Akan: Tempat Bersemayamnya Kebahagiaan, Kesedihan, dan Ketakutan
Sastra | 2025-11-01 16:10:48
Bahagia Itu Saat Belum, Bukan Saat Sudah
Kita sering salah paham. Kita kira bahagia itu datang setelah sesuatu berhasil, setelah sesuatu tercapai, setelah semua doa dikabulkan. Padahal, kalau kita jujur pada diri sendiri, kebahagiaan yang paling nyata justru hadir sebelum semuanya benar-benar terjadi — saat kita masih di fase akan.
Coba perhatikan: ketika kamu tahu besok akan dapat hadiah, akan jalan-jalan, atau akan bertemu seseorang yang kamu rindukan — bahagia itu sudah datang duluan, bahkan sebelum kamu benar-benar pegang hadiahnya, sebelum langkahmu sampai ke tempat yang dituju. Ada semacam getar kecil di dada, semacam rasa yang campur antara harapan dan imajinasi.
Lucunya, begitu semua terjadi, bahagia itu sering menguap begitu saja. Hadiah sudah diterima, perjalanan sudah selesai, orangnya sudah ditemui — tapi rasanya biasa saja. Karena ternyata, yang membuatmu bahagia bukan hasilnya, melainkan penantiannya.
Kata akan menyimpan rahasia: ia membuat manusia punya arah, punya rasa ingin tahu, punya harapan yang menyalakan hidup dari dalam.
Seperti orang yang sedang berpuasa — bahagia paling besar justru datang 15 menit sebelum adzan magrib. Ketika aroma gorengan sudah tercium dari dapur, ketika air putih di gelas tampak seperti madu, dan detik-detik terasa lambat seperti sedang disiksa waktu. Begitu adzan berkumandang, semuanya berubah jadi kenyang — dan kenyang tidak pernah seindah rasa lapar yang baru sebentar lagi berakhir.
Bahagia Itu di Perjalanan, Bukan di Tujuan
Saya pernah memperhatikan satu keluarga yang hendak berlibur ke pantai. Yang menarik bukan di mana mereka liburan, tapi bagaimana mereka menuju ke sana.
Di dalam mobil, semuanya heboh. Anak-anak sibuk berebut tempat duduk, ayah memasang lagu lawas yang entah kenapa terasa cocok sekali untuk perjalanan panjang, dan ibu sibuk memastikan bekal tidak ketinggalan. Semua tertawa, bercanda, menebak-nebak seperti apa pantai nanti — “airnya biru nggak ya?”, “ada es kelapa muda nggak di sana?”
Bahagia sekali. Padahal belum sampai.
Begitu mereka benar-benar tiba di pantai, suasana mendadak sunyi. Anak-anak sibuk main pasir sebentar lalu bosan, ayah rebahan di tikar, ibu membuka bekal dengan ekspresi datar. Pemandangan yang tadinya dibayangkan indah, kini terasa biasa. Bahagia yang tadi ramai dalam mobil ternyata tertinggal di jalan.
Begitu juga kita. Kita sering terlalu fokus pada hasil, pada pencapaian, pada garis akhir. Padahal bahagia justru sering bersembunyi di prosesnya — di perjalanan, di usaha, di harapan yang belum tercapai. Sama seperti hidup itu sendiri: yang paling bermakna bukan “sudah sampai di mana,” tapi “sedang menuju ke mana.”
Maka jangan buru-buru ingin sampai. Karena mungkin di sepanjang jalan itulah bahagiamu sedang berjalan di sampingmu — kamu saja yang terlalu sibuk menatap tujuan.
Rasa Bahagia yang Tidak Bisa Ditangkap
Kata akan membuat hidup terasa bergerak. Ia menciptakan ruang untuk rasa ingin, rasa penasaran, dan rasa rindu terhadap sesuatu yang belum terjadi. Dan manusia, tanpa sadar, justru menikmati ketidakpastian itu.
Coba ingat saat kamu menunggu seseorang datang ke rumah. Lima menit sebelum dia tiba, kamu sudah sibuk beres-beres, bolak-balik ke kaca, mengecek jam setiap dua menit. Itulah momen paling hidup — rasa akan bertemu.
Begitu orangnya datang, kamu tentu senang. Tapi ada sesuatu yang hilang: degupnya, tegangnya, harapannya. Seolah kebahagiaan itu cuma menitip sebentar, lalu pergi lagi tanpa pamit. Begitulah sifat kata akan: ia membuat rasa hidup, tapi sekaligus tak bisa dimiliki selamanya.
Kesedihan dan Ketakutan pun Tinggal di Kata “Akan”
Yang menarik, bukan cuma bahagia yang tinggal di kata akan. Kesedihan dan ketakutan pun hidup di sana.
