Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dimas Muhammad Erlangga

Tanpa Persatuan Nasional, Pemilu 2024 (Masih) Tidak akan Hasilkan Perubahan

Politik | Friday, 23 Jun 2023, 11:50 WIB

Kita baru akan menginjak tahun Pemilu 2024. . Yang menarik, momentum pemilu ini berpapasan kembali dengan berbagai persoalan ekonomi, politik, dan sosial-budaya yang menimpa bangsa ini. Sekarang ini bangsa kita sedang mengalami persoalan besar: cita-cita masyarakat adil dan makmur setelah tahun kita memproklamirkan kemerdekaan Indonesia sampai sekarang belum terwujud. Jadi, Bangsa Indonesia sekarang ini menghadapi persoalan kesejahteraan lagi dan lagi. Persoalan ini muncul karena tiga hal. Pertama, karena sumber daya alam yang mestinya digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat itu sekarang dikuasai oleh pemodal asing alias kapitalis. Kedua, setelah 78 tahun merdeka, kita tidak sanggup membangun industri nasional yang tangguh dan berdikari. Ketiga, untuk membangun masyarakat, membangun bangsa, serta membiayai kebutuhan Negara, pemerintah sekarang ini tergantung kepada utang luar negeri. utang pribadi dianggap sebagai utang bangsa, begitulah kalimat yang ada dalam puisi "Kecoa Pembangunan" Karya (Alm) WS Rendra. Itulah yang membuat kita mengalami persoalan kesejahteraan. Kenapa kita tidak sanggup membangun Industri nasional? Mengapa kita tidak sanggup mengelola sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat? Mengapa kita selalu tergantung kepada hutang? Karena negara kita sedang mengalami tiga krisis sekaligus, yakni: pertama, krisis kepemimpinan nasional; kedua, krisis kedaulatan nasional; dan ketiga, krisis konstitusional. Sekarang ini negara kita hanya semata-mata dijadikan alat untuk melindungi kepentingan modal asing. Padahal, negara mestinya digunakan untuk alat perjuangan rakyat dalam menegakkan kedaulatan, membangun kemandirian, membangun nation and character builiding kita supaya kita punya kepribadian nasional. Kita harus kembali membuka apa yang menjadi cita-cita nasional bangsa kita, yaitu melepaskan diri dari imperialisme dan kolonialisme dan segala bentuk stelsel-stelselnya. Untuk melepaskan diri dari penjajahan tersebut, kita harus menegakkan kedaulatan, membangun kemandirian, membangung kepribadian, sebagai prasyarat menuju masyarakat adil dan makmur lahir dan batin. Itulah yang menjadi cita-cita nasional kita. Dasar dari cita-cita nasional kita adalah filosofi bangsa, yaitu Dasar negara Pancasila. Cita-cita nasional bangsa kita yang menjadi tujuan dari Proklamasi itu sudah termaktub dalam UUD 1945. Jadi proklamasi 17 Agustus 1945 tidak bisa dipisahkan dengan pembukaan UUD 1945. Karena dalam pembukaan UUD tersebut sudah menjelaskan secara tegas bagaimana arah dan cita-cita kolektif kita berbangsa dan bernegara. Namun, sekarang ini kita berhadapan dengan persoalan kesejahteraan dan krisis di segala bidang karena konstitusi yang seharusnya menjadi landasan berbangsa dan bernegara itu sudah diubah sedemikian rupa untuk memberikan ruang seluas-luasnya bagi kembalinya modal asing untuk menjajah bangsa kita.

