Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ilma Susi

Menyoal Korelasi RUU KIA dan Kesejahteraan Pekerja Perempuan

Politik | Monday, 11 Jul 2022, 16:21 WIB
Sumber Gambar: Kompas id

Pemerintah sedang mempersiapkan RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA). Salah satu isi RUU ini membahas soal hal cuti melahirkan bagi pemerja perempuan selama enam bulan. RUU ini telah disepakati Badan Legislasi (Baleg) dan tujuh fraksi di DPR. (Detik.com, 19/06/2022).

Munculnya RUU KIA didasari oleh asumsi terkait fenomena kasus kekerasan yang menimpa perempuan dan depresi pascamelahirkan. Adanya kasus kekerasan ibu terhadap bayinya pascamelahirkan diduga karena depresi. Dengan tujuan mengantisipasi hal yang tak diinginkan ini maka RUU KIA dipandang penting untuk segera disahkan.

Meski demikian, kita juga perlu cermat memandang terhadap disahkannya RUU KIA. Alih-alih membela kepentingan kaum ibu, RUU ini justru mendiskriminasikan mereka. Mengapa demikian? Publik menilai, dampak dari cuti enam bulan pascamelahirkan ialah perusahaan akan mengutamakan merekrut karyawan laki-laki. Ini karena perusahaan pasti tidak mau mengalami kerugian dengan panjangnya masa cuti bafi karyawan perempuan. Bisa jadi berlaku syarat rekrut untuk perempuan, semisal harus belum menikah atau tidak menikah selama terikat masa kerja.

Karenanya, para pekerja perempuan jangan buru-buru bersorak gembira. Sinyal kepedulian pemerintah terhadap kesejahteraan perempuan tak bisa dilepaskan begitu saja dengan sistem yang berlaku saat ini. Faktanya, jutaan perempuan tetap dalam eksploitasi mesin kapitalisme.

Ilusi Angin Surga

RUU KIA yang kini tengah dibahas masih memuat teka-teki buat kemaslahatan kaum perempuan. RUU ini bersifat dilematis, karena sebagian pihak memandang RUU tersebut bisa terbentur dengan UU naker. Hal itu mengingat, pembahasan cuti enam bulan akan memengaruhi produktivitas usaha dan tentu perusahaan akan mengalami kerugian.

Tak heran bila publik menilai bahwa manfaat yang lahir dari UU (bila jadi disahkan) KIA hanya ilusi angin surga berupa kemaslahatan khayalan untuk menenangkan kaum ibu. RUU ini lebih berguna untuk memastikan bahwa mereka tetap berdaya guna untuk menggerakkan roda perusahaan.

Realnya, kondisi pekerja perempuan di negeri ini cukup kompleks, terlebih setelah diterapkannya kebijakan pasar dengan kerja fleksibel yaitu mekanisme kerja kontrak dan outsourcing). Para kapital menjadikan perempuan seperti barang yang dapat diperjualbelikan dan diperas tenaganya dengan upah ringan untuk keuntungan perusahaan. Hal ini bisa menjadi tekanan tersendiri bagi pekerja perempuan.

Perempuan pekerja yang sudah berkeluarga bakal mengalami beban ganda dalam relasi kerja kapitalisme. Pada satu sisi mereka bekerja agar mendapat upah, di sisi lain mereka harus menjalankan peran sebagai ibu atau istri pada ranah domestiknya. Pada dilematika ini tak jarang wanita yang memilih untuk meninggalkan fungsi domestiknya. Pada umumnya faktor ekonomi menyadi alasan atas pilihan ini.

Kondisi perempuan dalam sistem kapitalisme memang dilematis. Mereka akan terus didorong untuk bekerja dan aktif di sektor ekonomi. Menurut kapitalisme, masyarakat yang ideal adalah ketika anak-anak diasuh di tempat penitipan saat para ibu mereka bekerja. Peran perempuan sebagai ibu dan pengelola rumah tangga pun digantikan oleh asisten rumah tangga. Tentu ini bukanlah perkare sepele.

Menggeser Peran Perempuan Menjadi Komoditas

Para pekerja perempuan saat ini makin menjadi objek komodifikasi (perubahan fungsi menjadi jasa yang dijual/ komoditas) Perempuan dianggap penjual jasa (pekerja) yang bernilai ekonomi. Jamak diketahui bahwa hampir setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh penguasa akan menguntungkan kaum kapital yang sebelumnya telah membiayai mereka untuk bisa duduk di tahta kekuasaan. Kerap kali publik menemukan setiap RUU yang dibahas akan disahkan menjadi UU memiliki “aroma” kepentingan pihak tertentu.

