Islam Berkemajuan Dan Krisis Kapitalisme Modern
Politik | 2025-12-31 04:14:46
Dalam dekade terakhir, krisis kapitalisme bukan lagi sekedar jargon teori ekonomi, namun kenyataan empiris yang tak terbantahkan. Laporan terbaru World Inequality Report 2026 mengungkap bahwa kurang dari 0,001 % populasi dunia menguasai tiga kali lebih banyak kekayaan dibandingkan separuh penduduk termiskin di planet ini. Fakta ini bukan sekedar statistik, namun cerminan sistem nyata yang menciptakan jurang kelas dan ketidakadilan struktural yang menjulang tinggi. Pola distribusi kekayaan yang ekstrem ini menunjukkan bagaimana kapitalisme modern memperkukuh akumulasi modal di tangan segelintir elit, sementara dominasi dominan dalam ketidakamanan ekonomi yang berkepanjangan.
Dalam konteks seperti inilah pertanyaan mendasar muncul: bagaimana Islam Berkemajuan, sebagai wacana keagamaan-reformis yang berpijak pada etika moral dan keadilan sosial, harus menanggapi kapitalisme yang kini mengalami krisis legitimasi ini? Pertanyaan ini bukan sekedar akademis — ia adalah panggilan moral bagi umat dan intelektual Muslim untuk memahami dan menempatkan kembali nilai-nilai Islam dalam kerangka perubahan sosial-ekonomi yang mendalam.
Islam Berkemajuan, terutama sebagaimana dirumuskan oleh gerakan intelektual Islam di Indonesia seperti Muhammadiyah melalui “Risalah Islam Berkemajuan”, menegaskan bahwa Islam bukan hanya urusan ritual privat tetapi juga sistem nilai yang mesti meresap ke ruang publik, termasuk ekonomi. Konsep ini menolak dualisme antara iman dan realitas duniawi, serta menuntut pemikiran Islam yang konstruktif, terbuka, dan kontekstual terhadap dinamika dunia modern.
Hal pertama yang perlu diakui adalah bahwa kapitalisme modern, sebagaimana kita lihat hari ini, telah melampaui sekadar pasar bebas — ia telah menjadi mesin struktur sosial yang menghasilkan konsentrasi kekayaan tanpa henti. Dominasi pasar dan akumulasi modal telah memicu ketimpangan yang terganggu di banyak negara, termasuk negara-negara demokratis sekalipun. Laporan global juga menunjukkan bahwa sebagian besar orang dewasa di berbagai negara memandang ketimpangan kekayaan sebagai masalah besar yang menuntut reformasi fundamental terhadap sistem ekonomi saat ini.
Krisis ini juga bukan hanya ekonomi, namun juga etika. Kapitalisme yang terlanjur memuja laba sebagai tujuan utama menempatkan nilai-nilai seperti solidaritas, kemanusiaan, dan kesejahteraan bersama di pinggiran. Akibatnya, bukan hanya jurang kekayaan yang melebar — tetapi juga jurang peluang, akses pendidikan, dan bahkan kesehatan. Ketika modal memegang pengaruh besar atas demokrasi dan kebijakan publik, sistem menjadi semakin lengket dalam mempertahankan status quo perekonomian yang timpang.
Dalam pemikiran Islam, prinsip-prinsip ekonomi bukan semata-mata tentang efisiensi pasar, tetapi tentang keadilan sosial, distribusi kekayaan yang adil, larangan riba, serta etika moral dalam aktivitas ekonomi. Sejumlah kajian akademik menunjukkan bahwa pemikiran ekonomi Islam mengharapkan mekanisme pasar bebas kapitalis yang mendorong akumulasi modal dan ekonomis tanpa batas serta mengeksploitasi praktik seperti riba dan gharar yang pada akhirnya memperlebar ketimpangan sosial.
Tokoh-tokoh Islam klasik dan modern pun tak ragu memberikan kritik tajam terhadap sistem ekonomi yang terlalu terikat pada logika pasar semata. Abul A'la Maududi, misalnya, pernah menyebut kapitalisme sebagai sebuah sistem ekonomi “iblis” yang menempatkan akumulasi harta sebagai tujuan tertinggi, sementara etika moral dan tanggung jawab sosial dipinggirkan.
