Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fadhly Syauqy

Kekuasaan yang Gagap Menghadapi Kritik

Politik | 2025-12-31 09:53:44
Kertas dengan tulisan ancaman yang dikirim ke kediaman influencer @dj_donny pada Selasa 30/12. Sumber: instagram.com/@dj_donny

Dalam sistem demokrasi, komunikasi politik idealnya berlangsung melalui adu gagasan, debat terbuka, dan pertukaran argumen yang rasional. Kritik terhadap pemerintah, baik datang dari warga, media, mau pun pelaku politik, merupakan bagian wajar dari proses tersebut.

Ironisnya, di era digital yang menjanjikan kebebasan berekspresi, justru muncul bentuk-bentuk represi yang lebih personal dan brutal. Baru-baru ini terjadi peristiwa yang jauh dari konsep komunikasi politik, bahkan jauh dari konsep moral manusia sosial apalagi negara demokrasi.

Pengiriman paket berisi bangkai hewan dan secarik surat dengan tulisan bernada ancaman, yang baru saja terjadi kemarin pagi kepada beberapa influencer politik dan beberapa bulan kemarin ke kantor media Tempo, serta tindakan represif lainnya menunjukkan adanya penyimpangan serius dalam praktik komunikasi politik di ruang publik.

Fenomena ini tidak bisa dipahami semata sebagai tindak kriminal individual karena teror ini tidak tertuju kepada seorang pelaku perselingkuhan, pelaku pencucian uang, atau pelaku penggundulan hutan. Teror ini justru spesifik menghampiri orang-orang yang kerap membicarakan isu-isu politik dan mengkritik kebijakan pemerintah, yang saya rasa objektif, dan berhasil membentuk opini publik. Jelas ini dilakukan bukan atas dasar masalah personal, melainkan ketidakmampuan menjawab kritik dan pertanyaan dengan argumen yang masuk akal.

Dalam istilah Chomsky, ini adalah bentuk kontrol yang efektif karena mendorong self-censorship, pembungkaman diri secara sukarela akibat rasa takut. Karena ancaman tak hanya datang kepada jurnalis atau pengkritik yang gagah menyampaikan keresahannya, tapi juga ke keluarga dan kerabatnya. Tentu ini menimbulkan rasa khawatir yang kuat di batin pengkritik.

Mereka, para pengecut itu, berharap para pengkritik, jurnalis, dan media memilih untuk menahan kritik, melunakkan bahasa, atau bahkan diam sama sekali. Mungkin mereka berfikir bahwa teror akan berhasil bukan dengan memukul semua orang, tetapi cukup satu contoh untuk membuat yang lain gentar.Padahal, cara lama ini justru menunjukkan kelemahan, kerapuhan dan defensif terhadap kritik. Kekuasaan yang percaya diri terhadap legitimasi dan kebenaran kebijakannya tidak akan melakukan ancaman. Ia akan berdiri tegak, menengadahkan kepala dan naik ke panggung debat untuk membalas kritik secara terbuka.

Lebih jauh, pembiaran terhadap kasus-kasus teror semacam ini juga merupakan bentuk komunikasi politik tersendiri. Sudah berbulan-bulan berlalu sejak teror kepala babi di kantor Tempo dan pesan pribadi bernada intimidasi kepada jurnalisnya, tetap tidak ada kabar kelanjutan dari pihak berwajib. Ketika pelaku tidak diungkap atau proses hukumnya tidak transparan, membuat kami, masyarakat awam, menyimpulkan bahwa ancaman terhadap pengkritik adalah sesuatu yang bisa ditoleransi. Diamnya negara bukanlah netralitas, melainkan sinyal.

Dalam jangka panjang, komunikasi politik berbasis teror justru akan merugikan kekuasaan itu sendiri. Ketakutan mungkin efektif dalam jangka pendek, tetapi ia juga menumpuk kemarahan dan ketidakpercayaan publik. Demokrasi tidak runtuh karena terlalu banyak kritik, melainkan karena kritik dibungkam.

Kualitas demokrasi dapat diukur dari cara kekuasaan merespons kritik. Jika kritik dibalas dengan ancaman, maka yang sedang dipertaruhkan bukan hanya keselamatan para pengkritik, melainkan masa depan komunikasi politik yang sehat, terbuka, dan beradab.

Hal-hal seperti ini seharusnya bisa segera diselesaikan dan tidak terulang lagi. Kami optimis bahwa masih banyak orang cerdas dan bermoral di istana sana. Kami percaya bahwa banyak pejabat yang merasa fenomena ini berseberangan dengan nuraninya. Tangkap para pengecut itu dan tunjukkan bahwa tidak ada yang lebih besar daripada Negara dan kebebasan demokrasi.

Hal serupa dialami oleh influencer @sherlyannavita pada hari yang sama. Sumber: instagram.com/@sherlyannavita

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image