Sajadah Panjang Masjid Kami
Sastra | 2021-10-15 19:53:47Sore menjelang maghrib aku bergegas menuju masjid di kampung Teratai. Suasana kampung sudah mulai sepi, anak-anak sudah tidak terlihat lagi bermain di luar rumah. Kendaraan yang berlalu lalang juga sudah mulai jarang, paling hanya satu dua sepeda motor saja yang melintas. Masjid itu hanya seratus meter dari rumahku, jadi cukup bagiku berjalan kaki dari rumah ke masjid. Aku ditemani anak laki-lakiku satu-satunya, karena dua kakaknya adalah perempuan. Dia sudah sejak dari kelas satu hingga sekarang kelas lima Sekolah Dasar aku biasakan salat berjamaah di masjid.
Saat tiba di teras masjid, terlihat Pak Arif sedang menyapu lantai masjid. Sementara suara selawat tarhim terdengar dari pengeras suara masjid. Pak Arif adalah pengurus masjid yang tugasnya menjaga kebersihan masjid. Umurnya kurang lebih 60 tahunan. Tapi badan beliau masih terlihat bugar. Karena memang sepengetahuanku Pak Arif ini orangnya tidak bisa diam, selalu ada saja yang dikerjakannya. Belum pernah aku melihat beliau duduk-duduk santai tanpa melakukan aktivitas apapun. Keseharian beliau bekerja sebagai penjaga sekolah yang letaknya tidak jauh dari masjid.
â Assalamualaikum .â , ucapku memberi salam.
â Wa'alaikum salam warahmatullah....â , jawab Pak Arif membalas salamku.
Langsung aku menuju ruang utama masjid untuk salat sunah tahiyatul masjid. Belum sempat aku mengangkat takbir, tiba-tiba mataku tertuju ke lantai masjid. Pemandangan yang tidak biasa aku lihat hampir dua tahun ini. Semenjak virus corona hadir menyambangi kampung kami kurang lebih dua tahun lalu, lantai masjid dibiarkan tanpa sajadah. Tapi sore ini, sajadah panjang dan tebal berwarna biru tua itu sudah terkembang seperti dulu lagi.
Setelah salat dua rakaat selesai, langsung aku cari Pak Arif. Aku lihat beliau sudah selesai menyapu lantai di bagian teras masjid. Aku benar-benar penasaran soal sajadah panjang yang sudah terhampar kembali ini.
â Pak Arif... memang masjid kita sudah boleh pakai sajadah masjid kembali?â , tanyaku.
â Sudah... tadi siang aku di telpon ketua de ka em, kata beliau sajadah sudah bisa pakai lagi. Pemerintah sudah mengizinkan masjid di daerah kita untuk menggunakan sajadah bersama dan sekarang pun shaf salat sudah boleh rapat seperti dulu lagiâ .
â Alhamdulillah . Syukurlah kalau memang begitu, memang aku baca dari berita online yang beredar, daerah kita sudah berada di level satu pe pe ka em nya. Terus masalah pemakaian masker gimana kata pak ketua de ka em?â .
â Kalau masalah pemakaian masker, jamaah masih harus tetap menggunakannya. Kata pak ketua, pemerintah masih menerapkan kewajiban pemakaian masker bagi semua jamaah, ya... menurut saya mengapa begitu karena kita tidak dapat memastikan ada tidaknya virus corona di sekitar kitaâ .
â Iya benar pak... Jangan sampai kelonggaran ini membuat kita abai. Mudah mudahan jamaah kita banyak lagi seperti dulu lagi pak ya...â .
Sementara itu lantunan selawat tarhim sudah mendekati bagian akhirnya, tanda bahwa kami harus siap-siap. Seperti biasa aku dan Pak Arif berbagi tugas, aku bagian memukul bedug, sementara Pak Arif bagian yang mengumandangkan azan.
***
Masih segar di ingatanku kejadian di waktu menjelang maghrib seperti sore ini dua tahun yang lalu. Setelah satu minggu aku dinas luar, sore itu aku kembali berjamaah di masjid kampung Teratai. Selepas salat Maghrib dan zikir, seperti biasa aku langsung pulang. Saat di teras masjid aku berpapasan dengan Pak Arif.
â Pak, aku kok nggak lihat Bang Harli dan Pak Zudi ya â tanyaku ke Pak Arif.
â Sudah tiga hari ini mereka memang nggak datang berjamaah ke masjid, dengar-dengar mereka pindah berjamaah ke masjid kampung sebelahâ , jelas Pak Arif.
â Gara-gara sajadah dan tanda silang di lantai masjid kita itu ya?â .
â Sepertinya begitu... karena tiga hari yang lalu ketika saya dapat instruksi dari pak ketua untuk menggulung semua sajadah dan memasang tanda silang di lantai, mereka berdua protes ke aku. Lalu aku jelaskan lah bahwa aku hanya melaksanakan tugas dari pak ketua. Mungkin karena merasa tidak puas dengan penjelasanku, setelah salat Maghrib mereka mendatangi pak ketua. Saya sempat melihat mereka sedikit bersitegang tentang hal itu. Semenjak kejadian sore itu sudah tidak terlihat lagi batang hidung keduanyaâ .
â Pantesan... tadi sebelum azan aku lihat Bang Harli naik motor ke arah kampung sebelah, aku pikir mau ke mana ? biasanya kan beliau hanya jalan kaki saja kalau mau ke masjidâ .
