Sumpah Pemuda dan Krisis Gerakan Pemuda Hari Ini: Refleksi Kritis Menyongsong Indonesia Emas
Sejarah | 2025-10-27 17:22:14Ditulis Oleh: Ruslan Sudrajat Mahasiswa Magister Sosiologi UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Seruan luhur dari tahun 1928 itu bukan sekadar ungkapan kebangsaan, melainkan manifesto kultural-politik yang mengguncang struktur kolonial. Sumpah Pemuda lahir dari semangat kritis, kesadaran kolektif, dan keberanian kaum muda menantang tatanan ketidakadilan. Namun, sembilan puluh tujuh tahun setelahnya, gema itu terasa meredup di tengah kebisingan digital, seremonialisme, dan kooptasi kekuasaan.
Pemuda dalam Krisis Kesadaran Historis
Dalam perspektif sosiologis, generasi muda merupakan agen perubahan sosial (social change agent) yang memainkan peran penting dalam dinamika masyarakat. Menurut Karl Mannheim (1952), setiap generasi memiliki “kesadaran generasional” (generational consciousness) yang terbentuk dari pengalaman historis kolektif. Sumpah Pemuda 1928 menjadi titik kulminasi dari kesadaran generasi yang menolak dijajah bukan hanya secara fisik, tetapi juga mental.
Namun, generasi muda Indonesia hari ini tampak kehilangan kontinuitas kesadaran itu. Survei Indonesian Millennial Report (IDN Research Institute, 2023) menunjukkan bahwa 55,7% generasi muda lebih tertarik pada isu personal (karier, gaya hidup, dan finansial) dibanding isu sosial-politik. Fenomena ini menunjukkan pergeseran orientasi: dari nation-centered youth menuju self-centered youth. Pemuda tidak lagi memaknai “Indonesia” sebagai proyek kebangsaan yang perlu diperjuangkan, melainkan sekadar latar geografis tempat mereka mencari penghidupan.
Seremonialisasi Gerakan: Dari Ideologi ke Imitasi
Setiap tahun, Sumpah Pemuda diperingati dengan pidato, upacara, dan aktivitas-aktivitas simbolik. Namun, ritual tanpa praksis hanya menghasilkan kepatuhan simbolik. Kita menyaksikan bagaimana peringatan Sumpah Pemuda menjadi “tontonan nasional” yang kehilangan substansi reflektifnya.
Gerakan pemuda dan mahasiswa hari ini, dalam banyak hal, mengalami “depolitisasi sistemik”. Mereka mudah “diamankan oleh kekuasaan” melalui dua mekanisme: kooptasi struktural dan kooptasi simbolik. Kooptasi struktural terjadi ketika organisasi mahasiswa atau kepemudaan mendapatkan fasilitas, dana hibah, atau posisi politik sebagai imbalan loyalitas. Sementara kooptasi simbolik terjadi melalui pengakuan formal—diberi panggung, tetapi tanpa ruang kritik.
Dalam kerangka teori hegemoni Antonio Gramsci (1971), kekuasaan hari ini tidak lagi menindas secara represif, melainkan dengan cara membentuk kesadaran. Pemuda bukan lagi subjek perlawanan, melainkan objek rekayasa ideologis. Akibatnya, gerakan mahasiswa yang dahulu menjadi katalis perubahan—seperti 1966, 1974, dan 1998—kini terfragmentasi, kehilangan arah, dan tercerabut dari basis sosialnya.
Banyak Organisasi, Minim Gerakan
Data dari Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora, 2024) mencatat terdapat lebih dari 4.000 organisasi kepemudaan di Indonesia, mulai dari organisasi mahasiswa, karang taruna, hingga ormas kepemudaan berbasis partai dan agama. Namun, banyaknya organisasi tidak identik dengan kuatnya gerakan. Sebagian besar hanya eksis secara administratif, tidak memiliki agenda transformasi sosial yang jelas.
Fenomena ini dapat dijelaskan melalui teori instrumental rationality Max Weber. Orientasi organisasi pemuda bergeser dari rasionalitas nilai (wertrationalität)—yakni perjuangan berdasarkan idealisme—menjadi rasionalitas instrumental (zweckrationalität), yaitu mengejar kepentingan pragmatis seperti akses kekuasaan dan sumber daya. Di sinilah titik kritis: pemuda tidak lagi menjadi lokomotif perubahan, tetapi hanya penumpang yang menunggu arah komando.
