Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Devi Malika Azzahra

Paradoks Penanganan Krisis Iklim: G20 Penyumbang Emisi Karbon Tertinggi di Dunia

Politik | Saturday, 17 Sep 2022, 12:28 WIB

Devi Malika Azzahra, S.P. (Mahasiswa Pascasarjana ULM)

Dikutip dari Reuters (31/08/2022), perundingan iklim negara-negara G20 yang diadakan di Nusa Dua, Bali tidak berhasil menyepakati komunike bersama tentang adopsi energi bersih karena keberatan atas bahasa yang digunakan dalam menjelaskan target iklim dan konflik Rusia-Ukraina.

Usai pertemuan iklim tersebut, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia, Siti Nurbaya, mengatakan, mencapai kesepakatan bersama tidak mudah karena setiap negara memiliki nilai dan kepentingannya sendiri.

Pertemuan iklim G20 kali ini dilakukan ketika peristiwa cuaca ekstrem—kebakaran, banjir, dan gelombang panas—melanda beberapa bagian dunia, termasuk banjir yang belum pernah terjadi sebelumnya di Pakistan dalam beberapa pekan terakhir yang telah menewaskan sedikitnya 1.000 orang.

Pembicaraan dalam rangka mencari kesepakatan baru untuk menambah target penurunan emisi karbon ini nyatanya terganjal dengan ambisi ekonomi dan masalah geopolitik masing-masing negara dan secara tidak langsung mengenyampingkan dampak perubahan iklim yang semakin nyata. Dunia sedang menghadapi bencana perubahan iklim yang merusak, tetapi di saat yang sama negara-negara ekonomi besar masih tawar-menawar dalam mengambil langkah penyelesaian cepat.

Sebelumnya Y20 juga menyoroti persoalan krisi iklim dalam gelaran pre-summit di Jakarta pada Mei 2022 lalu. Y20 merupakan platform dialog dan diskusi bagi para pemuda negara-negara G20, di mana mereka membahas berbagai isu global, termasuk perubahan iklim.

Namun sangat disayangkan, arah pembahasan tentang pentingnya peran generasi muda mewujudkan planet berkelanjutan dan layak huni masih belum menyentuh akar persoalan utama penyebab krisis iklim dan lingkungan di dunia. Pandangan-pandangan yang disampaikan dalam forum tersebut kurang dibahas secara mendalam untuk menghasilkan rekomendasi langkah tindak penyelamatan planet yang solutif dan sistemik.

Krisis iklim dan lingkungan di dunia tidak bisa hanya dibebankan pada perilaku masyarakat umum saja, tetapi telunjuk harus diarahkan kepada masyarakat kelas pemilik modal. Melalui sistem kapitalisme demokrasi, mereka melahirkan UU yang melegalisasi keserakahannya dengan asas kebebasan kepemilikan.

Anggota G20 menyumbang sekitar 80% dari output ekonomi dunia, dua pertiga dari populasi dunia dan sekitar 90% dari emisi gas rumah kaca global.

Pada faktanya, penyumbang emisi terbesar yang menjadi pangkal memburuknya krisis iklim ialah perusahaan ekstraktif skala besar yang hanya berorientasi pada keuntungan. Inilah paradoks negara-negara G20 dalam menangani krisis iklim.

Riset yang dipublikasikan di jurnal The Lancet Planetary Health (2020) menyebutkan bahwa negara-negara utara bumi—termasuk AS dan Uni Eropa—menyumbang 92% emisi gas karbon global. Laporan The Guardian (2019) turut menunjukkan temuan yang tak kalah mencengangkan. Hanya 20 perusahaan sudah dapat berkontribusi terhadap 35% emisi gas karbon di dunia sejak 1965. Perusahaan-perusahaan tersebut antara lain Chevron, Aramco, Shell, sampai Gazprom. Sementara Indonesia, menurut riset WRI, menyumbang kenaikan emisi gas rumah kaca sebesar 1,88%.

Solusi-solusi yang digalakan oleh berbagai negara dalam sejumlah KTT selama ini faktanya gagal menangani secara efektif tantangan lingkungan yang terjadi karena kegagalan mendiagnosis dan mengobati akar penyebab krisis lingkungan global.

