Bukan Sekedar Like dan Share
Eduaksi | 2025-12-23 07:36:18Di era digital yang dimana jempol kita bergerak lebih cepat daripada logika, kita sering kali terjebak dalam jebakan fatamorgana . Hanya karena sudah menggugah dan menekan tombol like pada poster ucapan selamat hari besar, memberikan like pada kutipan tokoh bangsa, atau membagikan video patriotik yang emosional. Realitanya ada jurang lebar antara apa yang kita bagikan dengan apa yang kita lakukan. Sementara itu di balik layar ponsel, perilaku kita justru sering kali menjajah martabat sesama manusia. Namun,apakah mungkin bahwa Pendidikan Pancasila hanya bertujuan menciptakan aktivis layar sentuh yang jago berestetika tapi gagap dalam bertika? Jika Pendidikan Pancasila hanya berhenti pada urusan share konten, maka kita sedang membiarkan nilai luhur bangsa ini akan pudar dan mati ditangan algoritma media social.
Sila Kedua "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab", kini menghadapi ujian terberatnya: cancel culture. Media sosial telah berubah menjadi pengadilan massa yang haus darah atas nama moralitas, kita merasa berhak menghakimi, mempermalukan, hingga mematikan karakter seseorang secara kolektif tanpa proses tabayun atau keadilan yang semestinya.
Di sini letak ironinya. Pendidikan Pancasila mengajarkan keadaban. Namun di ruang digital, kita justru sering kehilangan empati. Kita lupa bahwa di balik akun yang kita serang, ada manusia berdarah dan berdaging yang memiliki martabat. Saat jari kita lebih cepat menghujat daripada memahami, di situlah nilai kemanusiaan kita sedang mengalami kemunduran massal.
Fenomena flexing atau pamer kekayaan yang berlebihan juga menjadi tamparan bagi keadilan sosial dan kemanusiaan. Di tengah masyarakat yang masih berjuang secara ekonomi, mempertontonkan kemewahan yang tidak masuk akal bukan hanya soal gaya hidup, melainkan bentuk ketidakpedulian social.
Pendidikan Pancasila seharusnya melahirkan "Empati Digital". Ini bukan soal melarang orang menjadi kaya, tapi soal menumbuhkan rasa kepedulian pada terhadap ruang publik digital milik bersama. Ketika empati mati, flexing menjadi candu, dan jurang kecemburuan sosial semakin melebar. Sila kedua menuntut kita untuk "tenggang rasa", sebuah konsep yang seolah punah diterjang arus pamer kemewahan yang tidak punya etika.
Sudah saatnya Pendidikan Pancasila bebas dari belenggu teks hafalan yang membosankan.Kita harus sepakat bahwa tolak ukur keberhasilan mata pelajaran ini bukan lagi tentang nilai angka sempurna di atas kertas, melainkan seberapa beradab kita di kolom komentar dan seberapa bijak kita menggunakan jempol kita.
Kita butuh perubahan empati. Pendidik dan orang tua harus mulai mengajarkan bahwa keberpihakan pada kemanusiaan harus melampaui validasi digital. Menjadi manusia yang adil dan beradab berarti memiliki kendali diri untuk tidak ikut dalam arus kebencian, tidak menjadi penyembah materi, dan selalu mengedepankan martabat orang lain di atas ego pribadi.
Kita butuh gebrakan nyata dalam cara kita menanamkan nilai kebangsaan. Pendidik,orang tua dan masyarakat harus mulai menekankan bahwa menjadi manusia yang adil dan beradab berarti memiliki kendali diri untuk tidak ikut dalam arus kebencian,tidak menjadi penyembah materi, dan selalu mengedepankan martabat orang lain di atas ego pribadi.
Pancasila jangan sampai menjadi arsip berdebu atau monumen kaku yang hanya dipuja lewat kata kata. Ia harus menjadi kompas yang hidup dan bergerak dalam setiap interaksi digital kita. Jika kita masih gemar melakukan cyber-bullying, merasa hebat dengan flexing, dan hobi menghakimi lewat cancel culture, maka sesungguhnya kita masih egois dan bahkan bisa dikatakan belum lulus dalam menerapkan nilai nilai pancasila. Meski jempol kita sudah membagikan ribuan konten kebangsaan.Karena pada akhirnya, menjadi Indonesia adalah tentang kualitas tindakan di dunia nyata dengan kualitas hati, bukan tentang seberapa banyak like yang kita dapatkan di dunia maya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