Di Indonesia, semangat kritik serupa pernah dikemukakan oleh Haji Misbach, yang menolak klaim keras bahwa kapitalisme bisa menyejahterakan rakyat luas. Menurutnya, kapitalisme tidak pernah menghasilkan kesejahteraan yang merata — ia justru memperdalam jurang antara si kaya dan si miskin serta memelihara struktur eksploitasi kelas pekerja. Kritikan seperti ini menunjukkan bahwa umat Islam di Indonesia bukan sekedar pasif di hadapan sistem global; mereka menyadari betul kesan negatif dari penyampaian penuh pada logika pasar bebas.
Namun kritik Islam terhadap kapitalisme tidak serta merta menempatkan Islam sebagai anti pasar. Banyak pemikir kontemporer menyadari bahwa pasar sebagai mekanisme distribusi mempunyai peran dalam perekonomian modern, tetapi Islam menganjurkan batasan etis dan aturan moral yang tidak dapat dinegosiasi — seperti larangan riba, kewajiban zakat dan sedekah untuk redistribusi kekayaan, serta berorientasi pada kemaslahatan umum. Dalam beberapa sudut pandang ini, justru Islam Berkemajuan tidak menolak seluruh aspek ekonomi pasar, namun menolak pasar yang tak terkekang secara etis.
Bagaimana dengan wawasan progresif Indonesia yang paham lebih luas tentang kapitalisme dan sistem global? Mereka berpendapat bahwa kritik harus lebih mendasar — tidak hanya soal distribusi kekayaan, tetapi juga struktur sosial-politik yang menopang dominasi modal atas demokrasi. Tan Malaka, misalnya, melihat bahwa perjuangan umat tertindas tidak bisa lepas dari analisis imperialisme global dan kapitalisme internasional — di mana kaum pekerja dan rakyat kecil harus bersatu dalam perlawanan terhadap struktur ekonomi yang menindas. Selain Tan Malaka, Dalam khazanah pemikiran politik Indonesia, hampir tidak ada tokoh yang mengkritik kapitalisme sekeras dan setajam Sukarno. Kritiknya bukan sekadar retorika anti-Barat, melainkan refleksi ideologis yang lahir dari pembacaan mendalam atas penderitaan rakyat jajahan. Bagi Sukarno, kapitalisme bukan sekadar sistem ekonomi, tetapi sebuah struktur penindasan yang melahirkan ketimpangan sosial dan perampasan martabat manusia.
Pendekatan progresif seperti ini sebenarnya memiliki resonansi yang kuat dengan nilai-nilai Islam Berkemajuan jika kita melihat Islam bukan sebagai dogma formalistik, tetapi sebagai inspirasi moral untuk membentuk masyarakat yang adil dan berimbang. Islam Berkemajuan menolak teologi totalitarianisme dan totalitarianisme pasar — keduanya merupakan bentuk dominasi yang mengekang kebebasan individu dan menegakkan martabat manusia.
Data terbaru dari berbagai lembaga internasional menampilkan bahwa pertumbuhan ekonomi global saat ini tidak lagi menjamin pemerataan kesejahteraan. Pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) global diperkirakan melambat, sementara ketimpangan tetap tajam di banyak negara maju maupun berkembang. Di Indonesia sendiri, data statistik perekonomian menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan masih menjadi salah satu tantangan besar, meskipun ada penurunan dalam beberapa indikator tertentu.
Dalam menghadapi kenyataan ini, Islam Berkemajuan menawarkan sebuah visi yang tidak sekedar menolak kapitalisme, tetapi membayangkan sebuah tatanan ekonomi yang berkeadilan, beretika, dan pro-kehidupan. Nilai-nilai seperti keadilan distributif, tanggung jawab sosial, dan prioritas pada kesejahteraan umum — bukan akumulasi modal ekstrim — harus menjadi landasan. Ini adalah panggilan moral yang tidak bisa diabaikan: menyelamatkan manusia dari kesengsaraan ekonomi bukan hanya tentang reformasi ekonomi, tetapi tentang kebangkitan etika sosial.
Krisis kapitalisme modern adalah panggilan ulang bagi umat Islam untuk memperjelas kembali konsepsi ekonomi yang berpihak pada kemanusiaan, bukan untuk modal semata. Islam Berkemajuan harus menjadi jembatan bagi percakapan baru antara tradisi moral Islam dan tantangan zaman — bukan sekadar retorika, tetapi praktik nyata dalam membangun ekonomi yang manusiawi, adil, dan lestari.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
