Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Indah Kartika Sari

Dilema Ekonomi Sulit, Gen Z Jadi Takut Nikah?

Agama | 2025-12-05 10:35:27

Saat ini, banyak gen Z dihadapkan pada dilema besar, yakni menunda atau bahkan takut untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Fenomena ini bukan sekadar masalah mental individu, melainkan refleksi dari carut-marut sistem yang mendominasi kehidupan. Penyebab angka penurunan pernikahan Gen Z di Indonesia diantaranya karena alasan finansial yang belum siap menghadapi tingginya biaya pernikahan, tekanan ekonomi, dan kekhawatiran menjadi "generasi roti lapis" (sandwich generation). Mereka ingin memastikan stabilitas keuangan sebelum memikul tanggung jawab berumah tangga.

Selain itu mayoritas Gen Z lebih memprioritaskan pendidikan dan pengembangan karier sebagai tujuan hidup utama mereka. Pernikahan muda dianggap dapat menghambat ambisi pribadi dan profesional ini. Di sisi lain mereka insecure melihat tingginya tingkat perceraian, terutama dari generasi orang tua mereka, menimbulkan ketakutan akan kegagalan hubungan. Trauma masa lalu, seperti melihat hubungan orang tua yang buruk (broken home), membuat mereka berhati-hati dalam mengambil keputusan seumur hidup.

Belum lagi faktor kesiapan emosional karena harus menghadapi tekanan dan tanggung jawab perkawinan pada usia belia. Mereka ingin lebih siap secara mental dan emosional.

Di antara banyaknya alasan takut menikah, jelaslah bahwa kebanyakan gen z secara terang-terangan menilai kestabilan ekonomi jauh lebih penting daripada segera menikah. Hasrat untuk membangun keluarga mau tidak mau akan berhadapan dengan realitas biaya hidup yang mencekik. Alasan utama ketakutan ini bermuara pada lonjakan harga kebutuhan pokok, tingginya biaya hunian, dan ketatnya persaingan kerja dengan upah yang tak sebanding. Kondisi ini kian diperparah oleh narasi yang masif di ruang publik dan media sosial yang melabeli “marriage is scary” (pernikahan itu menakutkan), yang kian memperkuat ketakutan akan beban finansial pernikahan.

Ketakutan ekonomi sulit atau takut miskin ini bukanlah kebetulan, melainkan merupakan luka yang diakibatkan oleh sistem ekonomi Kapitalisme. Sistem ini secara simultan menciptakan ketakutan miskin karena tingginya biaya hidup, sulitnya lapangan pekerjaan, dan kecenderungan upah buruh yang ditekan serendah mungkin demi keuntungan para pemilik modal.

Tragisnya, Negara sebagai regulator cenderung lepas tangan dalam menjamin kesejahteraan rakyat. Dalam kerangka berpikir liberal, beban hidup sepenuhnya dipikul oleh individu (individualisme), bukan lagi menjadi tanggung jawab kolektif yang dijamin oleh negara.

Di saat yang sama, ketakutan ekonomi sulit di tengah-tengah ganasnya liberalisme tingkah laku menjadikan para gen z justru akhirnya terjebak pada perilaku bebas tanpa batas, gaya hidup materialis dan hedonis yang tumbuh subur. Hal ini dipicu oleh sistem pendidikan sekuler yang mengabaikan aspek spiritual dan moral, serta pengaruh media liberal yang mempromosikan gaya hidup bebas dan konsumtif. Akibatnya, pernikahan tidak lagi dipandang sebagai ladang kebaikan, ibadah, dan jalan melanjutkan keturunan, melainkan hanya sebagai beban finansial yang memberatkan dan membatasi kebebasan pribadi.

Untuk memutus mata rantai ketakutan menikah ini, diperlukan sebuah solusi fundamental yang kembali menempatkan kesejahteraan sebagai hak rakyat (termasuk gen Z). Tanggung jawab ini diemban oleh negara Khilafah yang akan menerapkan Islam secara keseluruhannya yang terkonstruksi secara utuh dalam bangunan peradaban Islam, diantaranya:

1. Negara Khilafah wajib menjamin kebutuhan dasar rakyat (pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan) dan membuka lapangan kerja yang luas melalui penerapan sistem ekonomi Islam yang mensejahterakan. Penerapan sistem ekonomi yang mensejahterakan ini mencakup pengelolaan milkiyyah ammah (kepemilikan umum, seperti sumber daya alam) oleh negara, bukan oleh swasta/asing. Hasilnya dikembalikan untuk kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, diantaranya melalui pendidikan dan kesehatan yang gratis dan berkualitas, yang secara otomatis mampu menekan biaya hidup secara drastis.

2. Negara Khilafah menerapkan pendidikan yang berbasis aqidah Islam untuk membentuk generasi berkepribadian Islam yang tidak mudah terjebak dalam hedonisme dan materialisme. Mereka justru menjadi penyelamat umat yang memandang pernikahan sebagai sarana ketaatan kepada Allah.

3. Negara Khilafah melakukan penguatan institusi keluarga dengan mendorong pernikahan sebagai ibadah dan pondasi penjagaan keturunan yang melahirkan pemimpin masa depan, bukan sekadar urusan individu dan keluarga saja. Bahkan Khilafah akan menjamin pernikahan bebas biaya.

Sejarah telah sedemikian cemerlangnya menggambarkan sosok Kholifah Umar Bin Abdul Aziz yang sangat mahir dan gemilang dalam memimpin bahkan pada saat itu konon sampai kesulitan menemukan orang miskin yang berhak menerima zakat. Tak terkecuali perhatiannya kepada para kaum jomlo (jomblo) pada masa itu. Sang khalifah masih merasa belum tentram dan khawatir jika ada rakyatnya yang masih sengsara ataupun terzhalimi. Simak dialog Beliau dengan para pegawainya ketika menemukan masih banyaknya harta baitul maal, “Coba carilah seandainya masih adakah para gadis dan perjaka (para jomblo) yang belum menikah semata-mata dikarenakan ketiadaannya harta. Maka seandainya kamu mampu (dana mencukupi) maka segeralah nikahkan mereka semua dan berilah (bayarkanlah) uang maharnya,” perintah sang khalifah pada pegawainya.

Demikianlah rasa takut menikah pada gen Z tidak akan terjadi jika mereka memperoleh hak-hak dasarnya dalam pangan, sandang dan papan. Mereka akan mudah pula memperoleh calon pasangan suami istri yang baik dan kesempatan untuk menyelenggarakan akad nikah dan walimah yang diimpikan, Dan itu semua akan terjadi manakala gen z hidup pada naungan sistem Khilafah yang mensejahterakan. Yuk gen z bangkit dan jadilah pelopor perubahan menuju Islam kaffah dalam naungan Khilafah.

Bahan Bacaan:

https://islami.co/khalifah-umar-bin-abdul-aziz-dan-perhatiannya-pada-kaum-jomblo/

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image