Pelarian Virtual: Kaitan Game Online Dengan Hopeless Romantic dalam Perspektif Biopsikologi
Eduaksi | 2025-10-25 20:02:32
Di era digital ini, game online bukan sekedar tempat untuk hiburan, tetapi juga sebagai sarana interaksi sosial, pelarian stress, dan bahkan sebagai tempat untuk mengekspresikan emosi. Fenomena ini lebih menarik ketika dikaitkan dengan tipe kepribadian, seperti hopeless romantic. Orang-orang dengan pandangan idealis tentang cinta, yang penuh harapan dan mudah terlarut dalam fantasi emosional, sering kali menemukan bahwa dunia virtual, termasuk game online, bisa menjadi tempat yang aman untuk mengekspresikan imajinasi romantis mereka.
Fenomena pelarian virtual melalui game online berkaitan dengan cara otak merespons stres emosional dan kebutuhan akan kenyamanan. Ketika seseorang mengalami kekecewaan dalam hubungan atau cinta yang tidak terbalas, tubuhnya akan memproduksi hormon stres seperti kortisol. Hal ini menyebabkan ketegangan, kecemasan, dan dorongan untuk mencari aktivitas yang dapat meredakan stres. Sementara itu, otak juga berusaha menemukan sumber kebahagiaan baru untuk menggantikan rasa kecewa dan kekosongan yang dirasakan
Bagi orang yang memiliki sifat hopeless romantic, melarikan diri ke dunia virtual memberikan perlindungan dari kemungkinan ditolak dan kegagalan dalam cinta. Mereka bisa mengekspresikan kebutuhan emosional mereka melalui karakter dalam permainan. Dalam hal ini, pelarian virtual berfungsi sebagai cara bagi otak untuk menyeimbangkan emosi dan menghindari rasa sakit yang muncul akibat harapan romantis yang tidak terpenuhi. Namun, jika kebiasaan ini dilakukan secara berlebihan, bisa memperkuat ketergantungan pada simulasi dari luar.
Fenomena ini perlu dikaji dari sudut pandang biopsikologi, yang merupakan cabang psikologi yang mempelajari hubungan antara otak, sistem saraf, hormon, dan perilaku manusia. Dengan pendekatan ini, kita bisa memahami bahwa perilaku hopeless romantic dalam game online tidak hanya dipengaruhi oleh faktor psikologis dan sosial, tetapi juga sangat terkait dengan aktivitas biologis di otak.
Biopsikologi mengungkapkan bahwa pelarian semacam ini melibatkan keseimbangan yang rentan antara sistem limbik, yang berfungsi dalam pengaturan emosi, dan korteks prefrontal, yang mengatur pengendalian diri dan pengambilan keputusan yang rasional (Kalat, 2016). Ketika seseorang terjebak dalam pelarian virtual, sistem limbik cenderung lebih dominan, sehingga individu mengikuti dorongan emosional tanpa mempertimbangkan logika.
Dari perspektif biopsikologi, perilaku ini dipengaruhi oleh aktivitas sistem saraf dan fungsi neurotransmitter yang mengatur emosi, terutama dopamin, yang memberikan rasa bahagia dan penghargaan. Ketika seseorang merasakan kehilangan atau tidak mendapatkan cinta yang diinginkan, otak berusaha mencari sumber kesenangan lain untuk menyeimbangkan kadar hormon stres. Oleh karena itu, pelarian ke dunia virtual menjadi pilihan yang menarik dan memberikan ketenangan sementara.
Namun, pelarian yang berlebihan bisa mengganggu fungsi prefrontal cortex, yaitu bagian otak yang bertanggung jawab atas kontrol diri dan pengambilan keputusan. Hal ini membuat individu lebih mudah terpengaruh oleh emosi dan sulit untuk melepaskan diri dari dunia virtual yang menenangkan namun tidak nyata. Fenomena ini menunjukkan betapa dekatnya hubungan antara aspek biologis dan perilaku manusia, serta bagaimana otak dan tubuh saling bekerja sama dalam menghadapi tekanan emosional dan mencari kenyamanan.
