Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Basiluddin

Keterwakilan Perempuan dalam Ranah Politik

Politik | Wednesday, 21 Jun 2023, 16:33 WIB
Ilustrasi politik. sumber: shutter stock.

Keterwakilan Perempuan dalam Ranah Politik

Demokrasi merupakan salah satu sistem atau mekanisme yang memegang prinsip kebebasan. Siapa saja boleh memimpin, baik dari kalangan lelaki maupun perempuan, baik di lembaga legislatif, ekskutif, maupun yudikatif dan berbagai dinamika yang ada di dalam ranah politik. keterlibatan perempuan Indonesia dalam parlemen masih sangat rendah. Dari data World Bank (laporan pada periode 2019), negara Indonesia menempati urutan ke-7 di Asia Tenggara dalam hal keterwakilan perempuan di ranah politik.

Secara konseptual, akses dan perangkat politik perempuan berada dalam takaran yang sama dengan laki-laki. Jika mereka telah dipilih oleh rakyat dan terpilih dalam suatu gelaran pemilihan, maka mereka bisa menjadi pemimpin atau anggota parlemen. Namun terkadang perempuan enggan untuk maju dalam kontestasi politik di Indonesia karena menganggap minrotas dari segi kuantitas.

Ketika perempuan kurang terwakili di legislatif, representasi perempuan dan pemikiran tentang perspektif perempuan justru hilang dan tidak terwakili. Kondisi tersebut itulah yang menyebabkan ketidaksetaraan politik dalam aktivitas bernegara. Kepentingan perempuan kerap kali tidak diperjuangkan karena minimnya representasi kererwakilan.

Urgensi Keterwakilan Perempuan

Upaya peningkatan keterwakilan perempuan dalam ranah politik negara terikat oleh undang-undang. Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 yang menetapkan bahwa pendirian dan pembentukan partai politik meliputi 30% keterwakilan perempuan. Lebih lanjut diatur bahwa Pasal 245 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur bahwa keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% masuk dalam daftar bakal calon keterwakilan perempuan dalam parlemen.

Selain itu, negara juga menerapkan sistem ritsleting Pasal 246 (2) mengatur bahwa dalam daftar bakal calon legislatif (Bacalek), untuk setiap tiga calon, harus ada sekurang-kurangnya satu calon perempuan.

Ketentuan kebijakan afirmasi gender yang telah penulis paparkan di atas sayogiyanya bukan hal retorika semata. Menurut Khoirunnisa, kehadiran perempuan dalam politik dapat memunculkan politik ide dan politik yang transformatif. Melalui perempuan, kebijakan-kebijakan yang pro-gender bisa diwujudkan. Hal itu didasarkan pada pengalaman perempuan yang memiliki kekhasan yang tidak dirasakan oleh laki-laki.

Oleh karena itu penulis bisa menyimpulkan bahwa perempuan bisa memberikan sumbangsih yang nyata dalam ide-ide politik yang cermelang dan juga bisa memberi gagasan yang unik yang bisa di wujudkan, sebab perempuan memiliki pengalaman dan pemikiran yang khas yang bisa direalisasikan.

Ditjen HAM Kementerian Hukum dan HAM, Dr. Hidayat mengatakan, pendidikan politik sangat penting untuk masyarakat mengetahui politik secara umum. Hal itu dapat dilaksanakan sejak para remaja sudah memasuki usia 17 tahun atau setingkat dengan pendidikan di perguruan tinggi.

Dia mengatakan pendidikan politik dapat dilaksanakan ketika seseorang sudah memasuki usia mengikuti pemilu, yaitu umur 17 tahun yang mana setingkat dengan pendidikan di perguruan tinggi. Tujuannya ketika Pemilu nanti diadakan, mereka dapat berpartisipasi secara aktif seperti menjadi calon legislatif maupun menjadi pemilih yang cermat.

Maka penulis menyimpulkan, perempuan yang ingin berkecimpung dalam ranah politik seharusnya dapat mempelajari pendidikan dalam bidang keintelektualan, keorganisasian serta perpolitikan karena di dalamnya mereka mendapat insight dan wawasan dalam bidang-bidang yang ia pelajari dalam dunia pendidikan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image