Teruslah Bodoh, Jangan Pintar
Sastra | 2025-12-07 15:39:01
Dalam hiruk-pikuk kondisi Indonesia hari ini, Teruslah Bodoh Jangan Pintar hadir sebagai tamparan halus namun menyakitkan tentang bagaimana kekuasaan, uang, dan kepintaran semu bisa menggerus kemanusiaan. Melalui ruang persidangan kecil berukuran 3×6 meter, Tere Liye menghadirkan potret getir perjuangan aktivis lingkungan dan warga kecil yang menggugat perusahaan tambang raksasa. Novel ini bukan sekadar cerita tentang konflik hukum; ia adalah cermin yang memantulkan wajah negara ketika aturan dapat dilipat oleh kekuatan modal, dan ketika keserakahan lebih lantang daripada suara alam maupun jeritan masyarakat terdampak. Membaca novel ini terasa seperti menyimak sidang yang juga terjadi di luar halaman buku: rill, pahit, dan begitu dekat dengan kenyataan Indonesia masa kini.
Kekuatan novel ini justru terletak pada keberaniannya menyentuh luka sosial yang sering kita abaikan kerusakan lingkungan, manipulasi kekuasaan, dan ketidakadilan struktural yang membelenggu kelompok rentan. Lewat rangkaian kilas balik, Tere Liye menyingkap bagaimana tambang yang “menghasilkan keuntungan” juga meninggalkan jejak air tercemar, tanah tandus, serta harapan warga yang dimatikan perlahan. Tokoh-tokohnya bukan pahlawan idealis yang menang dengan mudah; mereka manusia biasa yang bertarung di tengah sistem timpang. Kritik sosial yang diangkat tidak pernah terasa menggurui, justru mengalir lewat pengalaman, trauma, dan keberanian para saksi. Di sinilah bobot novel itu memuncak: ia mengajak pembaca menyadari bahwa tragedi lingkungan bukan hanya statistik, tetapi manusia dengan rumah, tubuh, dan masa depan yang ikut hancur.
Lewat judul provokatif Teruslah Bodoh Jangan Pintar, Tere Liye menegaskan bahwa “pintar” sering berubah menjadi topeng legitimasi bagi perilaku culas, sementara “bodoh” dalam arti tetap jujur, peduli, dan berani menjadi bentuk keberanian moral yang mustahil dibeli. Novel ini terasa sangat relevan dengan Indonesia sekarang, ketika perdebatan tentang tambang, lingkungan, korupsi, dan keberpihakan negara terus mengisi ruang publik. Esai kehidupan yang dipaparkan Tere Liye mengajak kita bertanya ulang: keberpihakan seperti apa yang ingin kita rawat? Pada akumulasi kuasa, atau pada nilai kemanusiaan yang semakin tersisih? Karena lewat novel ini, satu pesan terasa sangat kuat: di tengah dunia yang memuja kepintaran yang mematikan nurani, justru keberanian untuk tetap “bodoh” bisa menjadi bentuk perlawanan paling tulus untuk membela bumi dan sesama manusia
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