Krisis konstitusi harus dipahami sebagai hasil dari keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tahun 1999 hinga 2002. Jadi, pasca Pemilu 1999, partai politik yang ada di DPR dan MPR mengubah UUD 1945 dalam hal ini Amandemen yanfg mengubah beberapa pasal yang menyangkut hajat hidup rakyat, tanpa memahami landasan-landasan yang mestinya dijadikan sebagai isian UUD 1945 itu. Jadi, ada masalah dengan partai politik. Bisa kita simpulkan, bahwa partai-partai politik kita di parlemen ini tidak memiliki garis perjuangan dan garis ideologi. Juga, partai politik sekarang ini hanya menjadi suatu kendaraan politik bagi elit-elit politik untuk menuju kekuasaan, baik di legislatif maupun eksekutif. bahkan sekarang Parpol sudah hampir "membajak" kekuasaan yudikatif dengan merevisi UU Mahkamah Konstitusi. Partai politik sudah tidak lagi menjadi alat perjuangan rakyat, alat perjuangan bangsa. Ironisnya lagi, partai politik ini tidak memahami persoalan-persoalan bangsa kita. Partai politik sekarang ini tidak mampu memberikan solusi atas persoalan-persoalan bangsa ini. Ini adalah situasi yang sangat berbahaya. Karena dalam sistem demokrasi, partai politik menjadi satu tonggak atau satu pilar untuk mengokohkan sistem demokrasi dan sekaligus alat seleksi calon-calon pemimpin kedepan kita. Nah, kalau partai politik tidak berisi kekuatan-kekuatan atau elemen-elemen yang memiliki visi ideal mengenai bangsa, berarti secara langsung atau tidak langsung, sadar atau tidak sadar, bangsa ini sudah mengarah ke keruntuhan.

Sejak pemilu tahun 1999 sampai Pemilu tahun 2019 sebenarnya tidak ada perubahan kualitatif sebagai hasil perjuangan masing-masing partai politik peserta pemilu. Partai Politik yang kemudian menempatkan wakilnya di DPR justru melegitimasi modal asing dalam menguasai Sumber Daya Alam kita. Memang kemudian, kita harus menarik kebelakang, kenapa partai-partai politik memiliki kualitas seperti itu? Penyebabnya, selama 32 tahun Orde Baru berkuasa, rakyat Indonesia sangat dikekang ruanganya untuk berpolitik. Malahan Orde Baru menerapkan politik massa mengambang (floating mass), dimana rakyat dibatasi aktivitas politiknya, tetapi di sisi lain, kalau mau mengekspresikan sikap politiknya, dipaksa menyalurkan melalui partai-partai politik atau organisasi-organisasi yang sudah disediakan oleh Orde Baru.

Begitu Orde Baru pergi, partai politik hasil reformasi mei 1998 membangun kekuatannya dari massa mengambang tadi. Tanpa upaya pendidikan atau kaderisasi politik secara massif. Semangat perubahan dari rakyat ditahun 1998 itu ditampung atau dikandangkan oleh partai politik berbasis massa mengambang ini. Dan mereka sangat kompromis dengan kekuatan modal asing.

Kita harus memahami, bahwa gerakan rakyat dalam perjuangan reformasi 1998 itu juga ditunggangi oleh kekuatan-kekuatan imperialis dan kapitalis. Hasil reformasi 1998 pun dibajak oleh kekuatan imperialis. Hasilnya, sidang MPR yang membahas amandemen UUD 1945 itu, yang juga mendapat tekanan dari kekuatan pro-reformasi, sudah disponsori sedemikian rupa oleh lembaga asing, misalnya USAID.

Itu sudah sangat jelas. Arah reformasi kemudian, yang telah dikendalikan oleh kekuatan imperialis itu, telah mengubah haluan Negara kita. Dan, harus diakui, bahwa partai politik punya andil dalam membiarkan proses itu.

Berbasiskan hal itu, saya kira pemilu 2024 itu tidak akan menghasilkan perubahan apapun. Di sisi lain, telah terjadi dinamisasi partisipasi rakyat dalam pemilu. dinamisasi partisipasi pemilu itu, atau sering disebut golongan putih (golput), harus dipahami sebagai bentuk meningkatnya ketidakpercayaan rakyat Indonesia terhadap elit politik dan politisi. Sampai pemilu 2019, hampir 18,02% masyarakat tidak menggunakan hak pilihnya untuk memilih partai politik dan untuk memilih wakil-wakil mereka ataupun memilih calon presiden. Padahal, kita sangat tahu, pada Pemilu tahun 1999, tingkat partisipasi politik masyarakat untuk datang ke TPS sangat besar sekali.

