Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Mohamad Fadhilah Zein

Cerpen. Dosa yang Keseratus

Sastra | Saturday, 22 Jul 2023, 09:30 WIB
Sebelum akhirnya meregang nyawa, wanita itu sempat menatap Sang Pembunuh dengan tajam. Ingat Tuhanmu, katanya.

“Oh, Pujangga dari Timur, ke mana kah harus kuadukan dosa yang kulakukan?”

“Aku seorang nestapa yang tidak lagi mampu berjalan.”

“Oh, Penyair dari Barat, ke mana kah harus kuceritakan noda yang kuperbuat?”

“Aku seorang pandir yang bahkan tidak bisa merangkak.”

“Oh, arah angin yang berputar, sampaikan penderitaan ini kepada penguasa alam raya.”

Setelah teriak di atas tebing, pria itu kemudian berlutut. Rambutnya yang panjang, dibiarkan dipermainkan angin. Tubuhnya yang penuh dengan peluh, berkilauan diterpa cahaya bulan. Tidak ada lagi suara setelah dia tertunduk lesu, melainkan hanya angin malam yang berdesir dan lamat-lamat terdengar nyanyian binatang malam. Dia bertelanjang dada sebagai keyakinannya untuk lepas dari dosa dan noda. Hanya kain berwarna hitam selutut yang dikenakan untuk menutup auratnya. Hanya sebatas melepas pakaian, dia pun merasa sudah sedikit bebas dari begitu banyak beban yang menghimpit. Dia yakin dosa itu disebabkan pakaian hitam yang selama ini dikenakannya.

Pria ini adalah pembunuh yang tidak tahu jalan pulang. Sudah 99 orang yang dikirimnya ke alam baka. Mereka meregang nyawa oleh tangannya yang berlumuran darah. Sebilah pedang digunakan untuk memenggal mereka yang tidak disukainya. Semua ceceran darah korban dilap dengan lidahnya yang merah. Hingga suatu hari:

“Ingat Tuhanmu. Ingat hari pembalasan.”

Seorang wanita tua yang telah bercucuran darah menyampaikan kalimat terakhir. Sebelum akhirnya meregang nyawa, wanita itu sempat menatap Sang Pembunuh dengan tajam. Namun, matanya kemudian meredup seiring lepasnya nyawa dari raga.

Rupanya, ucapan wanita itu menggedor nurani yang telah lama terkunci rapat. Sang Jagal terkesiap. Pedangnya lepas dari genggaman. Ada sekelebat rasa cinta lewat di hatinya yang telah hitam. Sekeping kasih yang telah hilang di masa lampau, kembali terbersit di dalam dadanya. Tuhan dan Hari Pembalasan menjadi petir menggelegar dan mampu membangkitkan sejumput benih-benih kemanusiaan di dalam kalbunya.

Dia kemudian berlari meninggalkan jasad wanita malang yang menjadi korban ke-99. Tidak terasa, ada genangan air yang mengalir dari pelupuk matanya. Dia ingat dengan wanita yang pernah melahirkannya. Kala itu, wanita yang pernah membelainya dengan cinta, dibunuh oleh perampok berwajah sedih. Tebasan pedang yang diayunkan dari atas, memisahkan batang leher dari tubuh wanita renta tersebut. Kenangan itu membekas dalam alam bawah sadar Sang Pembunuh. Dia pun tumbuh menjadi pria bengis yang tidak kenal cinta dan kasih. Dia menggunakan pedang untuk menghabisi seluruh korbannya, sama dengan perampok berwajah sedih yang menghabisi nyawa ibundanya.

Sang pembunuh masih tertunduk. Lolongan serigala malam tidak digubrisnya. Dia menanti jawaban langit yang diyakininya datang dari Sang Penguasa alam raya. Sudah lebih dari sepertiga malam, dia hanya tertunduk. Malam yang kelam itu menjadi saksi baginya, untuk menghapus dosa dan noda.

******

Sang Pembunuh menelusuri jalan kecil menuju Lembah Harapan. Dia melangkah dengan penuh kepastian. Ada asa yang hendak diraih, yakni ampunan dari Sang Penguasa alam raya. Dorongan yang begitu kuat menyebabkan kedua kakinya yang melangkah, dirasakan tidak cukup. Dia membutuhkan seribu kaki agar bisa melesat dan sampai ke lembah itu dengan cepat. Semalam, dia mendapat bisikan yang hanya terlintas di dalam hati. Dia yakin, teriakannya di atas tebing, dijawab oleh Sang Penguasa.

“Pergilah ke Lembah Harapan. Engkau akan menemukan jawaban.”

