Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Aditya Hasiholan Purba

Menggugat Makna Kepahlawanan : Dari Medan Juang ke Ruang Publik

Info Terkini | 2025-11-10 20:21:00

 

Setiap 10 November, bangsa ini menundukkan kepala mengenang mereka yang gugur di Surabaya 1945 mereka yang memilih mati demi kata “merdeka”. Namun setelah upacara usai, bendera diturunkan, dan wangi bunga makam menguap, pertanyaan itu kembali menggema: masihkah kita mengerti apa artinya menjadi pahlawan hari ini?

Dari Darah ke Integritas

Dulu, kepahlawanan identik dengan darah, peluru, dan medan perang. Kini, kita hidup di masa tanpa tembakan, tetapi penuh godaan untuk menyerah pada kenyamanan, kepalsuan, dan kompromi moral. Musuh bangsa tak lagi datang dari luar, melainkan dari dalam diri: korupsi, ketidakpedulian, intoleransi, dan keserakahan.Medan juang pun bergeser dari parit dan lereng gunung menjadi kantor, ruang kelas, laboratorium, hingga linimasa media sosial. Di sanalah pahlawan baru diuji: bukan dengan nyali menghadapi peluru, tetapi dengan keberanian menjaga integritas di tengah tekanan, tetap jujur di tengah kepalsuan, dan peduli di tengah apatisme.

Sayangnya, kepahlawanan kini sering berhenti pada seremoni. Nama-nama besar diabadikan di jalan, bandara, dan monumen, namun nilai-nilai yang mereka perjuangkan perlahan membeku. Kita pandai berpidato tentang perjuangan, tetapi gagap menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Hari Pahlawan berubah menjadi ritual formal yang kehilangan ruh. Padahal, kepahlawanan sejati justru lahir dari hal-hal yang tampak biasa: seorang guru yang tetap mengajar di pelosok tanpa fasilitas, jurnalis yang menolak disuap, dokter yang melayani di daerah terpencil, atau warga yang dengan sabar menjaga kebersihan sungai.Mereka mungkin tak tercatat di buku sejarah, tetapi merekalah wajah-wajah kepahlawanan masa kini pahlawan tanpa panggung, tanpa medali, namun dengan hati yang teguh.

Era digital menghadirkan tantangan baru. Kita hidup di tengah kebisingan banjir informasi, kabar palsu, dan pertengkaran tanpa ujung. Di tengah riuh itu, keberanian justru diuji dalam bentuk yang lebih sunyi keberanian untuk berpikir jernih, menolak kebencian, dan memilih empati di saat dunia sibuk berteriak.

Menjadi pahlawan hari ini berarti berani menyuarakan kebenaran tanpa menjatuhkan, berani berbeda tanpa membenci, dan berani peduli tanpa pamrih. Keberanian moral semacam ini sering kali tidak disorot kamera, tapi justru itulah yang menjaga bangsa ini tetap waras.

Kepahlawanan yang Membumi

Kita terlalu sering menganggap pahlawan sebagai sosok luar biasa padahal kepahlawanan justru lahir dari kebiasaan melakukan kebaikan meski kecil, tetapi konsisten.Pahlawan sejati bukan yang dielu-elukan, melainkan yang bekerja dalam diam. Ia hadir di tengah masyarakat yang berantakan dan memilih memperbaikinya, bukan mengeluh.Bangsa ini tidak akan maju hanya dengan mengenang para pahlawan; ia akan tumbuh jika setiap warga berani memikul sedikit beban tanggung jawab untuk menjadikan Indonesia lebih jujur, lebih adil, dan lebih manusiawi.

Menggugat makna kepahlawanan bukan berarti merendahkan jasa para pendahulu, melainkan menghidupkan kembali api yang mereka nyalakan. Pahlawan masa lalu menumpahkan darah untuk kemerdekaan; pahlawan masa kini menumpahkan keringat dan pikiran demi keberadaban.Kepahlawanan adalah energi moral yang tidak boleh padam. Ia bukan milik masa lalu, melainkan tanggung jawab masa kini.

Jika hari ini kita masih mampu jujur di tengah kepalsuan, adil di tengah ketimpangan, dan peduli di tengah individualisme, maka tanpa sadar, kita sedang melanjutkan perjuangan para pahlawan itu di medan juang yang berbeda, tapi dengan semangat yang sama.Selama bangsa ini masih memiliki orang-orang yang memilih jalan kebenaran, sekecil apa pun langkahnya, Indonesia tidak akan kehabisan pahlawan.

Merdekaaa!!!

 

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image