Deg-Degan Saat Tampil di Depan Umum: Peran Sistem Saraf Otonom dalam Kecemasan
Eduaksi | 2025-10-21 13:40:56Mengalami perasaan “deg-degan” atau kecemasan saat harus berbicara atau tampil didepan umum merupakan pengalaman yang sangat sering dialami oleh banyak orang, mulai dari pelajar, pekerja, hingga public figure. Fenomena ini tidak hanya menimbulkan perasaan tidak nyaman, tetapi juga bisa mengganggu performa seseorang dalam situasi penting Sensasi ini sering muncul tanpa disadari dan dan melibatkan reaksi fisik yang cukup intens seperti jantung berdegup kencang, berkeringat, hingga tangan gemetar. Fenomena ini menarik untuk dikaji lebih mendalam dari perspektif biopsikologi karena dibalik rasa gugup tersebut terdapat mekanisme biologis kompleks yang menghubungkan otak, sistem saraf, dan hormon dalam tubuh manusia
Perasaan deg-degan saat tampil di depan umum daapat dijelaskan melalui peran sistem saraf otonom (SSO), yang merupakan bagian dari system saraf perifer yang mengontrol fungsi tubuh secara otomatis tanpa kesadaran, seperti detak jantung pernapasan, tekanan darah, dan pencernaan (Cleveland Clinic, 2023). Sistem ini terbagi menjadi dua, yaitu sistem saraf simpatik dan parasimpatik, yang memiliki fungsi berlawanan. Memahami anatomi dan fisiologi sistem saraf otonom berguna memperkirakan efek farmakologi obat-obatan baik pada sistem saraf simpatis maupun parasimpatis(Cahyono, Sasongko, & Primatika, 2009). “Beberapa studi empiris menunjukkan bahwa tugas berbicara di depan umum atau tugas evaluatif publik memicu aktivasi sistem saraf simpatik (misalnya peningkatan denyut jantung, aktivitas konduktansi kulit) dibanding tugas kontrol.” (Dōdō & Hashimoto, 2019; Patterns of Sympathetic Responses, 2008). “Dalam respons SNS umum terhadap stres atau ancaman (fight or flight), terjadi pelepasan hormon adrenalin dan norepinefrin yang memicu peningkatan denyut jantung, dilatasi saluran napas, dan penurunan aktivitas pencernaan.” (Cleveland Clinic, 2023). Perubahan ini bertujuan mempersiapkan tubuh untuk reaksi cepat terhadap ancaman, sehingga aliran darah lebih banyak mengarah ke otot dan otak untuk meningkatkan kewaspadaan. Namun, reaksi ini juga yang menyebabkan sensasi deg-degan, mulut kering, dan gemetar yang kerap dialami saat tampil di hadapan banyak orang (Shen, M. J., 2021).
Selain hormon, neutransmitter juga memiliki peran penting dalam mengatur kecemasan. Norepinefrin yang dilepaskan selama stress meningkatkan kewaspadaan berlebihan yang memicu gejala fisik kecemasan. Serotonin memengaruhi keseimbangan emosi dan mood, di mana ketidakseimbangan dapat memperburuk kondisi kecemasan. Gamma_aminobutyric acid (GABA) adalah neurotransmitter penghambat yang membantu menenangkan sistem saraf, penurunan aktivitas GABA sering dikaitkan dengan peningkatan kecemasan (Stuart, 2012). Lebih jauh, bagian otak yang bernama amigdala berperan sebagai pusat pengolahan emosi terutama rasa takut dan kecemasan. Amigdala merespons stimulus sesuai dengan arti tanda bahaya yang dirasakan oleh individu, dan memicu aktivasi sistem saraf otonom untuk menyiapkan respons terhadap ancaman tersebut. Salah satu aspek penting dari perkembangan otak remaja adalah maturasi sistem limbik yang berkaitan dengan regulasi emosi, serta perkembangan prefrontal cortex yang berhubungan dengan pengambilan keputusan dan kontrol diri(Rosbandi, T. A., 2024).
Menambahkan pada pembahasan ini, peran hippocampus juga penting dalam dalam proses kecemasan. Hippocampus membantu mengaitkan memori pengalaman masalalu dengan situasi saat ini. Bila seseorang pernah mengalami kegagalan atau rasa malu saat tampil, hippocampus akan mengimgatkan otak sehingga amgidala lebih mudah mersepons kecemasan ketika situasi yang sama muncul. Hal ini memperkuat reaksi fisik “lawan atau lari” yang menyebabkan sensasi deg-degan.