Agaknya dalam sistem demokrasi, UU merupakan kendaraan yang aman dan legal untuk meloloskan kepentingan. Melalui perundang-undangan, akan legallah aksi perampasan kekayaan alam dan kepentingan para kapitalis. Apalagi pemerintah telah berkomitmen untuk mewujudkan nilai kesetaraan gender dalam setiap sektor kehidupan. RUU KIA digadang-gadang sebagai salah satu bagian dalam memperjuangkan nilai kesetaraan gender yakni membela pekerja perempuan.

Kesejahteraan Perempuan Tidak Perlu RUU KIA

Menganggap cuti enam bulan pascamelahirkan merupakan bagian membela kepentingan perempuan tidaklah tepat. Sebab meskipun RUU ini disahkan, tidak menjawab persoalan kemiskinan yang saat ini dialami masyarakat, termasuk kaum perempuan. Sebab akar pesoalan dari tidak sejahreranya masyarakat adalah penerapan sistem kapitalisme.

Selayaknya pemerintah memberikan jaminan bagi kebutuhan pokok rakyatnya, sehingga kesejahteraan keluarga tak menjadi beban bagi perempuan. Kaum ibu tidak perlu lagi bekerja keras menjalankan peran ganda yang berefek pada hilangnya aktivitas pengasuhan anak. Juga hillangnya fungsi pengurusan rumah tangga. Hilangnya hak anak untuk mendapatkan pengasuhan dan pendidikan dari ibunya, bukanlah hal yang remeh. Terlebih saat anak di masa balita yang merupakan golden age.

Namun realitasnya, sebagian besar kaum ibu terpaksa menjadi tulang punggung untuk untuk menyokong kebutuhan keluarga. Selain itu, depresi yang dialami kaum ibu sebagian besar disebabkan oleh sulitnya memenuhi kebutuhan hidup secara layak akibat penerapan sistem salah.

Karenanya memberikan solusi terhadap persoalan kaum ibu dengan membuat RUU KIA tidak menjawab terhadap persoalan yang mereka hadapi. Nyata, kaum perempuan dan ibu tidak membutuhkan RUU KIA.

Islam Menjamin Kesejahteraan Kaum Ibu

RUU KIA bakal menambah panjang list UU yang tidak berdampak positif bagi rakyat. Sementara nenengok pada pemecahan masalah perempuan, satu-satunya solusi yang membuat sejahtera rakyat- tak sebatas kaum ibu-adalah solusi berdasarkan perpektif Islam.

Sistem Islam menjalankan fungsi sebagai pengurus (raa’in) dan pelindung (junnah) di tengah-tengah rakyatnya. Terkait fungsi ini sejarah mencatat, pada era kepemimpinan khalafah Umar bin Khaththab ra. Untuk menyenangkan hati para ibu yang sedang menyusui, seusai salat, Umar mengeluarkan kebijakan berupa santunan kepada setiap anak sejak mereka dilahirkan. Para ibu pun menyambutnya dengan penuh suka cita demi meringankan beban rumah tangga. (Thabaqat Ibnu Said, III/298, Ar-Riyadh an-Nadhirah, II/389, dan Ath-Thifi fi Asy-Syari’ah al-Islamiyah).

Fitrah perempuan sebagai ibu dan istri terjaga dalam naungan Islam. Bekerja bagi perempuan merupakan pilihan saja, bukan tuntutan keadaan. Adapun beban kewajiban mencari nafkah. berada di tangan para suami atau wali mereka.

Islam menjamin kebutuhan pokok perempuan dengan mekanisme mewajibkan nafkah pada suami, ayah, kerabat laki-laki bila tidak ada suami atau ayah. Jika mereka semua ada, tetapi tidak mampu, para waniti tak perlu khawatir. Ada jaminan dari negara secara langsung bagi para perempuan miskin dan janda yang tidak memiliki siapa pun untuk menafkahinya. Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang meninggalkan ‘kalla’, maka ia menjadi kewajiban kami.” (HR Muslim).

“Kalla” adalah orang yang lemah dan tidak mempunyai anak maupun orang tua. Dengan demikian, menjadi kewajiban umat Islam untuk mengambil kembali solusi Islam. Menjadi kewajiban bagi kaum muslimin untuk menegakkan Islam kembali sebagai institusi penjamin kesejahteraan rakyat, termasuk kaum perempuan. Wallahu a'lam bishowab.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image