Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Susianah Affandy

Tinjauan Psikologis Motivasi Penyebaran Hoaks

Edukasi | Sunday, 29 Oct 2023, 02:49 WIB
Sumber : Kominfo.go,id

Tahun politik seperti saat ini, penyebaran hoaks dan ujaran kebencian di masyarakat khususnya di media sosial meningkat tajam. Sebagai warga masyarakat khususnya yang awam, kita wajib membentengi diri dari terpapar hoaks dan ujaran kebencian. Siapapun yang terpapar atau termakan hoaks, mereka memiliki kerentanan menjadi kurir gratis yang turut menyebarkan bahkan juga bisa mengarah menjadi pelaku hoaks itu sendiri.

Hasil penelitian tentang Perilaku Pengguna dan Informasi Hoax di Media Sosial oleh Dedi Rianto Rahadi menunjukkan bahwa pengguna media sosial sesungguhnya mengetahui tentang informasi hoaks dan ujaran kebencian yang diterimanya. Dalam tinjauan teori perilaku psikologis, terdapat dua faktor penyebab seseorang mudah percaya dengan informasi hoaks terutama di tahun politik seperti saat ini. Seseorang mempercayai informasi padahal ia tahu informasi ini tidak jelas validitasnya disebabkan karena hoaks tersebut memiliki kesamaan atau kesesuaian dengan opini serta sikap politik yang dimiliki.

Dalam diri manusia terdapat perasaan positif manakala opini dan keyakinannya terhadap politik mendapat pengakuan pihak lain. Maka saat ia menerima informasi hoaks yang sesuai dengan sikap politiknya akan langsung diterima, tanpa verifikasi sebelumnya. Sisi manusiawi cenderung tidak memperdulikan apakah informasi yang diterinya benar atau palsu. Secara psikologis, sebagian besar pengguna media sosial yang terlanjur fanatik akan turut menyebarkan informasi tanpa filter.

Kecenderungan umum lainnya adalah pengguna media sosial seperti whatApp Group kerap kali hanya membaca judul berita tanpa membaca isi dan kemudian turut menyebarkan. Kondisi ini diperburuk dengan fenomena adanya tokoh masyarakat atau tokoh publik yang juga turut menyebarkan, maka hal tersebut menstimulasi masyarakat lain dalam penyebaran hoax yang lebih luas.

Secara psikologis, seseorang khususnya dari kalangan simpatisan dan pendukung Capres ingin mendapat pengakuan diri sehingga saat menerima informasi dengan cepat mereka memberi komentar dan ikut menyebarkan ke pihak lain. Motivasi penyebaran hoaks tersebut agar yang bersangkutan mendapat pengakuan sebagai orang yang dianggap paling mengerti dan paham terhadap permasalahan yang terjadi.

Dibuat dan Disebarkan Terorganisir

Orang yang berpendidikan tinggi dengan pendidikan rendah memiliki perbedaan dalam menggunakan internet khususnya search engine. Orang yang memiliki pengalaman dan pendidikan akan lebih sistematis dalam menggunakan search engine internet di bandingkan dengan mereka yang minim pengalaman. Di sinilah masyarakat awam banyak yang tidak paham bahwa hoaks diproduksi oleh jaringan sosial untuk kepentingan pribadi maupun kelompok. Pihak-pihak yang turut dalam menyebarkan hoaks, tidak sedikit di antaranya merupakan bagian dari pihak yang berkepentingan untuk mencapai agenda tersembunyi dalam hoaks yang mereka sebarkan. Hasil penelitian Rahadi menyebutkan bahwa penyebaran hoaks dilakukan tidak hanya oleh individu namun juga komunitas, korporasi, lembaga negara dan militer dengan tujuan mencapai agenda dan/atau menjaga kepentingannya tetap eksis.

Secara psikologis, informasi hoaks diproduksi dan disebarkan bertujuan untuk memecah konsentrasi massa sehingga tidak fokus pada masalah yang terjadi. Masyarakat sengaja digiring untuk fokus pada hal-hal yang bombatis, yang sesungguhnya bukan permasalahan utama. Masalahnya, ketika seseorang dengan integritas dan kredibilitas yang tinggi turut dalam penyebaran hoaks, maka hal tersebut menjadikan masyarakat luas semakin yakin bahwa informasi yang diterimanya benar sehingga mereka ikut-ikutan menyebarkan tanpa verifikasi ulang.

Selain itu, faktor psikologis lain dalam penyebaran hoaks adalah sisi pribadi manusia yang akan tergugah manakala mereka mendapatkan kabar buruk dan tragedi sehingga merasa bertanggung jawab secara moral untuk membagikan kepada pihak lain. Rasa tanggung jawab inilah yang membuat mereka tidak peduli dengan informasi yang diterima apakah hoaks atau tidak.

Media sosial seperti WhatApp kerap dihuni oleh angota masyarakat yang merasa memiliki beban jika mereka tidak memberi tahu teman dan kolega tentang info buruk yang diterima. Beban mereka terasa lepas manakala ikut menyebarkan informasi ke pihak lain. Secara psikologis dalam diri individu terdapat “keakuan” yang tidak mau disalahkan apabila informasi yang disebarkan adalah hoaks, maka mereka menambahkan kata “dari group sebelah” sebagai upaya preventif jika hal tersebut hoaks. Perilaku lepas tangan dan tidak mau bertanggung jawab terhadap informasi yang disebarkan merupakan fenomena yang banyak terjadi.

Susianah Affandy

Koordinator Nasional Peta Indonesia dan Wakil Ketua Umum DPP Pencinta Tanah Air Indonesia

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image