Ketika Duka Kehilangan Kucing Dianggap Tidak Sah
Pets and Garden | 2025-12-24 15:59:35Ketika Duka Kehilangan Kucing Dianggap Tidak Sah
Kehilangan kucing sering kali ditempatkan pada posisi yang janggal dalam kehidupan sosial. Di satu sisi, bagi pemiliknya, kucing adalah bagian dari keseharian, sumber kenyamanan, dan makhluk hidup yang dicintai. Namun di sisi lain, masyarakat kerap memandang kesedihan ini sebagai sesuatu yang berlebihan, tidak rasional, atau bahkan memalukan. Kalimat seperti “kan cuma kucing” atau “tidak perlu sedih berlarut-larut” menjadi respons yang umum diterima oleh mereka yang berduka.
Dalam psikologi, pengalaman ini dikenal sebagai illegitimate grief atau duka yang tidak diakui. Istilah ini merujuk pada kondisi ketika seseorang kehilangan sesuatu yang sangat bermakna, tetapi rasa dukanya tidak mendapat pengakuan, validasi, atau ruang untuk diekspresikan secara sosial. Duka akibat kehilangan kucing merupakan salah satu contoh paling nyata dari fenomena ini.
Padahal, ikatan antara manusia dan kucing tidak bisa disederhanakan hanya sebagai hubungan pemilik dan hewan. Banyak penelitian menunjukkan bahwa kucing sering dipersepsikan sebagai anggota keluarga, teman emosional, bahkan figur pendamping dalam kesepian. Ketika ikatan tersebut terputus, yang hilang bukan sekadar hewan peliharaan, melainkan hubungan yang penuh makna.
Duka yang Tidak Diakui: Apa Itu Illegitamate Grief?
Konsep illegitimate grief pertama kali diperkenalkan untuk menjelaskan jenis duka yang tidak mendapatkan pengesahan sosial. Duka dianggap “tidak sah” ketika lingkungan sekitar menilai bahwa objek kehilangan tersebut tidak cukup penting untuk ditangisi, atau ketika cara seseorang berduka dinilai berlebihan dan tidak pantas.
Dalam konteks kehilangan kucing, duka sering kali masuk dalam kategori ini. Masyarakat cenderung memiliki hierarki kehilangan: kematian manusia berada di posisi tertinggi, sementara kematian hewan peliharaan sering kali ditempatkan jauh di bawah. Akibatnya, kesedihan pemilik kucing tidak mendapatkan empati yang sama.
Sebuah scoping review dalam Journal of Humanistic Psychology (2025) menunjukkan bahwa banyak pemilik hewan peliharaan mengalami kesulitan mengekspresikan duka mereka secara terbuka karena takut diremehkan. Studi-studi yang direview menegaskan bahwa duka akibat kehilangan kucing sering dianggap tidak layak diritualkan, tidak perlu dibicarakan, dan seharusnya cepat dilupakan.
Ketiadaan pengakuan ini membuat banyak pemilik kucing berusaha menekan emosinya. Mereka merasa perlu “kuat”, menyembunyikan air mata, atau berpura-pura baik-baik saja agar sesuai dengan ekspektasi sosial. Padahal, menekan duka tidak membuat kehilangan tersebut hilang, melainkan justru memperumit proses berduka itu sendiri.
Dampak Psikologis dan Sosial dari Illegitimate Grief
Duka yang tidak diakui memiliki dampak yang lebih luas dibandingkan duka yang mendapatkan dukungan sosial. Secara psikologis, pemilik kucing yang mengalami illegitimate grief berisiko mengalami kesedihan berkepanjangan, kecemasan, dan depresi. Ketika kesedihan tidak divalidasi, individu cenderung menyalahkan diri sendiri atas apa yang ia rasakan.
Penelitian menunjukkan bahwa rasa bersalah sering muncul bersamaan dengan duka kehilangan kucing, terutama jika kematian terjadi akibat penyakit atau eutanasia (Journal of Humanistic Psychology, 2025). Tanpa dukungan sosial yang memadai, rasa bersalah ini dapat berkembang menjadi perasaan tidak berharga dan keyakinan bahwa emosi yang dialami adalah tanda kelemahan.
Secara sosial, illegitimate grief mendorong isolasi. Banyak pemilik kucing memilih menarik diri dari lingkungan karena merasa tidak aman untuk berbagi kesedihan. Mereka menghindari percakapan, menutup diri dari teman atau keluarga, dan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan dukungan emosional yang seharusnya membantu proses pemulihan.
Ironisnya, semakin seseorang menutup diri, semakin berat pula duka yang ia rasakan. Duka menjadi pengalaman yang sunyi, tanpa saksi, tanpa ritual, dan tanpa ruang untuk diproses secara sehat. Beberapa studi bahkan menunjukkan bahwa kurangnya pengakuan sosial dapat meningkatkan risiko complicated grief, yaitu kondisi ketika kesedihan menetap dalam jangka panjang dan mengganggu fungsi kehidupan sehari-hari.
Illegitimate grief juga berdampak pada cara seseorang memaknai hubungannya dengan kucing yang telah meninggal. Alih-alih mengenang hubungan tersebut dengan hangat, individu bisa terjebak pada penyesalan, pertanyaan yang tidak terjawab, dan perasaan kehilangan yang tidak selesai.
Pada akhirnya, psikologi menegaskan bahwa yang menentukan berat-ringannya duka bukanlah siapa atau apa yang hilang, melainkan makna hubungan tersebut bagi individu. Ketika kehilangan kucing diperlakukan sebagai duka yang tidak sah, yang terluka bukan hanya perasaan, tetapi juga kesehatan mental dan relasi sosial orang yang berduka.
Mengakui keberadaan illegitimate grief berarti membuka ruang empati yang lebih luas. Bukan untuk menyamakan semua bentuk kehilangan, tetapi untuk memahami bahwa setiap duka layak dihormati ketika ia lahir dari sebuah ikatan yang nyata.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