Faktor-faktor yang banyak disalahkan sebagai penyebab kenaikan emisi karbon hingga mengakibatkan bencana iklim hari ini adalah penggunaan bahan bakar fosil yang tinggi, penggundulan hutan massal, produksi daging yang tinggi, kebijakan pertanian yang berbahaya, tingkat produksi dan konsumsi manusia yang berlebihan, aliran air yang terkontaminasi berbagai industri dan pabrik, dan berton-ton sampah plastik, pakaian, dan produk limbah lainnya, pada kenyataannya itu semua hanya gejala bukan akar masalahnya. Walhasil kemajuan dalam mengatasi krisis lingkungan ini akan tetap negatif selama proses diagnosis masalah masih cacat.

Akar penyebab krisis lingkungan adalah ideologi dan sistem kapitalisme yang materialistis dan mendominasi politik, ekonomi, dan sosial semua negara saat ini, terutama negara-negara anggota G20.

Sistem yang terobsesi pada profit ini telah menciptakan pola konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan pada banyak negara, demi mengamankan pendapatan dan keuntungan ekonomi, mengalahkan semua nilai kemanusiaan dan kebutuhan manusia, termasuk perlindungan lingkungan.

Ada paradigma mendasar dan memerlukan kajian sistemis dalam tata kelola lingkungan kita. Paradigma kapitalisme yang mengutamakan kepentingan korporasi adalah faktor yang menyulitkan niat untuk mewujudkan kelestarian lingkungan. Hasrat meraup keuntungan telah mengerdilkan kesadaran korporasi untuk memperhatikan lingkungan.

Alhasil, hutan digunduli, berganti kebun kelapa sawit, sumber daya alam dikeruk, reklamasi dengan dalih pembangunan masif, pengabaian analisis dampak lingkungan dalam pembangunan dan seabrek dosa kapitalis terhadap lingkungan lainnya. Jadi, selama negara masih memberikan peluang individu untuk menguasai aset-aset umum, selama itu pula masalah lingkungan senantiasa hadir.

Masalah lingkungan bukanlah masalah yang berdiri sendiri. Karenanya, butuh kebijakan holistik yang mampu menuntaskan masalah lingkungan hingga ke akar-akarnya. Dari tataran individu,masyarakat hingga negara. Sebab kerusakan lingkungan yang berdampak pada krisis iklim ini bersifat holistik.

Hal terpenting yakni bagaimana komitmen pemerintah dalam merumuskan regulasi yang ramah lingkungan, tidak semata-mata berhitung untung rugi dan aspek bisnis dan pembangunan. Selayaknya pemerintah melibatkan ahli lingkungan dalam melakukan proses pembangunan dan mereduksi praktik uji AMDAL abal-abal yang pro kapitalis.

Inilah mengapa masalah lingkungan butuh penanganan sistemis. Sebab paradigma yang tegak dalam pengelolaan lingkungan harus sesuai dengan sunatullah penciptaan lingkungan sebagai habitat seluruh makhluk. Untuk itu, penting merujuk pada Islam dalam mengelola lingkungan.

Kelestarian lingkungan adalah point penting dalam pembangunan. Dalam Islam, hal ini sangat diperhatika. Allah swt. berfirman, “ Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya ” (QS Al-A’raf:56). Rasulullah saw. sendiri senantiasa mengingatkan para sahabat untuk menjaga lingkungan. Saat hendak melakukan perang Rasulullah memerintahkan agar tidak menebangi pohon dan merusak lingkungan. Para sahabat sendiri menyadari hakikat firman Allah, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia...(QS Ar-Ruum: 41).

Dalam tataran regulasi, Islam telah membagi konsep kepemilikan menjadi tiga yakni kepemilikan individu, umum dan negara. Hal ini menjadikan penguasa tak boleh menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada individu seperti pengelolaan hutan maupun ekosistem lainnya. Ini adalah tindakan preventif agar tidak terjadi eksploitasi lingkungan yang berdampak pada kerusakan.

Alhasil, penanganan lingkungan harus bersifat sistemis. Paradigma yang lahir dari kapitalisme tidak akan mampu mengurai masalah lingkungan. Konferensi-konferensi yang ada hanyalah basa-basi kapitalisme, sebab sistem ini ada untuk mewadahi seluruh kepentingan korporasi. Berharap pada sistem ini mengurai penyebab krisis iklim ibarat pungguk merindukan bulan. Mustahil!

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image