Haram yang Dipersoalkan, Hikmah yang Ditinggalkan
Agama | 2025-12-29 11:54:17Penulis: Muliadi Saleh, Esais Reflektif
Kata haram dalam Islam bukan sekadar larangan. Ia adalah pagar, bukan penjara. Ia hadir untuk menjaga martabat manusia, bukan untuk memenjarakan kegembiraan hidup. Namun dalam perjalanan sejarah keberagamaan, pagar itu kadang menjelma tembok—tinggi, keras, dan dingin—hingga manusia lupa: apa sebenarnya yang dijaga, dan siapa yang seharusnya dilindungi.
Perdebatan tentang musik adalah contoh klasik. Ada yang mengharamkannya secara mutlak. Musik dipukul rata sebagai dosa. Lalu muncul pertanyaan sederhana namun mendasar: apanya yang haram dari musik? Apakah instrumennya—seruling, rebana, gitar? Apakah alatnya—kayu, senar, atau nada? Ataukah liriknya—yang mengajak pada maksiat, syahwat, dan kelalaian?
Al-Qur’an tidak menyebut kata “musik” secara eksplisit. Ayat yang sering dikutip adalah tentang lahwal hadits (perkataan yang melalaikan) dalam QS. Luqman: 6. Sebagian ulama menafsirkannya sebagai nyanyian yang menyesatkan, sementara yang lain—seperti Ibnu Hazm—menegaskan bahwa ayat ini tidak spesifik pada musik, melainkan pada segala hal yang melalaikan dari kebenaran. Dengan kata lain, yang dipersoalkan bukan bunyinya, melainkan dampaknya.
Hadis pun beragam dalam pemahaman. Ada riwayat tentang kaum yang menghalalkan zina, khamr, dan alat musik. Namun ada pula hadis sahih tentang Nabi membiarkan dua gadis Anshar bernyanyi di hari raya, bahkan bersabda kepada Abu Bakar, “Biarkan mereka, wahai Abu Bakar. Setiap kaum punya hari raya.” (HR. Bukhari). Rebana dipukul, suara bernyanyi terdengar, dan Nabi tidak melarang. Di sini, konteks menjadi kunci.
Para sufi bahkan memandang musik sebagai jembatan rasa. Jalaluddin Rumi menulis, “Dari seruling terpisah itulah rindu bernyanyi.” Bagi mereka, musik bukan hiburan kosong, melainkan getaran jiwa yang mengingatkan manusia pada asal-usul ruhnya. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menjelaskan bahwa musik bisa haram, makruh, mubah, bahkan dianjurkan—tergantung isi, situasi, dan pengaruhnya pada hati.
Hal serupa terjadi pada peringatan tahun baru Masehi. Ada yang mengharamkannya total: dilarang berkumpul, dilarang keluar rumah, seolah waktu itu sendiri najis. Lalu kembali kita bertanya: apanya yang haram? Apakah pergantian kalender? Apakah hitungan waktu? Bukankah Allah bersumpah atas waktu—wal ‘ashr, wal fajr, wad dhuha?
Jika tahun baru diisi dengan mabuk, maksiat, dan hura-hura, maka jelas yang haram adalah perilakunya, bukan tanggalnya. Namun jika ia diisi dengan muhasabah, doa, silaturahmi, dan harapan baru, maka ia menjadi ruang kebaikan. Umar bin Khattab sendiri menetapkan kalender Hijriah sebagai sistem administrasi—bukti bahwa Islam tidak alergi pada penandaan waktu.
Masalahnya, kita sering mengharamkan tanpa memilah. Kita sibuk menunjuk larangan, tapi lupa tujuan. Padahal kaidah fikih menyatakan: al-umur bi maqashidiha—segala perkara bergantung pada tujuannya. Islam datang untuk menjaga agama, jiwa, akal, harta, dan kehormatan manusia. Jika sebuah larangan justru mematikan akal, memecah persaudaraan, dan menghilangkan kasih sayang, maka perlu ditanya ulang: apakah itu ruh Islam, atau hanya wajah kerasnya?
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani pernah berpesan, “Jangan sibuk mencari kesalahan orang lain hingga engkau lupa memperbaiki hatimu sendiri.” Islam yang rahmatan lil ‘alamin adalah Islam yang tegas pada prinsip, namun lembut pada manusia. Ia mengharamkan yang merusak, bukan yang membahagiakan secara bermartabat.
Maka sikap kita hari ini adalah bersikap adil dalam memahami haram. Menjaga batas tanpa kehilangan hikmah. Menegakkan syariat tanpa mematikan cinta. Sebab agama ini bukan datang untuk mengeringkan kehidupan, melainkan untuk menyucikannya—agar manusia tetap manusia, dan Islam tetap menjadi rahmat bagi semesta.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