Sudah hampir satu minggu ini, pemerintah meminta semua masjid dan musala untuk mendukung pemutusan mata rantai penyebaran virus corona di Indonesia. Selain melarang penggunaan sajadah bersama dan pemberian jarak pada shaf salat, pemerintah juga melarang wudu di masjid, dan mewajibkan pemakaian masker bagi semua jamaah. Masjid kami karena kebanyakan pengurusnya adalah pegawai pemerintah daerah, maka taat dengan anjuran pemerintah ini. Tetapi dari beberapa kawan yang tinggal di kampung berbeda, aku dengar masih ada masjid yang abai dengan anjuran pemerintah tentang pengaturan jarak ini.
Bang Harli dan Pak Zudi memang sepengetahuan aku tergolong orang yang taat akan aturan agama. Seringkali aku ngobrol dengan mereka tentang pemahaman mereka mengenai hal-hal tertentu yang tidak sama dengan kebanyakan jamaah di masjid kami. Jadi kuat dugaanku kalau mereka pindah ke masjid lain karena menurut mereka hal yang diterapkan di masjid kami ini tidak sesuai dengan pemahaman yang mereka pelajari.
Kurang lebih setelah dua tahun dari kejadian itu, di mana pemerintah menilai penyebaran virus corona sudah mulai terkendali, masjid sudah diperkenankan kembali menggelar sajadah panjang untuk digunakan bersama. Hanya saja untuk pemakaian masker masih diwajibkan. Jadi sekarang jamaah sudah boleh membentuk barisan shaf yang rapat seperti dulu lagi. Kalau tidak salah ini hanya berlaku di daerah yang berada di level satu saat Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat. Sementara untuk yang berada pada level di atas itu, tetap masih harus menerapkan pelarangan yang sudah berjalan dua tahun ini.
Mengapa perihal perenggangan shaf salat ini timbul perbedaan? Apakah merapatkan shaf itu wajib ataukah sunah? Andaikan wajib, apakah adanya wabah menjadi uzur untuk menggugurkan perkara yang wajib? Ulama yang membolehkan salat dengan shaf renggang di masa wabah, mereka berpegang pada pendapat jumhur ulama bahwa merapatkan shaf tidaklah wajib. Atau, andaikan wajib maka kewajiban ini gugur dengan adanya uzur berupa kondisi wabah. Sedangkan ulama yang melarang salat dengan shaf renggang berpegang pada pendapat bahwa merapatkan shaf hukumnya wajib. Dan adanya wabah tidak menggugurkan kewajiban ini.
Bang Harli dan Pak Zudi tergolong orang yang beranggapan bahwa menempelkan kaki saat salat jamaah pada kaki jamaah lain, tergolong sunah/dituntunkan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, atau dalam kacamata hukum fikih, hukumnya wajib. Padahal ini kesimpulan yang kurang tepat. Kesimpulan ini berpijak pada pernyataan sahabat Nuâ man bin Basyir radhiyallahu anhu yang berbunyi, â Lantas aku melihat orang-orang (para sahabat Nabi) menempelkan pundak ke pundak temannya serta mata kaki ke mata kaki temannyaâ . Pemahaman yang benar terhadap pernyataan sahabat Nuâ man bin Basyir di atas adalah, riwayat ini tidak tegas menyatakan perintah menempelkan kaki. Kandungan pesannya adalah pesan berita, yang disampaikan bukan dari Nabi shallallahuâ alaihi wasallam, namun dari cerita sahabat. Sehingga, menempelkan kaki di barisan shaf, hukum yang tepat bukan wajib, tapi sunah.
Kemudian, anjuran menempelkan kaki ini, bukan ibadah yang berdiri sendiri. Namun tindakan itu dianjurkan karena membantu terwujudnya ibadah inti berupa meluruskan shaf. Jadi tujuan para sahabat menempelkan kaki, adalah sekadar untuk meluruskan shaf. Adapun bila shaf sudah lurus, tanpa harus dengan menempelkan kaki, maka itu sudah cukup. Karena tujuan telah tercapai. Tidak harus dengan menempelkan kaki apalagi berlebihan dalam hal ini. Yang terpenting adalah shafnya lurus.
Setelah kita tahu bahwa menempelkan kaki di barisan shaf salat hukumnya sunah, maka meninggalkan amalan sunah demi terlaksana ibadah yang wajib, adalah suatu tindakan yang dibenarkan oleh Islam. Menempelkan kaki hukumnya sunah. Sementara mencegah bahaya berupa tersebarnya virus Corona hukumnya wajib. Syariat kita mengizinkan meninggalkan amalan yang sunah demi terwujudnya amal wajib. Sebagaimana Nabi pernah melarang orang yang mengerjakan salat sunah saat ikamah sudah dikumandangkan. Tentu saja semua pemahaman ini aku dapat setelah membaca banyak ulasan para ulama seputar hal merenggangkan shaf salat berjamaah.
***
Maghrib ini, salat kami diimami Pak Haji Suman. Setelah salam, seperti biasa saya langsung zikir, dan selepas itu langsung bangkit dari duduk untuk pulang dan salat sunah di rumah. Baru saja aku mau keluar dari barisan shaf paling depan, pandangan mataku bertabrakan dengan pandangan Bang Harli.
â Alhamdulillah .â , ucapku seketika.
â Ada apa bang?â , tanya Bang Harli kepadaku.
â Ah nggak apa-apa, sudah lama nggak jumpa Bang Harli sajaâ , jawabku.
Sejak sore itu, aku selalu melihat Bang Harli dan Pak Zudi salat berjamaah di masjid kampung Teratai. Aku berharap kerukunan ini terus terjaga. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, hanya karena izin-Nya jualah semua peristiwa ini dapat terjadi. Semoga masing-masing jamaah dapat mengambil hikmah di balik peristiwa ini.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.