Tantangan Pemuda di Era Digital dan Disrupsi Sosial
Tantangan terbesar pemuda masa kini bukan lagi kolonialisme fisik, melainkan kolonialisme digital dan ideologis. Arus informasi yang masif membentuk generasi yang cepat tanggap tetapi dangkal refleksi. Menurut survei We Are Social (2024), rata-rata anak muda Indonesia menghabiskan lebih dari 8 jam per hari di media sosial. Dunia digital memang membuka ruang partisipasi, tetapi juga menjerumuskan banyak pemuda pada aktivisme permukaan—apa yang disebut Zeynep Tufekci (2017) sebagai clicktivism: gerakan yang cepat menyala tapi mudah padam.
Dalam konteks ini, gerakan pemuda kehilangan dimensi epistemik dan praksis. Wacana kritis kalah oleh algoritma, idealisme ditelan konten hiburan. Padahal, seperti diingatkan Paulo Freire (1970), kesadaran kritis (critical consciousness) tidak lahir dari kenyamanan, tetapi dari proses refleksi terhadap realitas penindasan.
Menyongsong Indonesia Emas 2045: Jalan Sunyi Kemandirian Pemuda
Indonesia Emas 2045 sering digaungkan sebagai visi masa depan bangsa, tetapi visi itu akan tinggal slogan jika tidak disertai revolusi kesadaran pemuda. Bonus demografi akan menjadi “bencana demografi” jika generasi muda tidak mampu menjadi subjek perubahan.
Laporan Bappenas (2023) memperingatkan bahwa sekitar 23% pemuda Indonesia berisiko menganggur atau bekerja tidak sesuai kompetensi akibat ketidaksiapan menghadapi transformasi ekonomi digital. Artinya, tanpa kesiapan kognitif, etika, dan kemandirian, pemuda justru menjadi beban struktural pembangunan.
Karenanya, arah gerakan pemuda ke depan harus bertransformasi dari gerakan simbolik menuju gerakan substantif. Gerakan simbolik sibuk dengan atribut dan slogan, sementara gerakan substantif membangun kesadaran kritis dan kemandirian sosial-ekonomi. Pemuda perlu menegakkan kembali prinsip “otonomi kesadaran”, yakni kemampuan berpikir dan bertindak tanpa intervensi kekuasaan.
Menghidupkan Kembali “Etos Sumpah Pemuda”
Etos Sumpah Pemuda bukan semata soal nasionalisme, tetapi tentang kesadaran kolektif untuk melampaui sekat-sekat partikular. Ia adalah momentum rekonsiliasi antara etnis, kelas, dan ideologi. Dalam bahasa Émile Durkheim, ia merupakan bentuk solidaritas organik—persatuan dalam keberagaman fungsi sosial.
Tugas generasi muda hari ini bukan meniru Sumpah Pemuda secara literal, melainkan menafsirkan ulang secara kontekstual. Nasionalisme abad ke-21 bukan lagi tentang menolak penjajahan asing, tetapi tentang menolak ketergantungan struktural—baik ekonomi, politik, maupun digital.
Gerakan pemuda masa depan harus mampu menjawab tiga tantangan:
- Kemandirian pengetahuan — melahirkan pusat riset, forum diskusi, dan wacana tandingan.
- Kemandirian ekonomi — membangun basis ekonomi kreatif dan sosial yang berpihak pada masyarakat.
- Kemandirian politik — menciptakan ruang advokasi dan gerakan moral tanpa bergantung pada elite kekuasaan.
Dengan demikian, sumpah baru yang dibutuhkan hari ini bukan hanya “satu nusa, satu bangsa, satu bahasa”, tetapi “satu kesadaran, satu tindakan, satu arah perubahan.”
Dari Retorika ke Praksis
Sumpah Pemuda 1928 lahir dari keberanian melawan kemapanan. Generasi itu tidak menunggu “izin” untuk bergerak, mereka menciptakan sejarahnya sendiri. Hari ini, tugas kita bukan sekadar memperingati, melainkan melanjutkan spiritnya.
Pemuda Indonesia harus kembali menjadi katalisator peradaban, bukan sekadar penonton dalam panggung kekuasaan. Mereka harus menyalakan kembali api yang pernah berkobar di tahun 1928—api yang menyatukan gagasan, bukan sekadar menghangatkan seremonial.
Dan di tengah dunia yang penuh ketidakpastian, hanya satu hal yang pasti: tanpa pemuda yang sadar, Indonesia Emas hanya akan menjadi mitos yang tidak pernah mewujud.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