Implikasi praktis dari penelitian biopsikologi ini menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara ekspresi emosi dan pengendalian diri. Mengambil waktu untuk bersantai sesekali bukanlah hal yang salah, tetapi kita harus menyadari bahwa kenyamanan sejati tidak sepenuhnya bisa didapat dari dunia maya. Mengembangkan mekanisme penanganan yang sehat, seperti meditasi, berolahraga, atau membangun hubungan sosial yang nyata, dapat membantu menyeimbangkan sistem dopamin dan hormon stres dalam tubuh. Dengan memahami dasar biologis dari perilaku ini, diharapkan individu dapat lebih bijak dalam mengelola emosi mereka, sehingga tidak terjebak dalam siklus pelarian yang membuat mereka terasing dari lingkungan sosial.
Selain sebagai cara untuk melarikan diri dari tekanan emosional, keterlibatan individu yang memiliki sifat hopeless romantic dalam permainan online juga bisa dilihat sebagai upaya untuk mencari jati diri dan mendapatkan pengakuan emosional. Di kehidupan nyata, orang-orang ini sering merasa kecewa karena harapan romantis mereka tidak sejalan dengan kenyataan. Permainan online memberikan kesempatan bagi mereka untuk menciptakan versi ideal dari diri mereka dan berinteraksi tanpa rasa takut akan penolakan. Karakter dalam permainan tersebut menjadi perpanjangan dari identitas emosional mereka sebuah tempat di mana mereka dapat mengekspresikan kasih sayang, perhatian, atau bahkan merasakan bentuk "keintiman" digital tanpa risiko terluka secara emosional.
Secara biopsikologis, pengalaman ini sangat terkait dengan aktivasi sistem penghargaan di otak, terutama di area ventral tegmental dan nucleus accumbens. Ketika seseorang bermain game dan mendapatkan respons positif, seperti kemenangan atau interaksi yang menyenangkan, otak akan melepaskan dopamin yang menghasilkan perasaan senang. Proses pelepasan dopamin ini memberikan efek yang mirip dengan perasaan jatuh cinta atau merasa diperhatikan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika individu yang romantis merasa lebih "hidup" di dunia game dibandingkan dengan kehidupan nyata, karena otak mereka mengaitkan pengalaman virtual tersebut dengan kebahagiaan emosional yang mendalam.
Namun, jika dopamin dilepaskan terlalu sering karena kebiasaan bermain yang berlebihan, sistem penghargaan di otak bisa menjadi tidak seimbang. Sensitivitas otak terhadap perasaan senang akan berkurang, sehingga individu perlu mendapatkan stimulasi yang lebih besar untuk merasakan efek yang sama. Ini menjelaskan mengapa beberapa orang merasa sulit untuk berhenti bermain game atau merasa kosong saat tidak online. Dari perspektif biopsikologi, kondisi ini mirip dengan mekanisme kecanduan, di mana otak terus mencari sumber dopamin meskipun efeknya tidak lagi memuaskan.
Dampak jangka panjang dari kondisi ini bisa bervariasi. Beberapa orang mungkin mengalami penurunan kemampuan sosial di kehidupan nyata karena lebih terbiasa berinteraksi dalam lingkungan yang terkontrol dan aman. Fungsi korteks prefrontal yang bertanggung jawab atas pengendalian diri dan pemrosesan realitas dapat melemah jika seseorang terlalu lama bergantung pada pelarian digital untuk menghindari tekanan emosional. Hal ini dapat mengurangi kemampuan untuk menghadapi kekecewaan atau menilai situasi dengan rasional.
Meskipun demikian, keterlibatan dalam game online tidak selalu berdampak negatif. Jika dimainkan dengan cara yang seimbang, game dapat membantu seseorang mengasah kemampuan berpikir strategis, kerja sama, dan bahkan empati. Kuncinya adalah menemukan keseimbangan antara kebutuhan emosional dan kesadaran rasional. Pendekatan biopsikologi memberikan pemahaman bahwa perilaku manusia, termasuk pelarian ke dunia virtual, melibatkan interaksi antara pikiran, otak, dan hormon. Dengan memahami mekanisme biologis yang mendasari perilaku ini, individu dapat belajar menikmati pengalaman di dunia virtual tanpa kehilangan koneksi dengan kenyataan.
Studi biopsikologi mengajarkan kita bahwa perilaku manusia dipengaruhi tidak hanya oleh faktor psikologis atau sosial, tetapi juga oleh proses biologis yang rumit dalam otak dan sistem saraf. Dengan pemahaman ini, diharapkan individu dapat menyeimbangkan antara kehidupan nyata dan dunia digital, serta memanfaatkan teknologi dengan bijak sebagai sarana untuk berekspresi dan bersenang-senang, bukan sebagai cara untuk melarikan diri dari kenyataan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
