Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Afen Sena

Drone dan Industri untuk Umat sebagai Ijtihad Sosial NU

Eduaksi | 2025-09-22 09:59:09
Drone Industri Kebersihan Gedung

Di tengah derasnya arus disrupsi digital, inovasi tidak lagi lahir dari pusat-pusat industri raksasa atau laboratorium penelitian internasional saja. Dari Kabupaten Tangerang, muncul sebuah gagasan yang sederhana tetapi revolusioner: menjadikan drone sebagai instrumen pemberdayaan ekonomi umat. Inisiatif ini bukan sekadar tentang alat terbang kecil dengan kamera atau tangki semprot, melainkan sebuah visi yang memadukan ruh khidmah sosial dengan semangat kewirausahaan modern. Di saat banyak pihak masih memandang teknologi sebagai domain eksklusif, gagasan ini berani menempatkannya sebagai bagian dari ijtihad sosial, sebagai usaha kreatif untuk menjawab kebutuhan zaman dengan tetap berpijak pada kepentingan umat.

Kabupaten Tangerang adalah panggung yang kompleks. Di satu sisi ia menjadi rumah bagi kawasan industri modern, perumahan elite, pusat belanja, dan gedung-gedung pencakar langit yang menandai denyut urbanisasi. Namun di sisi lain, Tangerang juga adalah tanah agraris, dengan puluhan ribu hektar sawah, ribuan petani, dan komunitas desa yang masih berpegang pada cara tradisional. Kota ini juga sering menghadapi ancaman banjir musiman yang menelan korban dan kerugian. Ratusan pesantren berdiri di tengah dinamika tersebut, menjadi benteng tradisi sekaligus wadah regenerasi umat. Namun, pesantren dan pemuda desa sering kali belum sepenuhnya terkoneksi dengan dunia industri modern.

Kesenjangan inilah yang sesungguhnya menjadi ruang bagi lahirnya inovasi. Pertanian yang masih manual menuntut modernisasi. Industri properti yang tumbuh pesat memerlukan dokumentasi pembangunan yang efisien. Bencana alam yang berulang menuntut sistem mitigasi yang lebih cepat dan akurat. Gedung-gedung tinggi membutuhkan perawatan rutin yang aman dan efektif. Semua ini bukan sekadar problem, tetapi juga peluang pasar. Dan semua itu dapat dijawab dengan teknologi drone.

Drone mampu menghadirkan efisiensi yang luar biasa. Satu hektar sawah yang biasanya membutuhkan waktu berjam-jam untuk disemprot secara manual dapat diselesaikan hanya dalam 10 hingga 15 menit. Lahan wakaf atau kawasan properti dapat dipetakan dengan presisi tinggi dalam waktu singkat. Dokumentasi pembangunan yang biasanya memerlukan biaya besar dapat dihadirkan dengan kualitas visual yang memikat hanya dengan satu kali penerbangan. Dalam konteks kebencanaan, drone mampu menjangkau wilayah banjir dan memberikan data real-time bagi relawan serta pemerintah. Bahkan untuk kawasan perkotaan, drone yang dilengkapi sistem semprot bertekanan bisa menggantikan pekerjaan berisiko tinggi para pekerja rope access dalam membersihkan dinding kaca gedung pencakar langit.

Apa yang awalnya terlihat seperti alat mainan atau instrumen militer kini menjelma menjadi solusi lintas sektor. Dari sawah yang tenang di desa, dari jalan perumahan yang rapi di pinggiran kota, hingga facade hotel berbintang yang menjulang di pusat bisnis, semua memiliki kebutuhan yang bisa dijawab dengan satu instrumen yang sama.

Namun gagasan ini tidak berhenti pada teknologi. Ia diterjemahkan ke dalam kerangka bisnis sosial yang mengikuti logika startup. Fase awalnya adalah pelatihan dan sertifikasi. Santri dan pemuda desa dilatih mengoperasikan drone, menguasai teknologi agritech, serta memahami pemetaan dasar. Mereka tidak hanya menjadi operator, tetapi juga aset manusia yang siap masuk ke dunia industri. Dari pelatihan ini lahir operator bersertifikat yang bisa langsung bekerja atau membuka jasa mandiri.

Setelah itu, layanan drone dipasarkan ke sektor yang paling membutuhkan. Pertanian menjadi pintu masuk dengan harga jasa yang terjangkau bagi petani. Sektor properti menjadi pasar berikutnya, karena dokumentasi visual berkualitas tinggi semakin dibutuhkan dalam pemasaran dan pengawasan proyek. Layanan pemantauan banjir dan kebencanaan juga hadir, bukan dengan orientasi keuntungan, melainkan sebagai bentuk khidmah sosial. Sementara itu, layanan pembersihan gedung tinggi membuka pintu ke dunia urban dengan potensi pendapatan besar. Pasar untuk jasa ini tidak kecil, mengingat ratusan gedung bertingkat terus tumbuh di Tangerang dan sekitarnya.

Sumber pendapatan startup ini bukan hanya dari jasa layanan. Biaya pelatihan menjadi pintu masuk finansial, dengan peluang dukungan CSR dari perusahaan-perusahaan besar. Model ini memastikan akses pelatihan tidak terbatas bagi mereka yang mampu membayar penuh, tetapi juga bagi santri dan pemuda desa yang ingin belajar. Jasa layanan menghasilkan pemasukan berkelanjutan, sementara sektor properti dan pembersihan gedung tinggi berkontribusi pada profitabilitas. Sebagian pendapatan dari layanan sosial tidak menghasilkan uang langsung, tetapi memberi nilai legitimasi yang jauh lebih besar.

