konvensi tersebut, namun abai kepada urusan kemanusiaan Rohingya. Indonesia memberikan bantuan semata karena urusan kemanusiaan. "Ironisnya banyak negara pihak pada konvensi justru menutup pintu dan bahkan menerapkan kebijakan push back terhadap para pengungsi itu," tukas dia. Iqbal menegaskan bahwa ada banyak pihak yang memanfaatkan belas kasih kepada pengungsi untuk Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Oleh karena itu, Indonesia harus berhati-hati dalam menerima pengungsi.

Akan tetapi, warga setempat juga memberikan pertolongan kepada pengungsi Rohingya sehingga tak terombang-ambing di atas kapal. Azharul berharap Kementerian Luar Negeri dapat bekerja sama dengan PBB mengentaskan isu imigran Rohingya. "Ketika pemerintah diam saja membiarkan persoalan ini berlarut-larut sehingga terjadi penolakan, ini sangat kita sayangkan," kata dia.

Azharul juga menyebut jumlah imigran Rohingya sebanyak 346 orang yang berada di Pidie dan 249 lainnya di Bireuen. Warga sekitar telah membantu para imigran Rohingnya yang hendak mengungsi. Namun, setelah diberi bantuan, para pengungsi kemudian diminta kembali ke kapal mereka. "Saat ini masih tersisa empat orang yang berada di darat dan berkomunikasi dengan pihak otoritas pemerintah yang tiba di lokasi," kata Azharul Husna dalam keterangan tertulis pada Kamis (16/11/2023). “Ada orang-orang, anak-anak di atas kapal. Tentu saja, orang-orang itu, menurut saya, berada dalam kesusahan. Kesusahan bukan hanya fisik kapal, tetapi juga orang-orang di dalamnya. Jadi, ya, saya pikir di tingkat nasional, harus ada transparansi dan penerapan hukum seperti Peraturan Presiden,” kata Chris Lewa. Kalau pun terdapat penolakan, pemerintah Indonesia semestinya dapat memberikan alternatif daerah lain sebagai tempat penampungan pengungsi, tambah Chris.

Lain cerita di Kabupaten Pidie saat dua kapal pengungsi Rohingya berisi masing-masing 196 dan 147 orang berhasil mendarat di tanah Rencong. Kapal pertama datang pada Selasa (14/11), dan disusul sehari kemudian oleh kapal kedua. Di atas kapal kayu itu, terlihat pengungsi berjubal dan menatap dengan wajah sedih ke daratan sebagian dari mereka adalah perempuan dan anak-anak. Dikutip dari tirto.id Azwani, 65 tahun, mengaku sebagai perwakilan warga dari pertemuan tersebut. Dia mengklaim warga menolak karena keberadaan pengungsi Rohingya melanggar “norma-norma yang telah disepakati”.

Sejauh ini belum ada keterangan resmi dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat terkait pemindahan minoritas Rohingya di Pidie. Masyarakat setempat mengklaim bahwa pengungsi Rohingya meminta pemerintah memberikan wilayah Selayang kepada mereka dan juga Warga Rohingya antara lain menuntut kewarganegaraan Malaysia, masyarakat mengklaim juga Rohingya adalah orang-orang yang mengerikan dan menjijikkan sehingga membuat warga resah atas tidak adanya moralitas pada masyarakat Rohingya tersebut.

*Apa Respons Pemerintah?*

Plt. Kepala Dinas Sosial Aceh, Devi Riansyah mengatakan pihaknya tidak berwenang terhadap persoalan ini, dan menyerahkan hal ini kepada Badan PBB untuk urusan Pengungsi, UNHCR.

“Sesuai dengan Perpres 125 terkait PPLN Dinsos Provinsi tidak memiliki kewenangan dan tupoksi (tugas, pokok dan fungsi) terkait hal tersebut,” kata Devi melalui pesan tertulis.

Saat ditanya mengenai alternatif lokasi penampungan karena adanya penolakan warga, dan potensi konflik, Devi menjawab: “Sampai saat ini belum ada arahan dari pimpinan terkait hal tersebut”.

Sementara itu, juru bicara Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal menegaskan, “Kejadian semacam ini akan terus berulang selama akar masalahnya tidak diselesaikan, yaitu masalah Rohingya di Myanmar.”

Ia melanjutkan, terkait arus arus pengungsi yang saat ini terjadi lagi, pemerintah Indonesia meminta negara-negara pihak pada Konvensi Pengungsi 1951 untuk menunjukkan tanggung jawab lebih.

“Indonesia sendiri bukan negara Pihak pada konvensi sehingga tidak ada kewajiban untuk menampung,” kata Iqbal melalui keterangan kepada BBC News Indonesia.

“Namun demikian, selama ini kita selalu memberikan penampungan, semata-mata karena alasan kemanusiaan. Penampungan yang kami berikan bersifat jangka pendek dan bukan sebagai solusi permanen.”

Belasan organisasi masyarakat sipil ini juga mempertanyakan implementasi Peraturan Presiden No.125/2016 tentang Penanganan Pengungsi Luar Negeri. "Lagi-lagi Peraturan Presiden tak diindahkan dalam kejadian ini,” tambah pernyataan itu.

