Lebih dari Sekadar Jas Putih: Kisah di Balik Lelahnya Para Tenaga Kesehatan
Info Sehat | 2025-11-14 13:13:56Seorang dokter terlihat berlari tergesa-gesa di lorong rumah sakit. Suara roda bangsal yang berderit bersahutan dengan langkah cepatnya, menembus keheningan dini hari. Di atas bangsal, seorang pasien terbaring lemah, dan di sekelilingnya, wajah-wajah tegang para petugas kesehatan berpacu dengan waktu. Adegan ini bukanlah pemandangan langka, inilah rutinitas di balik pintu ruang gawat darurat yang menyimpan sejuta asa di dalamnya.
Banyak orang tidak menyadari bahwa di balik jas putih dan senyum tenang seorang dokter, tersimpan kelelahan yang tak terukur. Jam kerja di rumah sakit tidak selalu manusiawi. Dalam kondisi tertentu, seorang dokter bisa menjalani shift hingga 32 jam tanpa jeda penuh, terutama di unit-unit vital seperti IGD, ICU, atau ruang operasi.
Pergantian shift yang panjang ini membuat batas antara siang dan malam nyaris tak berarti. Di saat orang lain beristirahat di malam hari, tak jarang tenaga medis justru memulai “pertempuran” berikutnya dalam melawan waktu, penyakit, dan kadang, ketidakpastian hidup.
Namun pekerjaan seorang dokter tak berhenti di meja operasi atau ruang perawatan intensif. Setelah menangani pasien yang tak sadarkan diri, mereka masih harus melakukan visite dengan menemui pasien satu per satu, meninjau kondisi mereka, memberikan penjelasan kepada keluarga, dan mendengarkan kekhawatiran mereka. Di sinilah letak tantangan yang sering kali tak tertulis di buku kedokteran, komunikasi.
Seorang dokter tak cukup hanya pintar dan terampil, tapi juga harus mampu berbicara dengan hati. Dalam situasi genting, keluarga pasien bisa diliputi panik, marah, atau putus asa. Di saat seperti itu, dokter harus tetap tenang, menjelaskan kondisi medis sejelas mungkin tanpa menghilangkan empati.
Inilah yang disebut dengan komunikasi efektif dan terapeutik, kemampuan menyampaikan pesan dengan jelas, empatik, dan penuh kehangatan untuk mendukung proses penyembuhan pasien. Komunikasi seperti ini tidak hanya membangun kepercayaan antara dokter dan pasien, tetapi juga memiliki efek terapeutik yang nyata.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa pasien yang merasa dipahami oleh tenaga medis cenderung lebih kooperatif dan menunjukkan respon penyembuhan yang lebih baik. Melalui kata-kata yang menenangkan, kontak mata yang tulus, dan pendengaran yang penuh perhatian, dokter sesungguhnya sedang memberikan “obat” lain yang tak kalah penting: rasa aman.
Sayangnya, dalam realitas sosial kita, dokter sering kali menjadi pihak pertama yang disalahkan ketika sesuatu tidak berjalan sesuai harapan. Banyak kasus ketika kondisi pasien memburuk, keluarga langsung menuduh dokter lalai, padahal sang dokter sudah berupaya maksimal sesuai etika dan ilmu kedokteran. Profesi ini pun seakan berdiri di antara dua tebing menjulang, tanggung jawab moral untuk menyelamatkan nyawa dan tekanan emosional dari ekspektasi masyarakat yang sangat tinggi.
Namun di rumah sakit, dokter tidak pernah berdiri sendiri. Di balik setiap tindakan medis, ada tim besar yang bekerja bahu membahu, mulai dari tenaga laboratorium, apoteker, petugas kebersihan, hingga perawat, yang menjadi perpanjangan tangan kanan dokter dalam merawat pasien.
Perawat adalah sosok yang paling dekat dengan pasien. Mereka yang berjaga di samping tempat tidur, mengganti infus, mengukur tekanan darah, memastikan obat diminum tepat waktu, dan kadang menjadi tempat curhat bagi pasien yang kesepian. Saya sempat mewawancarai ibu saya, seorang perawat yang telah bekerja puluhan tahun lamanya, tentang bagaimana rasanya bekerja di lingkungan penuh lika-liku itu.
Beliau bercerita bahwa dinamika di rumah sakit sangat kompleks. “Kami harus sigap setiap saat, kadang pasien datang dalam kondisi kritis, dan dokter memerlukan data cepat. Di situ kerja sama antara dokter dan perawat jadi sangat penting,” katanya.
Ia juga menambahkan bahwa hubungan antara dokter dan perawat bukan hubungan atasan-bawahan, melainkan kemitraan profesional. “Kami saling melengkapi. Dokter punya keputusan medis, tapi kami juga turut andil memastikan perawatan berjalan lancar dan manusiawi.”
Dalam konteks komunikasi terapeutik, perawat bahkan memiliki peran yang tak kalah penting. Mereka berinteraksi paling sering dengan pasien, mendengarkan keluhan, memahami emosi, dan menyalurkan informasi antara pasien dan dokter.
Dengan tutur lembut dan empati, seorang perawat sering menjadi jembatan emosional yang membantu pasien merasa dipahami dan didukung. Hubungan yang hangat ini bisa menjadi bagian dari proses penyembuhan itu sendiri.
Ketika ditanya soal kesulitannya, beliau menjawab, “Yang paling berat itu bukan capek fisik, tapi tekanan batin saat pasien tidak tertolong. Tapi kami belajar untuk tetap profesional. Kami ingat bahwa setiap usaha adalah bentuk pengabdian.” Lalu bagaimana cara mereka menanggulanginya? Dengan saling menguatkan, berbagi cerita, dan tetap berpegang pada tujuan utama untuk sepenuh hati menolong orang lain.
Cerita ini menjadi pengingat bahwa dokter dan perawat bukan hanya profesi, melainkan panggilan jiwa bentuk abdi jasa bagi kesehatan masyarakat. Mereka bekerja di antara batas tipis antara hidup dan mati dengan dedikasi yang sering kali tidak terlihat di depan layar. Di balik senyum hangat dan langkah cepat mereka di lorong rumah sakit, ada semangat pengabdian yang luar biasa besar.
Mereka bukan pahlawan yang mencari sorotan, melainkan manusia biasa yang memilih untuk tetap berdiri ketika banyak orang memilih beristirahat. Mereka yang berjaga di tengah malam, menenangkan pasien yang kesakitan, dan memberi harapan baru bagi mereka yang hampir menyerah untuk terus menggenggam asa dalam benaknya.
Zahrani Dwi Aryanti
Fakultas Kedokteran - Universitas Airlangga
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
