Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fadli Abdul Izzati

Di Balik Tirai Sutra

Sastra | 2025-03-13 05:23:59

Angin senja menyapa wajah Aisyah, membawa serpihan kenangan yang selama ini ia coba lupakan. Setiap hembusan seolah berbisik, "Sudah waktunya pulang." Tapi pulang ke mana? Rumahnya ada di sini sebuah apartemen mewah dengan pemandangan kota yang gemerlap. Mobil mewah terparkir rapi di basement. Rekening bank yang tak pernah kering. Namun mengapa hatinya tetap hampa?

Tangannya meraba dada kiri. Ada yang kosong di sana.

Cermin besar di kamarnya bagai menyimpan sejuta tanya. Aisyah menatap pantulan dirinya dengan rambut bercat keemasan, make-up sempurna, dan pakaian mengikuti tren terkini. Sempurna di mata dunia, tapi entah mengapa tatapan matanya sendiri terasa asing.

"Siapa kau?" bisiknya pada bayangan di cermin itu.

Malam itu, Aisyah terbangun dengan napas tersengal. Mimpi yang sama kembali hadir. Dalam mimpi itu, ia berlari mencari sesuatu, namun tak pernah menemukannya. Selalu begitu, selama berbulan-bulan.

Ia meraih ponselnya. Pukul tiga dini hari. Waktu di mana langit dan bumi seolah berbisik rahasia semesta. Waktu di mana Tuhan terasa begitu dekat, namun Aisyah merasa begitu jauh.

"Ya Allah," nama yang sudah lama tak ia sebut keluar begitu saja dari bibirnya. Air mata merebak tanpa permisi.

Kenangan masa kecil berkelebat. Suara adzan dari surau kecil di kampung. Ibu yang dengan lembut mengajarinya berwudhu. Ayah yang tersenyum bangga saat ia pertama kali mengenakan kerudung kecilnya untuk mengaji.

Seperti hujan setelah kemarau panjang, kerinduan itu menyeruak tak tertahankan.

Pagi berikutnya, langkah Aisyah membawanya ke toko buku. Entah dorongan apa, ia berakhir di bagian buku Islam. Jemarinya bergetar saat menyentuh sebuah kitab tafsir Al-Quran. Sudah berapa lama ia tidak membuka halaman-halaman suci itu?

"Permisi, bisa saya bantu?"

Aisyah menoleh. Seorang wanita berhijab biru muda tersenyum padanya. Namanya Zahra, tertera di name tag yang tersemat di bajunya.

"Saya... ingin memahami Islam lagi," jawab Aisyah setengah berbisik, takut kalimatnya terdengar aneh.

Mata Zahra berbinar. "Alhamdulillah. Tidak ada kata terlambat untuk kembali, Kak."

Kembali. Kata itu menggema dalam benaknya. Ya, ia ingin kembali.

Satu minggu berlalu. Sajadah yang baru dibeli Aisyah masih terlipat rapi. Mushaf Al-Quran masih terbungkus plastik. Kerudung-kerudung cantik masih tersimpan dalam kotak.

Keraguan menari-nari dalam pikirannya. Bagaimana reaksi teman-temannya? Atasan di kantornya? Klien-kliennya?

Apakah mereka akan menerimanya? Atau justru menjauhinya?

Malam itu, Aisyah membaca pesan dari Zahra, teman barunya yang kini menjadi mentor dalam perjalanan hijrahnya.

"Ketika kita melangkah menuju Allah, Dia berlari menyambut kita."

Aisyah memejamkan mata. Bisikan hatinya kini terdengar lebih jelas. Bukankah kehidupan ini hanyalah persinggahan sementara? Lalu untuk siapa ia hidup selama ini?

Dengan tangan bergetar, ia membuka mushaf Al-Quran. Halaman pertama yang ia buka membawanya pada ayat yang seolah diturunkan khusus untuknya:

"...Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram."

Air matanya jatuh membasahi halaman suci itu.

Pagi berikutnya, kantor pemasaran tempat Aisyah bekerja dibuat terkejut. Aisyah datang dengan penampilan baru dengan hijab merah marun memeluk wajahnya dengan anggun. Senyumnya memancarkan cahaya yang tak pernah mereka lihat sebelumnya.

Ada bisik-bisik, tentu saja. Ada tatapan heran, sudah pasti. Tapi Aisyah telah menemukan kekuatan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.

"Kamu terlihat... berbeda," komentar atasannya dengan nada yang sulit ditebak.

Aisyah tersenyum. "Saya menemukan jalan pulang, Pak."

Perjalanan hijrah Aisyah tidak selalu mulus. Ada hari-hari di mana ia tergoda untuk kembali pada kehidupan lamanya. Ada momen di mana ia meragukan keputusannya. Ada air mata yang ia tumpahkan dalam sujud panjangnya.

Namun setiap kali ia membuka Al-Quran, seolah ada tangan tak terlihat yang menuntunnya. Setiap kali ia merapatkan hijabnya, ada kehangatan yang memeluk hatinya. Setiap kali ia bersujud, ada kedamaian yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Zahra selalu ada di sampingnya, mengingatkannya bahwa hijrah bukanlah tujuan, melainkan proses. Bahwa menemukan Tuhan bukanlah momen sekali jadi, melainkan pencarian seumur hidup.

Suatu sore, di masjid yang sama di mana ia kini rutin mengikuti kajian, Aisyah bertemu dengan sepasang mata yang menatapnya penuh kelembutan. Namanya Fariz, seorang dokter yang juga aktif dalam kegiatan dakwah.

"Indah sekali melihat seseorang yang menemukan cahayanya sendiri," ujar Fariz saat mereka diperkenalkan oleh Zahra.

Aisyah tersenyum. "Cahaya-Nya yang menemukan saya."

Setahun kemudian, di bawah kubah masjid yang sama, Aisyah mengucapkan janji sucinya dengan Fariz. Hijab putih menghias wajahnya yang berseri. Di antara tamu yang hadir, ada rekan-rekan kantornya yang dulu menatapnya heran, kini tersenyum penuh dukungan.

Saat ijab kabul diucapkan, Aisyah teringat perjalanannya selama ini. Dari kekosongan menuju kepenuhan. Dari keterasingan menuju penemuan. Dari kehilangan menuju penemuan.

Di sudut ruangan, Zahra menghapus air mata harunya. Aisyah menangkap tatapannya dan membisikkan "terima kasih" tanpa suara.

Malam itu, dalam sujud syukurnya, Aisyah berbisik, "Ya Allah, terima kasih telah menuntunku pulang."

Karena pada akhirnya, hijrah Aisyah bukanlah sekadar tentang hijab yang kini memeluk wajahnya, tapi tentang perjalanan hati yang akhirnya menemukan rumahnya dalam dekapan cinta Sang Pencipta.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image