Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Taufik Alamsyah

Memaknai Kembali Idul Fitri: Upaya Menggapai Kesucian

Agama | Tuesday, 03 May 2022, 12:50 WIB

Kaum Muslimin Indonesia memaknai Idul Fitri dengan 2 hal, yang pertama pastinya sebagai Hari Raya ataupun Hari Kemenangan. Namun, yang kedua juga sebagai bentuk penguatan silaturahim di antara keluarga, tetangga, dan masyarakat dengan saling memaafkan dari lubuk hati yang paling dalam. Tradisi maaf-memaafkan ini tidak lepas dari makna Idul Fitri itu sendiri. Kelapangan dada dalam makna ini turut mewarnai Idul Fitri, sehingga masyarakat Indonesia menyebutnya Lebaran (asal kata lebar, artinya lapang).

Berbagai kuliner dan makanan khas juga dikreasikan masyarakat muslim Indonesia untuk menyambut datangnya Hari Raya Idul Fitri. Opor ayam, kupat (ketupat), kue lepat, dan makanan-makanan khas lainnya. Makanan khas tersebut juga bukan hanya sebatas makanan, tetapi mempunyai filosofi dan makna yang sangat mendalam.

Dalam genggaman umat Islam di Indonesia, salah satu hari besar dalam Islam ini menyatukan berbagai unsur, yakni nilai-nilai agama, penguatan identitas bangsa, penumbuhan tradisi, dan budaya positif melalui silaturahim, serta peneguhan cinta tanah air yang diejawantahkan melalui tradisi mudik atau pulang kampung.

Sebulan penuh menjalankan ibadah puasa merupakan ujian penting bagi setiap muslim. Mengendalikan dan menempa diri dari godaan hawa nafsu bukan hal yang ringan. Ramadan menjadi latihan evaluasi agar ke depan menjadi pribadi yang baik dan bisa mengendalikan diri. "Jadi ini sebuah momentum pelatihan Ramadan. Harapannya setelah kita memasuki Syawal dan bulan selanjutnya kita mampu melanjutkan apa yang selama ini menjadi latihan kita di bulan Ramadan," kata mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin, di kantornya, Sabtu, 24 Juni 2017.

Ramadhan sangat erat kaitannya dengan Idul Fitri, karena ibadah puasa merupakan suatu proses berkesinambungan dan istiqomah yang melatih manusia untuk memperoleh gelar muttaqin sehingga diibaratkan seperti bayi yang baru lahir dari rahim ibunya. Maka, wajar ia bergembira karena telah lulus dalam madrasah Ramadan yang tetap menjiwai semangat Ramadan di luar Ramadan.

Pada bagian ini, penulis ingin mengungkapkan keterangan Muhammad Quraish Shihab dalam buku anggitannya Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Mizan, 1999). Megurai arti Idul Fitri, Quraish Shihab mengartikan bahwa Id berarti kembali dan fithr dapat diartikan agama yang benar atau kesucian atau asal kejadian. Kalau umat Islam memahaminya sebagai agama yang benar, maka hal itu menuntut keserasian hubungan karena keserasian tersebut merupakan tanda keberagaman yang benar.

Fithrah berarti kesucian. Ini dapat dipahami dan dirasakan maknanya pada saat seorang hamba duduk merenung sendirian. Ketika pikiran mulai tenang, kesibukan hidup, atau haru hati telah dapat teratasi, akan terdengar suara nurani yang mengajaknya berdialog, mendekat bahkan menyatu dengan suatu totalitas wujud Yang Maha Mutlak, yang mengantarnya untuk menyadari betapa lemahnya manusia di hadapan-Nya, dan betapa kuasa dan perkasanya Yang Maha Agung itu.

Suara yang didengar itu adalah suara fithrah manusia, suara kesucian. Setiap orang memiliki fithrah itu, terbawa serta olehnya sejak kelahiran, walaupun sering terabaikan karena kesibukan dan dosa-dosa sehingga suaranya begitu lemah hanya sayup-sayup terdengar. Suara itulah yang dikumandangkan pada Idul Fithri, yakni Allahu Akbar, Allahu Akbar.