Agar keberlanjutan terjaga, koperasi drone menjadi entitas yang menampung semua aktivitas usaha. Koperasi ini berfungsi sebagai badan usaha kolektif yang mengelola arus pendapatan, membagi hasil dengan adil, dan menjaga keberlangsungan aset. Ia bukan sekadar instrumen finansial, tetapi juga instrumen sosial. Dalam koperasi ini, keuntungan tidak jatuh ke satu atau dua individu, melainkan kembali ke komunitas, organisasi, dan para operator. Inilah perbedaan mendasar dibandingkan startup komersial murni. Startup sosial berbasis koperasi ini tidak mengejar valuasi, melainkan keberlanjutan dan kebermanfaatan.

Seperti halnya startup lain, pertumbuhan menjadi agenda utama. Pada tahun-tahun awal, fokus diarahkan pada validasi model bisnis. Seratus operator dilatih, sepuluh drone dijalankan, dan ratusan hektar sawah mulai dilayani. Secara paralel, layanan dokumentasi properti diperkenalkan dan pasar untuk pembersihan gedung tinggi mulai dirambah. Tahun-tahun berikutnya diarahkan untuk memperluas skala, menambah jumlah operator, memperbanyak unit drone, dan memperluas segmen layanan. Dalam lima tahun, koperasi drone diharapkan menjadi pusat pelatihan regional sekaligus penyedia layanan berbasis platform digital.

Model bisnis ini tidak bisa berjalan sendiri. Ia bertumpu pada kolaborasi pentahelix yang menghubungkan berbagai pihak. Pemerintah hadir sebagai regulator yang memberikan izin dan kerangka kebijakan, sekaligus sebagai mitra yang bisa menugaskan proyek strategis. Akademisi menyumbangkan riset, merancang kurikulum pelatihan, dan memastikan sertifikasi operator sesuai standar industri. Industri menjadi pasar sekaligus mitra, baik di sektor pertanian, properti, maupun perawatan gedung tinggi. Komunitas, terutama petani dan masyarakat desa, menjadi basis sosial yang memberi legitimasi sekaligus penerima manfaat. Media memiliki peran penting dalam membangun narasi, menyebarkan capaian, dan mengangkat wajah NU sebagai organisasi yang inovatif.

PCNU Kabupaten Tangerang sebagai sebuah gagasan, tentu bisa tampil sebagai driver utama. Ia memiliki modal sosial dan kelembagaan yang sangat potensial untuk memobilisasi jaringan pesantren, memberi legitimasi kepada masyarakat, sekaligus menjembatani beragam kepentingan agar bergerak pada satu tujuan. Dengan kapasitas itu, PCNU bukan sekadar pelaksana teknis, melainkan orkestrator yang menyatukan inovasi teknologi dengan kebutuhan umat dan peluang pasar. Dalam konteks startup, PCNU dapat dipandang sebagai inkubator sosial yang menjaga arah program agar tetap berpijak pada khidmah sekaligus mampu bersaing di pasar.

Namun seperti semua startup, jalan ini bukan tanpa tantangan. Regulasi penerbangan sipil di Indonesia ketat dan mengharuskan operator drone untuk memiliki sertifikasi resmi. Kemandirian finansial juga harus dicapai secepat mungkin agar tidak terlalu lama bergantung pada CSR atau subsidi eksternal. Literasi teknologi di kalangan santri dan petani masih terbatas, sehingga dibutuhkan kurikulum berjenjang dan pendampingan berkelanjutan. Tata kelola koperasi pun harus dijaga dengan profesionalisme tinggi agar terhindar dari persoalan klasik seperti konflik internal dan lemahnya transparansi.

Meski demikian, peluang yang tersedia jauh lebih besar daripada hambatannya. NU memiliki basis sosial yang luas, jaringan kader yang besar, dan legitimasi masyarakat yang kuat. Semua itu adalah modal yang tidak dimiliki startup konvensional. Jika model ini berhasil di Tangerang, ia dapat direplikasi di cabang-cabang NU lain di seluruh Indonesia. Ribuan pesantren dapat menjadi pusat pelatihan drone. Jutaan santri dapat bertransformasi menjadi operator, teknisi, bahkan wirausahawan teknologi. Startup ini dapat mengubah wajah NU dari sekadar penjaga tradisi menjadi pionir masa depan.

Gagasan Drone untuk Umat tidak hanya soal bisnis, melainkan juga tentang arah baru pemberdayaan. Ia memadukan profitabilitas dengan solidaritas, teknologi dengan agama, tradisi dengan inovasi. Ia memperlihatkan bahwa startup tidak harus lahir di pusat kota atau di tangan investor asing, melainkan bisa tumbuh dari pesantren, dari desa, dari ruang kaderisasi. Drone hanyalah pintu masuk. Besok atau lusa, bisa jadi energi terbarukan, teknologi kesehatan, atau platform digital yang lahir dari ruang yang sama. Yang terpenting adalah fondasi: keberanian membaca zaman dan menjadikannya ladang ijtihad sosial.

Dari Tangerang, NU memberi pesan penting. Bahwa masa depan umat tidak hanya ditentukan oleh kitab, tetapi juga oleh kemampuan membaca realitas dan menjawabnya dengan inovasi. Bahwa santri bisa menjadi operator teknologi. Bahwa pesantren bisa menjadi inkubator startup. Bahwa organisasi sosial keagamaan bisa tampil sebagai pemain utama dalam industri modern.

Dan inisiatif ini lahir dari ruang diskusi para kader Penggerak NU alumni PD–PKPNU Angkatan 12 Kabupaten Tangerang. Dengan dukungan penuh PCNU sebagai penggerak utama dan ditopang kolaborasi pentahelix, mereka berani menjadikan teknologi sebagai ladang ijtihad sosial demi terwujudnya kemandirian umat

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image