Jadi, melihat perkembangan ini, saya kira pemilu 2024 kurang mampu menyelesaikan persoalan bangsa kita. Dan artinya, pemilu 2024 belum menyelesaikan persoalan kesejahteraan sosial yang dihadapi rakyat Indonesia.

Memang dalam demokrasi "liberal" sekarang ini terjadi pergeseran. Kalau dulu orang orang percaya partai politik sebagai alat untuk menjadikan perubahan, sekarang kecenderungannya menyandarkan kepada figur atau tokoh untuk mengharapkan perubahan. Saya kira, ini adalah pergeseran yang tidak baik secara politik.

Bagi saya, seorang pemimpin itu seharusnya bukan dilahirkan dari proses pencitraan ataupun iklan. Tetapi pemimpin seharusnya lahir sebagai hasil perjuangan atau pertarungan politik. Pertarungan apa itu? Ya, pertarungan politik di dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh bangsa. Tadi sudah saya katakan, bahwa persoalan bangsa kita sekarang ini adalah masalah kesejahteraan. Kenapa masyarakat kita tidak sejahtera? Karena kehidupan bangsa kita secara ekonomi dan politik dikuasai oleh imperialisme dan kapitalisme.

Calon pemimpin negara, atau siapapun nantinya yang akan menjadi Presiden, mestinya memahami akar persoalan ini dan siap bersama rakyat didalam mengusir dominasi modal asing di dalam negeri ini, guna mengembalikan kedaulatan, kemandirian, kepribadian, dan jati diri bangsa kita sesuai cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Sekarang ini kecenderungan tersebut lagi lagi tidak muncul. Tokoh-tokoh yang akan bertarung di pemilu 2024, baik itu di pemilu legislatif maupun di pemilu presiden, tidak menjadikan arena politik itu sebagai arena kampanye politik untuk mengajak rakyat kita untuk bersama-sama berjuang melawan imperialisme. Jadi, semestinya karena memperjuangkan rakyat, seorang tokoh atau partai dipilih atau dipercaya oleh rakyat. Tetapi yang terjadi sebaliknya, tokoh-tokoh politik itu ataupun partai-partai politik yang ada itu justru menggunakan cara-cara yang merusak demokrasi itu sendiri, juga merusak jati diri bangsa, yakni politik uang dan memanipulasi suara rakyat sampai Pencitraan Politik.

Jadi, masyarakat harus melihat tokoh yang pantas dipilih karena dua hal: pertama, harus siap berjuang bersama rakyat; dan kedua, harus melihat apa yang tokoh itu perjuangkan. Masalahnya, saat ini tidak ada satu tokoh pun yang secara terbuka berani memperjuangkan persoalan-persoalan yang dihadapi rakyat dan menjelaskan jalan keluar yang seharusnya dilakukan oleh bangsa Indonesia supaya kita kemudian keluar dari persoalan tersebut.

Untuk itu, GmnI terutama dari GmnI Komisariat Universitas Terbuka Bandung mengajak tokoh-tokoh yang masih punya komitmen untuk kemajuan bangsa dan mau maju dalam Pemilihan Presiden hingga Pemilu Legislatif 2024 agar menunjukkan apa yang menjadi program perjuangannya dan menunjukkan sikapnya terhadap dominasi modal asing saat ini. Nah, itulah yang harus mereka tunjukkan. Program perjuangan Marhaenis sekarang ini sangat jelas dan tegas menyatakan, bahwa akar persoalan bangsa kita saat ini adalah Imperialisme atau neokolonialisme. Untuk membangun masyarakat Indonesia adil dan makmur, secara lahir dan batin, mau tidak mau kita harus menyingkirkan kekuatan-kekuatan imperialis tersebut. Sumber daya alam harus dikelola oleh anak bangsa ini untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan untuk modal asing yang hanya mencari keuntungan semata.