Bayangkan seseorang yang sedang menunggu hasil tes kesehatan, atau pengumuman kerja, atau kabar dari seseorang yang sedang sakit. Saat menunggu itu, hatinya paling gelisah. Ia belum tahu hasilnya, tapi pikirannya sudah menulis semua kemungkinan buruk. Kesedihan terasa begitu nyata, padahal belum ada apa-apa.
Begitu kabar datang — meski buruk — justru ada rasa lega. Air mata tetap jatuh, tapi kini ada bentuk yang bisa dipeluk, bisa ditangisi, bisa diterima. Karena penderitaan yang paling berat bukanlah ketika ia datang, tapi ketika ia masih dalam perjalanan menuju kita.
Ketakutan pun begitu. Yang menakutkan bukan kenyataan, tapi bayangan. Yang membuat jantung berdebar bukan kejadiannya, tapi imajinasi kita tentang “akan bagaimana nanti.” Kita sering takut kehilangan sesuatu yang bahkan belum benar-benar kita miliki, atau takut gagal sebelum mencoba. Dan ironisnya, begitu hal itu terjadi, sering kali tidak semenakutkan bayangan kita sendiri.
Kata akan membuat pikiran manusia bisa melompat lebih jauh dari kenyataan. Ia bisa jadi tempat lahirnya semangat, tapi juga tempat tumbuhnya cemas.
Kematian: Takut Bukan Saat Mati, Tapi Akan Mati
Kematian adalah contoh paling jelas dari betapa kuatnya kata akan memengaruhi manusia. Manusia tidak takut mati. Yang menakutkan adalah akan mati.
Kita takut membayangkan sakitnya, sepinya, gelapnya. Kita takut pada kemungkinan kehilangan, pada “setelah itu bagaimana.” Padahal ketika saat itu benar-benar tiba, rasa takut berhenti bersama napas. Artinya, yang menakutkan bukan kematian itu sendiri, tapi proses menuju ke sana.
Hidup ini sebenarnya adalah perjalanan panjang antara dua sisi “akan”: belum mati dan akan mati. Dan di sanalah segala drama manusia berlangsung.
Orang yang sadar akan mati jadi lebih bijak. Orang yang lupa bahwa ia akan mati sering hidup terlalu berisik. Kata akan pada kematian mengingatkan kita bahwa hidup bukan sekadar menunda akhir, tapi tentang bagaimana memberi makna pada waktu yang tersisa.
Rumah Kecil Bernama “Akan”
Saya suka membayangkan kata akan seperti sebuah rumah kecil yang hangat di tengah dada manusia. Di sana, semua rasa tinggal bersama — bahagia, sedih, takut, rindu, dan harap. Mereka bergantian duduk di kursi yang sama, saling menatap tanpa bicara, menunggu giliran menjadi kenyataan.
“Akan menikah.” “Akan berangkat.” “Akan mencoba.” “Akan berhenti.” Semua kalimat itu membawa rasa yang berbeda, tapi punya satu kesamaan: hidup.
Selama manusia masih punya “akan,” berarti ia masih bergerak, masih penasaran, masih ingin mencoba lagi. Begitu kata “akan” hilang dari hidup, semuanya berhenti. Kita mungkin masih bernafas, tapi sudah kehilangan arah, kehilangan degup, kehilangan rasa ingin tahu.
Kata akan membuat manusia terus bermimpi. Dan mungkin, justru di situ letak rahmat terbesar dari Tuhan: manusia tidak pernah tahu pasti masa depan, agar ia terus berharap dan tidak berhenti berdoa.
Akan dan Ikhlas
Pada akhirnya, semua rasa yang lahir dari kata akan — bahagia, sedih, takut — hanyalah tamu. Datang silih berganti, tapi rumahnya tetap sama. Dan mungkin, satu-satunya cara untuk membuat semuanya tidak terasa terlalu berat adalah ikhlas.
Ikhlas menerima bahwa hidup memang berjalan di antara “belum” dan “akan.” Kita tidak akan pernah benar-benar siap untuk semuanya, tapi kita bisa belajar berdamai dengan ketidaksiapan itu.
Bahagia itu seperti mentari pagi — indah bukan karena sudah tinggi, tapi karena sedang naik. Begitu matahari sampai di atas kepala, sinarnya menyilaukan, dan kita justru mencari teduh. Begitu juga hidup. Kita indah saat sedang berproses, bukan saat sudah selesai.
Maka biarlah kita hidup di bawah sinar lembut kata akan — di fase menuju, di fase berharap, di fase takut tapi tetap melangkah. Karena di situlah hati masih berdebar, dan hidup terasa paling hidup.
Dan kalau pun semua itu belum terjadi, aku hanya akan bilang: “Ok, gapapa wes. Aku terima dengan ikhlas.” Karena mungkin di situlah bahagia terakhir tinggal — di antara kata akan dan ikhlas.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
