Levis dan Nike, Puisi di Tengah Peradaban
Gaya Hidup | 2025-11-12 07:16:37Penulis : Muliadi Saleh
Ada dua nama yang bila disebut, seolah menghadirkan bukan sekadar benda, tapi semesta makna. Levis dan Nike. Dua kata yang lahir dari dua dunia berbeda, namun sama-sama menjelma menjadi bahasa tubuh peradaban manusia modern. Levis berasal dari tambang dan peluh, dari tangan-tangan yang menambang emas dan menjahit nasibnya sendiri dalam kain biru yang keras dan jujur. Nike berasal dari mitologi dan mimpi, dari sayap dewi yang melambangkan kemenangan dan langkah yang tak mau berhenti.
Levis adalah bumi, Nike adalah langit. Yang satu melekat di tubuh dengan kesederhanaan pekerja, yang lain menapak di tanah namun berlari di udara mimpi. Dalam keduanya, manusia menemukan cermin tentang dirinya sendiri — antara keteguhan dan keberanian, antara akar dan sayap.
Kain biru Levis pertama kali dijahit untuk para penambang di California, ketika abad masih muda dan dunia masih terbuka bagi siapa saja yang berani bermimpi. Dari tangan-tangan yang retak oleh kerja keras, terciptalah sebuah pakaian yang bukan hanya menutupi tubuh, tapi menuturkan kisah. Kain itu menyerap keringat, debu, dan ketulusan. Ia menjadi lambang kesederhanaan yang tak lekang oleh zaman. Levis mengajarkan bahwa keindahan tak selalu bersinar; kadang ia tersembunyi di antara serat yang mulai pudar dan lipatan yang mulai lusuh.
Setiap sobekan di lututnya, setiap pudar di pinggirnya, adalah catatan waktu. Levis bukan mode, ia kenangan. Ia tidak berteriak, tidak memburu sorot cahaya, tapi diam-diam menjadi bagian dari kisah manusia yang terus bekerja, terus bertahan, terus menua dengan jujur. Dalam diam itu, ia menyampaikan pesan lembut: keindahan lahir dari ketulusan yang dibiarkan berjalan bersama waktu.
Sementara itu, Nike lahir dari semangat yang berbeda. Ia terbuat bukan dari tambang, tapi dari api mimpi dan napas perjuangan. Ia adalah simbol dari gerak yang tak mau berhenti, dari keyakinan bahwa batas hanyalah bayangan yang bisa diterobos. Nike tidak menjual sepatu semata; ia menjual keyakinan bahwa manusia mampu lebih dari yang ia kira. “Just do it,” katanya — sebuah kalimat sederhana yang mengguncang dunia karena berbicara kepada sisi paling liar dalam diri manusia: keberanian untuk mencoba.
Nike mengajarkan bahwa tubuh bukan penjara, melainkan sayap. Ia adalah napas kemenangan yang tak selalu tentang podium, tapi tentang diri sendiri yang tak menyerah. Jika Levis adalah puisi tentang keteguhan, maka Nike adalah lagu tentang perjuangan. Yang satu mengajarkan cara bertahan, yang lain mengajarkan cara melompat. Yang satu meneguhkan langkah, yang lain menyalakan semangat.
Menariknya, keduanya sering bertemu di tubuh yang sama — jeans di kaki, sepatu di bawahnya. Dalam kombinasi itu, manusia tanpa sadar menjadi metafora dari harmoni: berakar namun tetap bisa berlari. Levis menjaga agar kita tak melupakan tanah, sementara Nike mengingatkan agar kita tak takut pada langit. Bersama, mereka membentuk filosofi sederhana kehidupan: jangan terlalu tinggi hingga lupa asal, tapi jangan pula terlalu rendah hingga lupa impian.
Bayangkan seorang anak muda berjalan di trotoar kota. Ia mengenakan Levis lusuh dan sepatu Nike yang sedikit kotor. Di antara langkahnya, ia membawa dua hal yang diwariskan peradaban: kejujuran dan keberanian. Ia berjalan di antara lampu-lampu dan bayangan gedung, dengan mata yang memandang jauh ke depan. Dalam diamnya, ada doa yang tak diucap — doa untuk tetap kuat, dan doa untuk tak berhenti berlari.
Levis dan Nike, dalam bentuknya yang paling sederhana, adalah narasi tentang manusia itu sendiri. Levis adalah kenangan masa lalu — tentang akar, tanah, dan nilai-nilai yang menumbuhkan kita. Nike adalah masa depan — tentang keinginan untuk terus melampaui diri, untuk menembus garis akhir yang selalu bergeser. Dan di antara masa lalu dan masa depan itu, manusia berjalan, mencari keseimbangan antara ketulusan dan ambisi.
Levis mungkin akan berkata, “Aku menjaga agar ia tak lupa dari mana ia datang.” Dan Nike akan menjawab, “Aku memastikan ia tak berhenti menuju apa yang ia impikan.” Di situlah keindahan mereka bertemu — bukan dalam persaingan, tapi dalam kesalingan. Levis adalah ketenangan yang menahan, Nike adalah semangat yang mendorong. Bersama, keduanya menjadi bahasa dari tubuh dan jiwa manusia modern: berpijak dan melangkah.
Hidup, pada akhirnya, selalu membutuhkan keduanya. Kita butuh kekuatan untuk menanggung waktu seperti Levis menanggung usia, dan kita butuh keberanian untuk menembus batas seperti Nike menembus lintasan. Levis mengajarkan kesabaran; Nike mengajarkan keberanian. Levis berkata, “Jadilah kuat, karena waktu akan mengujimu.” Nike berbisik, “Jadilah berani, karena dunia menantimu.”
Mungkin tanpa kita sadari, dua nama itu telah menjadi doa yang kita kenakan setiap hari. Mereka menempel di tubuh, tapi sesungguhnya berbicara kepada jiwa. Mereka mengajarkan bahwa hidup bukan hanya soal bertahan, tapi juga soal melangkah; bukan hanya tentang menerima, tapi juga tentang berani menjemput kemungkinan.
Dalam setiap kain yang menua dan setiap langkah yang menapak, manusia terus menulis puisi tanpa kata — puisi tentang keteguhan dan kemenangan, tentang tanah dan udara, tentang diam dan gerak. Itulah puisi yang ditulis Levis dan Nike, bukan dengan pena, tapi dengan waktu dan kehidupan.
Dan mungkin, pada akhirnya, hidup ini memang sesederhana itu. Kita semua berjalan di jalan panjang waktu, mengenakan Levis di tubuh dan Nike di kaki — agar tetap sederhana, namun tak berhenti bermimpi. Agar tetap membumi, namun berani menembus langit. Karena manusia, pada dasarnya, adalah makhluk yang berakar di tanah, tapi selalu rindu pada langit.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