Jadi, program mendesak Marhaenis di GmnI untuk membangun masyarakat adil dan makmur adalah mengusir Imperialisme sebagai basis membangun Negara merdeka, berdaulat, mandiri, dan berkepribadian. Kita juga harus membangun karakter bangsa kita, yaitu masyarakat yang berjuang dan bergotong-royong, dan bukan masyarakat yang individualis yang merupakan produk dari sistem demokrasi liberal. GmnI tidak anti terhadap modal asing. Tetapi GmnI menentang modal asing yang berkarakter imperialistik, yang hanya mau mengeksploitasi dan menjarah kekayaan alam bangsa kita. Kalau modal asing mau masuk, mereka harus menghormati kedaulatan dan martabat bangsa kita. Mereka juga harus tunduk pada kehendak kita, misalnya mau diatur dimana mereka mengusahakan kapitalnya, di sektor apa, dan berapa lama.

Jadi melihat situasi sekarang ini, kalau kita mengacu ke ajaran Bung Karno, tahapan perjuangan kita saat ini adalah tahapan perjuangan nasional-demokratis. Perjuangan nasional itu bermakna membebaskan bangsa kita dari cengkeraman imperialisme, sementara perjuangan demokratisnya bermakna meninggalkan sisa-sisa feodalisme. Inilah tahapan kita menuju masyarakat adil dan makmur, aman dan sentosa, lahir dan batin, atau sering dikatakan sebagai Sosialisme Indonesia berdasar Pancasila Dan UUD 1945. Kekuatan politik manapun yang akan berjuang untuk perubahan itu harus punya lima hal. Pertama, memahami akar persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini. Lalu, mendefenisikan siapa musuh pokok yang selama ini merintangi cita-cita masyarakat adil dan makmur. Kedua, kekuatan politik yang berjuang untuk perubahan itu tidak bisa menyandarkan tanggung jawab perubahan itu hanya kepada figur-figur atau elit-elit politik. Perubahan itu harus disandarkan kepada rakyat. Sebab, yang paling punya kepentingan terhadap perubahan bangsa ini adalah rakyat itu sendiri. Jadi perubahan harus melibatkan rakyat Indonesia. Ketiga, jalan perubahan yang harus dilakukan adalah membongkar akar dari persoalan bangsa saat ini, yakni penjajahan atau imperialisme. Ingat, imperialisme saat ini sudah menggunakan sistem politik kita sebagai instrumen mereka untuk melindungi modalnya dan aset asetnya. Maka, sistem politik ini pun harus dibongkar. Keempat, kekuatan yang menghendaki perubahan harus memunculkan program apa yang akan diperjuangkan. Kelima, kekuatan perubahan harus menyadari bahwa perubahan itu membutuhkan tahap-tahap. Karena tahapan kita sekarang ini adalah berjuang untuk membongkar kekuatan-kekuatan imperialisme yang menyengsarakan rakyat Indonesia, maka tugas kita adalah menyatukan seluruh kekuatan anti-imperialisme atau yang dikorbankan oleh imperialisme dalam sebuah persatuan nasional.

Kita harus mengkonsentrasikan semua kekuatan-kekuatan nasional kita. Maka Gmni Komisariat Universitas Terbuka bandung terus-menerus dan tidak bosan-bosannya mengajak kekuatan-kekuatan politik nasional, bahkan mengajak seluruh komponen bangsa ini, untuk bersatu melawan imperialisme. Tanpa mengkonsentrasikan kekuatan dalam persatuan nasional, kita akan kesulitan melawan imperialis itu. Jadi, persatuan nasional adalah syarat mutlak sekaligus satu-satunya alat untuk mengusir imperialisme dari bumi pertiwi. Tanpa kita mengusir imperialisme itu, maka masyarakat baru Indonesia yang dicita-citakan oleh para pediri bangsa kita itu tidak akan tercapai.

