Job Hugging Melanda Kaum Muda, Cermin Buram Kapitalisme Global
Ekonomi Syariah | 2025-09-26 11:18:05
Fenomena job hugging kini menjadi isu yang banyak diperbincangkan di Indonesia maupun negara lain. Istilah ini menggambarkan kondisi ketika seseorang tetap bertahan dalam pekerjaannya, meskipun sudah kehilangan minat dan semangat, hanya demi alasan keamanan finansial. Situasi ini muncul di tengah maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK), melemahnya ekonomi, dan sempitnya peluang kerja baru.Sejumlah media nasional melaporkan fenomena tersebut. Kompas (19/9/2025) menulis bahwa banyak karyawan di Indonesia memilih bertahan pada pekerjaan yang tidak lagi nyaman. CNBC Indonesia (19/9/2025) dan CNN Indonesia (17/9/2025) menyoroti hal serupa di Amerika Serikat. Guru Besar UGM juga menyatakan, kecenderungan ini terjadi akibat ketidakpastian pasar kerja. Para lulusan perguruan tinggi yang diharapkan bisa menjadi penggerak bangsa, justru terjebak dalam kondisi stagnan, bekerja sekadar demi kestabilan pendapatan, bukan karena passion atau dedikasi.Jika ditelusuri lebih dalam, fenomena ini lahir dari kegagalan kapitalisme global. Sistem kapitalis meletakkan tanggung jawab penyediaan lapangan kerja pada sektor swasta, sedangkan negara melepaskan diri dari kewajiban tersebut. Perusahaan yang berorientasi laba tentu akan melakukan efisiensi ketika kondisi ekonomi melambat, termasuk melakukan PHK massal. Akibatnya, mereka yang masih bekerja merasa tidak punya pilihan selain bertahan, meski hati dan pikiran mereka lelah.Selain itu, arus liberalisasi perdagangan yang menjadi ciri kapitalisme membuat pasar kerja makin rapuh. Pendidikan tinggi pun diarahkan untuk memenuhi kebutuhan industri, bukan untuk mencetak generasi yang kokoh secara keilmuan dan kepribadian. Para mahasiswa dididik agar siap beradaptasi dengan pasar kerja, bukan untuk menciptakan perubahan yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Akhirnya, lulusan perguruan tinggi terjebak dalam lingkaran pekerjaan yang penuh ketidakpastian.Dalam kerangka kapitalisme, pekerjaan dipandang semata-mata sebagai alat bertahan hidup. Nilai spiritual, motivasi ibadah, maupun dorongan moral hampir tidak mendapat tempat. Maka tidak mengherankan jika job hugging makin marak: orang bekerja tanpa kebahagiaan, hanya sekadar mencari rasa aman finansial yang sejatinya rapuh.Islam menawarkan cara pandang berbeda. Dalam Islam, negara memiliki tanggung jawab penuh terhadap rakyat, termasuk dalam penyediaan pekerjaan. Hal ini ditegaskan dalam Muqaddimah Dustur pasal 153 yang menyatakan bahwa negara wajib menjamin tersedianya lapangan kerja. Dalam sejarah pemerintahan Islam, kebijakan untuk membuka lapangan kerja diwujudkan melalui beberapa mekanisme nyata.Pertama, pengelolaan sumber daya alam dilakukan langsung oleh negara, bukan diserahkan kepada swasta atau asing. Kekayaan tersebut dikelola untuk kepentingan rakyat sehingga menghasilkan sumber pembiayaan yang kuat bagi pembangunan sektor industri dan pertanian. Dengan demikian, terbuka banyak lapangan kerja baru.Kedua, negara mendorong industrialisasi yang fokus pada kebutuhan riil masyarakat, bukan pada kepentingan korporasi besar. Industrialisasi yang sehat akan menyerap tenaga kerja secara luas dan sekaligus memperkuat ketahanan ekonomi bangsa.Ketiga, Islam mengenalkan konsep ihyaul mawat, yakni pemberian tanah mati agar dihidupkan dan dimanfaatkan. Dengan begitu, rakyat memiliki kesempatan untuk mandiri secara ekonomi, tanpa selalu bergantung pada pekerjaan formal.Keempat, negara memberikan dukungan berupa modal, sarana, dan keterampilan bagi mereka yang membutuhkan, sehingga setiap individu memiliki peluang untuk bekerja secara layak dan halal.Semua kebijakan itu lahir dari paradigma bahwa mengurus rakyat adalah ibadah. Pendidikan dalam Islam tidak semata diarahkan agar generasi bisa “laku dijual” di pasar kerja, tetapi agar mereka tumbuh sebagai pribadi beriman yang bekerja dengan semangat ibadah. Pekerjaan bukan lagi sekadar alat bertahan hidup, melainkan jalan untuk meraih ridha Allah.Dengan demikian, kesejahteraan masyarakat dalam Islam tidak bertumpu pada mekanisme pasar. Negara melayani rakyat dengan penuh tanggung jawab dan dorongan spiritual. Rakyat pun dapat bekerja sesuai potensi mereka, bukan terpaksa bertahan pada pekerjaan yang menguras energi tanpa makna.Fenomena job hugging yang kini melanda generasi muda sebenarnya adalah peringatan keras. Ia menunjukkan bahwa sistem kapitalisme global gagal menyejahterakan rakyat. Menghibur kaum muda agar bersyukur meski terjebak dalam pekerjaan yang tidak mereka sukai jelas bukan solusi. Yang dibutuhkan adalah perubahan menyeluruh pada sistem yang menopang kehidupan ini.Islam melalui sistem Khilafah menawarkan jawaban komprehensif: menjamin kebutuhan dasar rakyat, membuka lapangan kerja secara luas, mengelola kekayaan alam untuk kepentingan umat, dan membingkai seluruh aktivitas ekonomi dengan aturan halal-haram. Dengan sistem ini, pekerjaan tidak lagi sekadar beban yang melelahkan, melainkan jalan ibadah yang memberi makna dan keberkahan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