*Negara Bungkam*

Kesedihan tidak hanya dialami oleh pengungsi Rohingya yang ditolak untuk mendarat. Para pengungsi yang sudah datang sebelumnya dan ditempatkan di penampungan juga terancam harus angkat kaki dari Indonesia. Warga di sekitar lokasi pengungsian menyampaikan ultimatum bagi pengungsi untuk pindah ke lokasi lainnya maksimal Minggu (19-11-2023). Sikap warga ini disebabkan oleh selama ini telah terjadi gesekan antara warga lokal dengan pengungsi.

Sementara itu, negara tidak hadir untuk me-riayah (mengurusi) muslim Rohingya agar mereka bisa hidup layak. Negara juga tidak hadir untuk mendamaikan konflik antara warga dengan pengungsi secara adil. Akibat dari absennya negara ini, konflik antara warga dengan pengungsi yang notabene sesama muslim jadi membesar dan berujung penolakan.

Sejatinya, permasalahan pengungsi Rohingya memang merupakan domain negara, bukan sekadar individu atau masyarakat. Muslim Rohingya telah dijajah oleh pemerintah Myanmar selama berpuluh-puluh tahun. Mereka mengalami genosida, baik oleh Junta Militer maupun pemerintahan pro demokrasi.

Sikap kejam rezim Buddha Myanmar disebabkan oleh sentimen asabiah mereka terhadap etnis Rohingya yang muslim dan juga permainan politik antara Amerika Serikat dan Cina dalam menancapkan pengaruh di kawasan tersebut.

Ketika mengalami ancaman genosida di Myanmar, muslim Rohingya lari ke Bangladesh, tetapi rezim Hasina mengabaikan mereka. Tempat pengungsian yang disediakan untuk muslim Rohingya pun amat buruk sehingga tidak layak untuk didiami. Nasionalisme telah membelenggu Bangladesh dari menolong muslim Rohingya secara layak.

Dengan latar belakang yang demikian, wajar saja muslim Rohingya melarikan diri ke Indonesia, negeri mayoritas muslim yang diharapkan memberi tempat hidup yang layak untuk mereka. Namun, sekali lagi, rezim penguasa terbelenggu oleh nasionalisme. Meski Indonesia --utamanya Aceh-- mau menolong muslim Rohingya, negara justru mengabaikan para pengungsi. Padahal, untuk menolong secara permanen, tentu tidak bisa dengan kekuatan individu atau masyarakat saja, tetapi juga membutuhkan kekuatan negara.

Muslim Rohingya membutuhkan tempat tinggal, pekerjaan, pendidikan, kesehatan, keamanan, energi, sandang, pangan, dan lainnya, bahkan mereka butuh kewarganegaraan. Untuk mencukupi itu semua tentulah menjadi tugas negara. Namun, nasionalisme yang telah membelenggu menjadikan negara enggan untuk membantu.

Negara masih pakai hitung-hitungan ekonomi sebab tentu terbayang besarnya rupiah yang harus dikeluarkan untuk membantu muslim Rohingya hingga mendapatkan kehidupan layak. Pada saat yang sama, rezim ini terhadap rakyatnya sendiri saja berlepas tangan dari melakukan riayah, apalagi mengurusi para pengungsi. Mirisnya, sikap yang sama diambil oleh seluruh penguasa negeri muslim di dunia.

*Bagaimana Penanganan yang Tepat?*

Solusi hakiki bagi muslim Rohingya hanya ada pada hukum Islam yang di tetapkan. Ketika ada hukum tetap yang mengatur tanpa menganggu gugat hukum tersebut yang berasal dari sumber dasar Al Quran dan Hadist, dalam peraturan tata negara Islam muslim Rohingya akan diterima dan diperlakukan selayaknya manusia. Mereka akan menjadi warga negara bersistem syariat Islam.

Sebagaimana riayah terhadap warga negara bersistem syariat Islam lainnya, negara akan mencukupi sandang, pangan, dan papan mereka, serta memberikan pekerjaan bagi para lelaki sehingga mereka bisa menafkahi diri dan keluarganya. Negara juga akan menjamin pemenuhan kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan keamanan sehingga mereka hidup layak.

Untuk mencegah konflik karena aspek budaya yang berbeda antara pendatang dengan warga lokal, negara akan mengislahkan keduanya. Asas akidah serta sikap saling taaruf dan taawun di antara keduanya akan menghilangkan sekat-sekat etnis yang mungkin ada.

Selain itu, sistem syariat Islam akan melakukan pendekatan politik maupun militer (jihad fi sabilillah) terhadap rezim Myanmar yang terbukti melakukan genosida terhadap muslim Rohingya. Khilafah sebagai pemimpin akan membebaskan muslim Rohingya yang masih ada di Myanmar dan membebaskan wilayah Rakhine yang selama berabad-abad sudah menjadi tempat tinggal mereka.

Solusi ini hanya bisa terwujud dengan tegaknya sistem syariat Islam secara kaffah. Oleh karena itu, umat Islam hari ini memiliki tanggung jawab untuk berjuang mewujudkan sistem tersebut, selain tetap memberikan pertolongan bagi muslim Rohingya yang berada di sini.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image