Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Braja Mulyana

Macetnya Jalan Sidoarjo Surabaya Merampas Waktu Mahasiswa

Curhat | 2025-12-19 00:12:56

Kemacetan menjadi satu keluhan bagi mahasiswa di surabaya terutama bagi mereka yang PP dari sidoarjo, perjalanan itu bukan lagi sekadar rutinitas, tapi semacam tantangan yang harus dihadapi setiap pagi dan sore. Walaupun polanya sudah dipelajari & dianalisa: jam berapa biasanya macet, titik mana yang sering padat, dan kapan waktu paling aman untuk berangkat. Tapi lama-lama pola itu seperti tidak pernah benar-benar ada.

Sudah berangkat lebih pagi pun tetap kena. Pulang lebih malam, tidak ada bedanya. Ganti jalur, hasilnya tidak jauh beda. Rasanya macet itu muncul dari mana saja, kapan saja, tanpa aturan yang jelas.

Macet yang Rasanya Nggak Kenal Jam

Yang membuat frustasi adalah, jalur Sidoarjo–Surabaya itu benar-benar tidak bisa ditebak kapan jalanan akan lengang.

Pagi jelas macet. Sore juga sudah pasti. Tapi siang hari pun bisa tiba-tiba padat karena hal sepele, truk lambat, motor mogok, perbaikan jalan kecil, atau bahkan tanpa sebab yang jelas. Satu-satunya waktu yang aman hanyalah setelah subuh, dan malam setelah isya, yang notabenenya diluar jam produktif masyarakat

Pilihan rute pun tidak banyak membantu. Perempatan Gedangan hampir selalu menjadi titik “wajib macet”. Setelah itu, mau belok ke arah Juanda, lurus ke Waru, atau memutar lewat rute lain, semua terasa seperti sistem gacha. Terkadang menang, tapi lebih sering zonk. Dan bagi mahasiswa yang harus mengejar jam kuliah, rapat organisasi, dan ritme belajar, kemacetan ini bukan sekadar delay, tapi sesuatu yang menghabiskan energi sejak sebelum kegiatan dimulai.

Perasaan Bahwa Macetnya Semakin Parah

Pertanyaan ini terus muncul setiap kali terjebak di tengah antrean panjang kendaraan:

“Kok rasanya sekarang lebih parah daripada zaman SMK?”

Padahal dulu pun tetap ada macet. Tapi entah kenapa sekarang kesannya lebih padat, lebih padat, dan lebih padat lagi. Perbedaannya mungkin bukan pada kondisi jalannya, melainkan pada intensitas melewati jalur ini. Dulu tidak sesering sekarang. Dulu tidak punya kebutuhan untuk tiba tepat waktu setiap hari. Dulu ada jarak antara pengalaman dan persepsi.

Sekarang? Setiap hari harus menembus jalur yang sama, dengan tuntutan yang berbeda. Rutinitas yang berulang membuat persepsi ikut bergeser. Maka tidak heran jika muncul pertanyaan: apakah kondisi jalan yang berubah, atau justru saya yang kini lebih menyadari situasinya karena harus menghadapinya setiap hari?

Ditambah Lagi, Menjadi Tipe Pengendara yang Tidak Lincah

Faktor internal yang memperburuk nya ialah menjadi orang yang tidak pandai ngebut atau jago menyalip sana-sini dibandingkan orang lain. Lebih nyaman mengendarai motor dengan stabil, pelan, hati-hati. Ditambah lagi jika tipe motor yang dipakai tidak bisa diajak lari cepat.

Jadi ketika jalanan mulai padat dan orang-orang di sekitar bergerak gesit mencari celah, otomatis akan kalah dan justru makin ketinggalan. Arus jalan yang agresif itu sering menjadi tekanan yang besar. Mau cepat pun tidak bias, baik karena kemampuan berkendara maupun kemampuan motornya sendiri.

Penutup: Beban Jalanan yang Menjelma Beban Harian

Pada akhirnya, pertanyaan apakah jalur Sidoarjo–Surabaya benar-benar semakin macet mungkin tidak memiliki jawaban pasti. Yang jelas, aktivitas masyarakat meningkat, kawasan penyangga Surabaya berkembang cepat, sementara kapasitas jalan tidak bertambah secepat itu.

Namun lebih dari sekadar kemacetan, perjalanan ini membuat saya memahami bahwa rutinitas harian bukan hanya soal berpindah tempat, tetapi juga soal menghadapi tekanan kecil yang terus berulang. Macet tidak hanya menyita waktu, tetapi juga membentuk cara saya memaknai hari—bahwa kadang, yang membuat perjalanan terasa berat bukan hanya panjangnya antrean, tetapi kesadaran bahwa kita harus melaluinya setiap hari.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image