Jika kalimat pengagungan Allah itu tertancap dalam jiwa, maka akan hilanglah segala ketergantungan kepada unsur-unsur lain selain Allah semata. Tiada tempat bergantung, tiada tempat menitipkan harapan, tiada tempat mengabdi, kecuali kepada-Nya. Ketika hal itu terjadi pada seseorang, terjadilah apa yang seperti dilukiskan oleh ulama kenamaan Ibnu Sina dalam Al-Isyarat wa Tanbihat (Disadur dari Abdul Halim Mahmud, Al-Tafkir Al-Falsafiy fi Al-Islam, Dar Al-Kutub Al-Lubnaniy, 1982) sebagai berikut:

Orang tersebut menjadi arif, yang bebas dari ikatan raganya. Dalam dirinya terdapat ikatan yang tersembunyi, namun pada dirinya sendiri tampak sebagai sesuatu yang nyata. Ia selalu gembira, banyak senyum. Betapa tidak, sejak ia mengenal-Nya, hatinya dipenuhi oleh kegembiraan. Dengan melihat Yang Maha Suci, semua dianggapnya sama, karena memang semua makhluk Allah. Semua wajar mendapatkan Rahmat, baik yang taat maupun yang bergelimang dosa. Ia tidak akan mengintip-intip kelemahan orang, tidak pula mencari kesalahannya. Ia tidak akan marah, tidak pula tersinggung, walaupun melihat yang mungkar sekalipun, karena jiwanya selalu diliputi Rahmat dan kasih sayang, dan karena ia memandang keindahan, ia melihat sir Allah (rahasia Allah) terbentang ke dalam qudrat-Nya. Bila ia mengajak kepada kebaikan, ia akan melakukannya dengan lemah lembut, tidak dengan kekerasan, tidak pula dengan kecaman, kritikan yang melukai atau ejekan. Ia akan selalu menjadi pemaaf. Betapa tidak, sedang di dadanya sedemekian lapang, sehingga tidak ada tempat bagi kesalahan orang lain. Ia tidak akan menjadi pendendam. Bagaimana ia mampu mendendam, sedang seluruh ingatannya hanya tertuju kepada Yang Maha Suci lagi Maha Agung itu.

Terkait dengan kesucian, menurut Quraish Shihab kesucian adalah gabungan tiga unsur, yaitu benar, baik, dan indah. Sehingga, seseorang yang ber-Idul Fitri dalam arti kembali ke kesuciannya akan selalu berbuat yang indah, benar, dan baik. Bahkan, lewat kesucian jiwanya itu, ia akan memandang segalanya dengan pandangan positif. Ia selalu mencari sisi-sisi yag baik, benar, indah. Mencari yang indah melahirkan seni, mencari yang baik menimbulkan etika, dan mencari yang benar menghasilkan ilmu.

Dengan pandangan yang demikian, ia akan menutup mata terhadap kesalahan, kejelakan, dan keburukan orang lain. Kalaupun itu terlihat, selalu dicarinya nilai-nilai positif dalam sikap negatif tersebut. Dan kalau pun itu tak ditemukannya, ia akan memberinya maaf bahkan berbuat baik kepada yang melakukan kesalahan.

Setelah orang berpuasa dan membayarkan zakat fithrahnya, hari raya merupakan kabar gembira atas diterimanya amal orang yang sungguh-sungguh berpuasa, bertobat, salat malam, shalat tarawih, i’tikaf, sedekah, dan lain sebagainya. Allah akan menghapus semua keburukan mereka kemudian diganti dengan kebaikan-kebaikan.

Kabar gembira ini dapat kita baca:

إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Artinya: “Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan mengerjakan amal shalih; maka keburukan-keburukan mereka tersebut diganti oleh Allah dengan kebajikan. Dan Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Al-Furqan: 70).

Di tengah pandemi ini, kita harus optimis bahwa kita bisa beradaptasi dengan keadaan secepat-cepatnya. Kita berharap, ke depan, keadaan menjadi semakin membaik: pintu-pintu Masjid kembali terbuka sebagaimana sedia kala, kita bisa berkumpul bersama, mengaji bersama, menjalankan sistem kontrol sosial bersama-sama melalui pintu-pintu Masjid di sekitar kita.

Selain itu, di hari raya ini, meskipun sebagian di antara kita terhalang oleh keadaan, jangan sampai kita lewatkan permohonan maaf kepada kedua orang tua, walaupun sebagian di antara kita tidak bisa bertatap muka. Silakan saling memaafkan antar saudara, tetangga, teman, dan lain sebagainya dengan menggunakan fasilitas yang ada, jika pertemuan fisik tidak memungkinkan. Kita fungsikan media sosial yang kita punya sebagai sarana untuk merekatkan antarkeluarga, sesama muslim, sehingga media sosial kita menjadi wasilah kita menuju ridha Allah subhanahu wa ta’ala.

Semoga Allah senantiasa memberikan bimbingan, taufiq, hidayah, serta inayah-Nya supaya kita dan keluarga kita selalu menjadi orang yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Pada puncaknya, kelak saat kita akan menghadap Allah sang Pencipta, kita akan meninggalkan dunia ini dengan husnul khatimah, aamiin.

Selamat berlebaran!

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image