Maka, agar pemilu 2024 itu menjadi momentum bagi bangsa Indonesia untuk menyelesaikan persoalan, maka GmnI Komisariat Universitas Terbuka Bandung menyerukan kepada semua kekuatan politk, bahkan semua partai politik yang mempunyai platform untuk membebaskan bangsa ini dari imperialisme, harus bersatu dan mendeklarasikan persatuan itu di depan rakyat serta sekaligus mendeklarasikan apa yang menjadi program-program perjuangan kedepan.

Tanpa persatuan nasional semacam itu, kami katakana bahwa pemilu 2014 hanya akan menjadi alat legitimasi baru para pendukung kekuatan imperialisme atau kaum komprador atau kolaborator untuk mengkonsolidasikan kekuatannya dalam melindungi kepentingan kapital mereka di dalam negeri.

Berarti, situasi kedepan ini sangat menentukan. Semua kekuatan politik harus menyadari, jika pemilu 2024 masih belum akan bisa menyelesaikan persoalan bangsa, maka pemilu 2024 belum berguna. Imperialisme yang berkuasa di negeri kita sekarang ini sudah hampir menghancurkan semua sendi kehidupan rakyat kita. Semua sektor rakyat mengalami persoalan di sektoralnya tidak lepas dari imbas imperialisme ini. Ambil contoh di sektor tani, misalnya, desakan modal asing itu menyebabkan penjarahan lahan-lahan rakyat untuk kepentingan pertambangan, perkebunan, dan lain-lain. Dan itu legal. Karena UU Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing sudah memberikan ruang tanpa batas bagi modal asing untuk menjarah tanah air kita. Makanya terjadi dimana-mana konflik agrarian; mulai dari Sumatera hingga hingga Nusa Tenggara Timur sana terjadi konflik agraria. Konflik agraria ini melibatkan kaum tani petani melawan modal asing yang didukung oleh aparatus Negara. Bahkan, aparatus negara tega melakukan tindakan kekerasan untuk mengintimidasi, mengusir petani-petani kita dari tanah-airnya sendiri, yang notabene sumber kehidupan mereka. belum Omnibus Law Cipta Kerja yang merugikan Buruh.

Di perburuhan pun demikian. Imperialisme ini, yang berkepentingan terhadap tenaga kerja murah, mendorong praktek outsourcing dan sistem kerja kontrak. Buruh kita diupah sangat rendah. Ini ada kaitannya dengan imperialisme.

Sektor yang lain seperti kaum miskin perkotaan pun sedang menghadapi masalah yang sama: bagaimana kemudian mereka tidak memiliki tempat tinggal yang layak, tidak ada lapangan pekerjaan, pendidikan dikomersialkan, kesehatan dialihkan dari tanggung jawab Negara menjadi model asuransi jiwa.

Untuk itu, semua sektor rakyat yang disengsarakan oleh imperialisme ini memang harus memajukan tuntutannya; tidak hanya berhenti pada tuntutan ekonomis, tetapi harus menohok langsung ke akar persoalan, yakni imperialisme. Jadi, platform perjuangan untuk menyatukan semua sektor ini adalah anti-imperialisme.

Dan partai politik pun, kalau memang mereka berjuang dengan jujur, berjuang dengan serius ingin menyelesaikan persoalan rakyat, mereka tidak bisa menempatkan diri menjadi satu kekuatan elitis yang memisahkan diri dari persoalan rakyat.

Maka sekarang ini dibutuhkan satu konsentrasi kekuatan nasional, persatuan nasional, antara kekuatan-kekuatan masyarakat yang menghadapi persoalan imperialisme ini dengan kekuatan-kekuatan partai politik. Mereka harus masuk dalam persatuan nasional guna mengkonsentrasikan kekuatan melawan imperialisme.