Begitu bisikan yang mengalir di dalam darahnya. Tiba-tiba, ada energi yang melesak. Sel-sel di dalam tubuhnya kembali berkembang dan bekerja penuh semangat. Aliran darah yang dipompa kencang, dengan satu tujuan, yakni menuju ampunan Sang Penguasa alam raya.

Hamparan rumput tinggi hijau yang membentang, menghentikan langkah Sang Pembunuh. Matanya nanar ke sekeliling memperhatikan padang savana yang indah. Tidak ada yang tampak kecuali gubuk tidak jauh dari hadapannya. Sebuah tempat yang ditinggali oleh Sang Penyampai Kebenaran. Atapnya rumbia, dan dindingnya pelepah pohon nira.

“Aku ke mari karena mendapat bisikan gaib,” ujar Sang Pembunuh ketika tiba di pintu gubuk.

Seorang kakek berjubah putih duduk bersila memainkan tasbih di tangannya. Dia tidak menyahut. Matanya terpejam, sementara mulutnya tidak berhenti membisikkan pengagungan untuk Sang Penguasa alam raya.

“Aku ke mari atas bisikan gaib,” sahut Sang Pembunuh sekali lagi.

Kakek berjubah putih itu tetap asyik dengan tasbihnya. Dia tidak memedulikan tamu yang ada di depan rumahnya. Matanya tetap tidak membuka. Dia memilih asyik memuji Sang Penguasa alam raya ketimbang menjawab Sang Pembunuh.

“Kakek berjubah putih, Aku kemari lantaran mendapat bisikan gaib di atas tebing tadi malam. Apa yang harus kulakukan sekarang?”

Setelah tiga kali disapa, Sang Penyampai Kebenaran merasa terusik. Upayanya untuk tidak bergeming, sirna. Matanya membuka perlahan-lahan.

“Tidak pantas bagi seorang pembunuh sepertimu mengganggu diriku. Aku tengah memuji Sang Penguasa. Tidak ada yang bisa kau lakukan. Neraka adalah tempat tinggalmu kelak,” kata Kakek Berjubah Putih itu.

“Apakah tidak ada kesempatan bagiku untuk memperbaiki diri?” Tanya Sang Pembunuh.

“Tidak ada. Dosamu sudah terlalu besar. Balasan yang layak kau terima adalah kekal di neraka selama-lamanya.”

“Lalu bagaimana dengan janji Sang Penguasa alam raya yang Maha Pengampun?”

“Tidak mungkin. Engkau telah membunuh 99 orang tak berdosa.”

Sang Pembunuh tertunduk lunglai. Dia merasa kehilangan pegangan. Harapannya untuk memperbaiki diri sirna. Asanya tercerabut dari lubuk paling dasar kalbunya. Dia merasa sia-sia menempuh perjalanan panjang ini. Jika Sang Penyampai Kebenaran saja mengatakan demikian, maka apa lagi yang bisa dilakukannya. Maka terbersit amarah di wajahnya, untuk membunuh Kakek Berjubah Putih itu. Baginya, dengan membunuh genap seratus orang, maka sudah terpenuhi kepuasan dari sisi liar jiwanya.

“Aku akan penggal lehermu, orang tua,” katanya dengan setengah berteriak.

Tak lama kemudian, pedang yang ada di pinggangnya berkelebat memutus leher Sang Penyampai Kebenaran. Kepalanya tergeletak ke tanah. Darah segar membuncah dari tubuhnya yang menggelepar. Sang Pembunuh menginjak kepala Kakek tersebut seraya menandaskan:

“Aku adalah Sang Pembunuh yang tidak kenal cinta dan kasih. Ketahuilah, Engkau adalah korban yang keseratus.”

Matanya berapi, napasnya memburu dan dadanya terguncang. Sang Pembunuh kemudian meninggalkan gubuk yang berada di Lembah Harapan.

******

“Sang Penguasa alam raya, Aku telah membunuh seratus orang. Aku adalah pembunuh. Aku pembunuh,” teriak Sang Pembunuh di atas tebing.

“Mana janji-Mu yang Maha Pengampun itu. Mana?” Dia kembali berteriak sekencang-kencangnya.

“Aku adalah Pembunuh. Aku akan membunuh hamba-hambaMu lebih banyak lagi.”

Sang Pembunuh tersengal-sengal. Dia lelah dengan harapan yang sirna. Tidak ada air mata dan penyesalan. Sepenuh jiwanya dipenuhi angkara murka. Dia kecewa kepada Sang Penguasa alam raya. Setelah lelah berteriak, Sang Pembunuh duduk bersimpuh. Kedua tangannya memegang lutut. Matanya nanar menatap tanah yang kering.