Dopamin, neurotransmitter yang berperan dalam motivasi dan reward, juga memiliki kontribusi dalam pengaturan emosi. Fungsi prefrontal cortex yang mengontrol pengambilan Keputusan dan menilai risiko sangat dipengaruhi oleh keseimbangan dopamin. Di saat stress, fungsi prefrontal cortex bisa menurun, sehinga kontrol terhadap amigdala berkurang dan kecemasan meningkat. Dengan demikian seseorang menjadi sulit mengendalikan rasa gugup dan deg-degan.
Faktor genetika juga berperan dalam kerentanan seseorang terhadap kecemasan sosial. Variasi pada gen pengatur serotonin dan GABA, misalnya pada gen serotonin transporter (5-HTTLPR), dan menyebabkan tingkat sensitivitas stress yang berbeda antar inidvidu. Hal ini menjelaskan mengapa beberapa orang lebih mudah mengalami deg-degan saat tampil dibandingkan yang lain.
Peran hormon tiroid dalam memperkuat aktivasi sistem saraf simpatik pun tidak dapat diabaikan. Ketidakseimbangan hormon ini, seperti pada hipertiodisme, dapat memperparah gejala kecemasan dengan meningkatkan detak jantung dan kegelisahan, juga menambah intensitas sensasi deg-degan.
Dari sudut pandang biopsikologi terapan, Teknik seperti biofeedback mengajarkan individu mengenali tanda fisiologis kecemasan dan menggunakan teknik pernapasan untuk menenangkan diri. Neurofeedback melatih gelombang otak agar berfungsi seimbang, menurunkan kecemasan dengan memperkuat kontrol prefrontal cortex terhadap amigdala.
Plastisitas otak juga berperan penting dalam proses ini. Latihan berulang dalam mengatasi ketakuan tampil didepan umum dapat mengubah konektivitas otak sehingga kemampuan mengatur emosi meningkat dan reaktivitas terhadap ancaman menurun. Dengan latihan, seseorang dapat membiasakan diri dan mengurangi sensasi deg-degan.
Sistem saraf simpatis dan parasimpatis selalu aktif dan aktivitas basalnya diatur oleh tonus simpatis atau tonus parasimpatis. Nilai tonus ini yang menyebabkan perubahan-perubahan aktivitas pada organ yang dipersarafinya baik peningkatan maupun penurunan aktivitas (Cahyono, Sasongko, & Primatika, 2009). Afirmasi positif dan perilaku kognitif juga efektif untuk membantu individu mengubah pola pikir negatif dan mengurangi kecemasan.
Kesimpulannya, perasaan deg-degan saat tampil di depan umum merupakan manifestasi fisiologis aktivasi sistem saraf otonom, neurotransmitter, hormon, serta peran otak limbik dan prefrontal cortex. Faktor genetika serta hormon internal turut memengaruhi intensitas sensasi tersebut. Melalui pemahaman biopsikologi ini, berbagai teknik relaksasi dan terapi dapat dioptimalkan untuk membantu individu mengelola kecemasan, sehingga seseorang dapat tampil lebih percaya diri dan maksimal dalam situasi sosial.
Cleveland Clinic. (2023). Sympathetic nervous system: fight or flight response. Retrieved from https://my.clevelandclinic.org/health/body/23262-sympathetic-nervous-system-sns-fight-or-flight
Shen, M. J. (2021). The cardiac autonomic nervous system: an introduction. Herzschrittmachertherapie+ Elektrophysiologie, 32(3), 295-301.
Dōdō, N., & Hashimoto, Y. (2019). Autonomic nervous system activity during a speech task: Heart rate variability analysis. Frontiers in Human Neuroscience, 13(166), 1–9. https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6518952/
Cahyono, I. D., Sasongko, H., & Primatika, A. D. (2009). Neurotransmitter dalam fisiologi saraf otonom. JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia), 1(1), 42-55.
ROSBANDI, T. A. (2025). Proses Neurologis dalam Perkembangan Otak Remaja: Sebuah Tinjauan Psikologi. literacy notes, 1(1).
Stuart, G. W. (2012). Principles and practice of psychiatric nursing (10th ed.). Elsevier Health Sciences.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