Dengan demikian, nantinya terjadi semacam polarisasi kekuatan antara kekuatan-kekuatan komprador pendukung imperialisme berhadapan dengan kekuatan-kekuatan nasional yang menghendaki kemerdekaan dan kemandirian nasional. Itu semestinya terjadi dalam pemilu 2024 mendatang. Disitulah kemudian pemilu akan menemukan basis materialnya, sebagai arena pertarungan yang sangat hebat, yang akan membuka jalan bagi penyelesaian persoalan bangsa.

Kita harus belajar dari negara-negara lain bagaimana mereka berhasil membangun bangsanya, bagaimana mereka bisa membangun ekonomi nasionalnya dan membangun kemandiriannya. Bagaimana Indonesia yang lebih duluan merdeka, yakni 1945, tetapi karena salah arah dalam proses perjuangan di dalam membangun bangsa dan negaranya, sekarang ketinggalan jauh dengan Tiongkok yang baru merdeka tahun 1949.

Dan hal paling penting juga di sini adalah mengembalikan kepercayaan diri kita sebagai sebuah bangsa. Kita harus menyadari bahwa sebagai sebuah bangsa kita mampu berdiri. Jadi tidak ada alasan untuk menjadi inlander.

Saat ini GmnI Komisariat Universitas Terbuka mengkampanyekan program politik: laksanakan pasal 33 UUD 1945. Esensi dari program ini adalah mengajak seluruh rakyat dan berbagai kekuatan politik yang ada untuk merebut kembali kekayaan alam kita yang dicaplok oleh imperialisme. Titik Tolak Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdiri itu adalah proklamasi 17 Agustus 1945. Arah dan tujuan Indonesia merdeka itu sudah tercantum dalam Pembukaan (Preambule) UUD 1945. Maka, dalam awalan saya katakan bahwa Proklamasi dengan Pembukaan (Preambule) UUD 1945 adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Proklamasi saja, misalnya, tanpa arah sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, berarti bangsa Indonesia tidak punya tujuan. Punya tujuan pun, kalau tidak ada proklamasi Kemerdekaan, itu berarti belum merdeka, tidak bisa mewujudkan cita-cita atau tujuan berbangsa tersebut.

Para pendiri bangsa kita sudah menetapkan cita-cita nasional sangat tegas dan jelas, yakni masyarakat adil dan makmur. Dan, syarat untuk membangun satu cita-cita nasional itu adalah kemerdekaan berdasarkan prinsip: berdaulat di bidang politik, berdikari di lapangan ekonomi, dan berkepribadian secara budaya.

Dan filosofi yang melandasi dari tujuan itu adalah Pancasila. Tentu saja Pancasila yang digali oleh Bung Karno. Nah, saya sering mengatakan, bangsa Indonesia tidak akan memahami Pancasila kalau tidak memahami ajaran Bung Karno. Bung Karno sudah sangat tegas mengatakan apa itu Pancasila? Pancasila menurut Bung Karno adalah akar dari tiga ajarannya, yaitu: pertama, Sosio Nasionalisme: nasionalisme yang memihak pada rakyat. Nasionalisme yang punya komitmen pada keadilan sosial. Bukan nasionalisme chauvinistik atau fasis seperti di Eropa, yang berwatak ekspansi dan menindas Negara lain untuk kepentingan modal. Kedua Sosio demokrasi: demokrasi yang menggabungkan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Sebab, demokrasi politik saja—tanpa demokrasi ekonomi—hanya akan menjadi alat pemodal untuk menindas rakyat banyak. Demokrasi yang dikehendaki pendiri bangsa adalah demokrasi yang mengabdi kepada kepentingan rakyat. Ketiga, Percaya pada Keesaan Tuhan Yang Maha Esa. Sebab, sejak dulu masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang berketuhanan dengan beragam agama dan aliran kepercayaan. Nah, kalau ini mau ditarik akarnya lagi, maka disebut Eka Sila: Gotong-Royong. Kegotong-royongan adalah anti-tesis dari indiviudalisme, liberalisme, dan kapitalisme. Itulah intisasi yang diwariskan oleh para pendiri bangsa kita.

(Bandung, 23 Juni 2023)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image