Tiba-tiba halilintar menggelegar. Tiga kali bunyi yang menakutkan itu memecah angkasa. Sang Pembunuh kaget bukan kepalang. Ada rasa ngeri di hatinya mendengar halilintar sekeras itu. Rasanya belum pernah dia mendapatkan petir di siang hari dengan keras seperti yang baru didengarnya. Tidak lama kemudian muncul asap yang membumbung ke udara di balik pohon. Sang Pembunuh bergetar menyaksikan asap yang kemudian berubah menjadi sosok manusia.

“Si siapa kamu,” ujar Sang Pembunuh dengan terbata-bata.

“Jangan takut. Aku adalah utusan Sang Penguasa alam raya,” ujar sosok manusia tersebut. Kulitnya putih dan wajahnya indah. Dia pria yang mengenakan pakaian panjang berwarna jingga. Dia berjalan perlahan ke Sang Pembunuh.

“Sang Penguasa mendengar semua harapanmu. Jangan Engkau putus dari rahmatNya. Tetaplah mencari cara yang terbaik untuk mendapat ampunanNya,” ujar pria berwajah indah tersebut.

“Tapi aku telah membunuh seratus orang tak berdosa.”

“Tidak peduli seberapa dosaMu. Selama hidupmu belum berakhir, tetaplah berusaha.”

“Apa yang harus kulakukan sekarang?”

“Pergilah ke utara. Engkau akan mendapatkan semua harapanmu.” Setelah berkata demikian, sosok manusia itu kemudian kembali menjadi asap dan sirna bersamaan hembusan angin yang tiba-tiba mendesir di sekeliling.

“Terimakasih Sang Penguasa. Engkau tidak melupakanku. Aku akan ikuti perintahMu menuju utara,” bisik Sang Pembunuh.

Dia pun bergegas meninggalkan tempat untuk mencari ampunanNya.

*******

Arah utara ternyata jalan yang penuh terjal dan berliku. Sang Pembunuh harus mengerahkan tenaganya untuk mencapai harapan. Dia bertekad untuk tidak berhenti sebelum ampunanNya diraih. Dia yakin Sang Penguasa alam raya tidak akan meninggalkan dirinya. Apalagi setelah kejadian kemarin, dia mendapat dorongan energi untuk senantiasa tidak lepas dari rahmatNya.

“Aku tidak boleh menyerah. Meski jalan yang kulalui penuh rintangan,” bisik Sang Pembunuh.

Dia lalu memanjat tebing yang curam. Tebing yang penuh dengan batu-batu tajam. Jika dia salah menginjak dan terpeleset, maka bisa dipastikan tubuhnya akan robek dengan batu-batu cadas yang runcing.

“Tunggu aku Sang Penguasa alam raya. Aku akan menggapai ampunanMu. Aku akan tunaikan harapanku. Sekali lagi tunggu aku,” ujar Sang Pembunuh.

Namun secara tidak sengaja, batu yang dia pegang pecah. Seketika itu, bebatuan yang dipijaknya tidak kuat menahan beban tubuhnya. Sang Pembunuh pun terperosok dari ketinggian tebing. Kepalanya membentur batu cadas yang ada di bawahnya. Kepalanya pecah. Dari rongga panca indera di kepalanya mengeluarkan darah. Dia meninggal dunia saat itu juga.

Dari langit, dua malaikat turun ke tempat jatuhnya Sang Pembunuh. Malaikat penjaga surga dan neraka berebut atas ruh Sang Pembunuh. Masing-masing merasa berhak untuk menjemputnya.

“Dia telah menempuh perjalanan panjang dan sulit untuk menggapai ampunanNya. Dia berhak dibalas dengan kebaikan,” ujar malaikat penjaga surga.

“Tidak, dia belum sepenuhnya bertobat. Dosanya tidak diampuni. Ingat, sudah seratus orang tidak bersalah tewas di tangannya,” timpal malaikat satunya.

Dari langit, tiba-tiba terdengar suara yang menggelegar.

“Hitung jarak tempuh yang sudah dilaluinya. Jika dekat dengan tujuan, maka surga balasannya, jika tidak maka neraka tempat tinggalnya.”

Kedua malaikat itu pun sibuk mengukur jarak tempuh yang sudah dilalui Sang Pembunuh. Meski belum lama Sang Pembunuh meninggalkan tebing tempatnya bersimpuh, ternyata jarak menuju utara sudah lebih dekat. Malaikat penjaga surga pun kemudian menjemput ruh Sang Pembunuh untuk mengantarnya di tempat terindah selama-lamanya. (*)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image