Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image

Megawati Serta Politik Pembebasan Perempuan

Politik | Friday, 23 Jun 2023, 07:38 WIB
ilustrasi: Liputan06.com

Ada banyak alasan mengapa urgensi kepemimpinan perempuan itu penting (Thalib, 2014). Pertama, sebagai kritik sosial terhadap budaya patriarki dalam pemerintahan. Kedua, ada pembagian kerja yang setara dalam struktur fungsinya. Ketiga, melawan otoritas interpretasi tunggal yang mengecualikan perempuan. Yang keempat adalah stagnasi pembentukan kerangka dan kualitas kepemimpinan politik, dan yang kelima adalah perwujudan kemauan politik progresif yang berorientasi pada rakyat.

Kelima alasan inilah yang menjadikan kepemimpinan dan keterwakilan perempuan dalam administrasi publik menjadi penting. Bagaimana konstitusi negara kita dibingkai menurut kebijakan dan struktur perundang-undangan yang mensyaratkan partisipasi perempuan dalam arena politik. Misalnya, Pasal 17 dan 21 UUD 1945, Garis Besar Haluan Negara (GBHN), UU Pemilihan Umum No 7 Tahun 2017 dan Pasal 46 UU HAM No. 39 Tahun 1999 Hak Asasi Manusia.

Berdasarkan UU 07/2017 Pasal 173 ayat (2) huruf e yang mengatur keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen (tiga puluh persen) dalam kepemimpinan partai politik tingkat menengah untuk mengubah kader menjadi parlemen di tingkat DPR Pusat, DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten. Namun, partisipasi kumulatif perempuan dalam perencanaan politik kita umumnya di bawah rata-rata. Data Inter-Parliamentary Union menunjukkan persentase perempuan di parlemen masih 19,80 persen. Dibandingkan dengan rata-rata dunia, Indonesia masih jauh di bawah rata-rata dunia sebesar 23,60% (Getrintya, 2017).

Model Peran Kepemimpinan

Pada tahapan tertentu, fatwa akademik terkadang kurang efektif dalam memberikan dampak spesifik sektor pada kebijakan. Pada titik ini, penulis melihat perlu adanya role model yang merepresentasikan kesetaraan gender atau gerakan kepemimpinan elit politik.

Sampai saat ini, hal itu dapat dilihat dalam gerakan politik Megawati Soekarnoputri. Pimpinan umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dalam dirinya selalu menuntut landasan etis untuk menjamin persamaan hak melalui kepemimpinan perempuan. Megawati kerap membawa kisah kepemimpinan perempuan ke ruang terbuka, forum diskusi, atau bahkan forum penelitian di berbagai tempat. Jejak karakter perempuan dikutip sebagai contoh kepemimpinan dalam buku-buku sejarah bangsa.

Selain fakta bahwa ia juga perempuan, ada faktor lain dalam suksesi politik Megawati. Saya melihat panutan pemimpin Megawati sebagai bentuk gerakan praktis emansipasi perempuan dalam politik (Grundy, 1993). Sifat nasional kita sering menciptakan kebijakan dan undang-undang yang mendiskriminasi perempuan. Komisi Nasional Perempuan (Komnas) mencatat beberapa kasus gerakan birokrasi yang diskriminatif di Indonesia. Pada tahun 2016 saja, terdapat 421 kebijakan pemerintah yang diskriminatif terhadap perempuan dan anak.

Praktik politik emansipatoris yang ditunjukkan Megawati sebenarnya adalah kritik sosial dalam mengkritisi budaya patrilineal dan birokrasi. Gerakan elit politik seperti itu membutuhkan visi yang melihat realitas untuk menghilangkan masalah sosial dan kemanusiaan. Peran perempuan di ranah publik merupakan bentuk aksi sosial dalam praktik pembebasan perempuan (Widyastuti, 2013).

Kepemimpinan politik perempuan dengan berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan dan mendiskusikan produk hukum, ekspresi negara yang biasanya diprivatisasi laki-laki, menjadi lebih emansipatoris karena subjek satu negara adalah sama. Pembebasan semacam itu terjadi melalui perlindungan gerakan dan tokoh politik. Pertama, pengecualian semacam itu menjadi semakin masif dalam debat publik, dan efek sektoral yang dihasilkan pasti akan lebih besar.

Tak heran, semangat kemajuan politik perempuan kerap terlihat dalam pidato-pidato Megawati. Misalnya, dalam pidato HUT ke-50 PDIP atau dalam pidato mengkritik tindakan ibu-ibu saat ini di acara pembukaan Pancasila beberapa pekan lalu. Meski mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan, Megawati tidak meninggalkan komitmennya. Hal halus yang ingin disampaikan Megawati sebenarnya adalah upaya penyadaran bahwa dominasi perempuan sudah jelas, fakta yang didukung oleh fatwa agama dan kebijakan birokrasi kita.

Satuan Politik

Saat ini, model pengelolaan Megawati harus menjadi perdebatan politik yang masif dan harus diatur waktunya secara sistematis. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan dalam debat kepemimpinan politik perempuan. Namun sosok Megawati dan elit politik yang bergabung dengannya membuka wacana politik baru dan kita harus mengambil langkah progresif untuk membahas partisipasi perempuan dalam birokrasi pemerintahan. Hal ini dapat dilakukan melalui instrumen kebijakan yang ada.

Pertama, penguatan infrastruktur parpol (partai) dalam hal kebangkitan. Perencanaan kaderisasi partai harus mampu menghasilkan kader politik perempuan yang memiliki hak untuk berfungsi secara efektif dalam birokrasi. Pendelegasian kader dalam struktur pemerintahan merupakan salah satu indikator penting berhasil tidaknya kader dalam suatu partai. itu tidak hanya membutuhkan kualitas dan kemampuan, tetapi juga keterpilihan, yang memiliki efek elektoral yang besar ketika seseorang memilih dalam masyarakat.

Kedua, agendanya adalah menciptakan lembaga informal yang menjalankan fungsi pengawasan untuk menjamin hak-hak konstitusional yang tidak mendiskriminasi perempuan, menjamin partisipasi perempuan dalam politik. Lembaga ini dapat dibentuk dengan penyelenggara delegasi dari berbagai partai politik, pelibatan pemerintah dan relawan masyarakat yang sangat berkepentingan dengan kesetaraan politik. Alhasil, agenda tersebut memaksimalkan partisipasi perempuan dalam ruang politik struktural dan sistemik melalui kontrol institusional.

Menurut hemat penulis, kedua topik ini harus menjadi agenda selanjutnya bagi pengelola Megawatt. Partisipasi politik perempuan menjadi sangat diperlukan dalam pergerakan kita sebagai bangsa. Ada jaminan konstitusional, jejak figur perempuan dan struktur kelembagaan.

Saat ini, masih harus dilihat bagaimana gerakan emansipasi perempuan diorganisir dalam debat politik Indonesia. Gerakan tersebut harus masif dan sistematis untuk mencapai kesetaraan politik dan mengendalikan diskriminasi dalam segala bentuk hak dan akses politik perempuan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image