Janji Lapangan Kerja, Realitas Dapur Rakyat
Politik | 2025-09-12 07:50:36PRESIDEN Prabowo beberapa kali mengklaim pemerintahannya telah menciptakan banyak lapangan kerja. Klaim itu seakan hendak menegaskan bahwa mesin ekonomi nasional sedang berputar ke arah yang benar. Sementara di sisi lain, Gibran Rakabuming Raka yang merupakan pendamping politiknya sekaligus Wakil Presiden berulang kali mengulang janji kampanye 19 juta lapangan kerja baru. Angka itu terdengar ambisius, bahkan bombastis, di tengah data riil yang justru dipenuhi kabar pemutusan hubungan kerja (PHK) massal beberapa bulan terakhir.
Kita mesti bertanya, dimana letak paradoks ini? Data Badan Pusat Statistik menunjukkan tingkat pengangguran terbuka pada Februari 2025 masih di kisaran 5,1 persen atau setara 7,8 juta orang. Sementara laporan berbagai asosiasi industri mencatat dalam enam bulan terakhir puluhan ribu pekerja di sektor manufaktur, garmen, dan teknologi justru kehilangan pekerjaan. Kontradiksi ini memperlihatkan jurang lebar antara narasi resmi dan denyut riil di lapangan.
Lebih jauh, program andalan “Makan Bergizi Gratis(MBG)" yang diperkenalkan pemerintah, alih-alih menjadi motor penciptaan lapangan kerja lokal, justru terjebak dalam pola lama yaitu tersentralisasi, dikuasai segelintir pemain besar, dan bermuka yayasan namun bertubuh konglomerasi. Skema yang mensyaratkan kapasitas 1.800-3.000 porsi per hari membuat UMKM lokal tersingkir sejak awal. Belanja besar pun lebih banyak keluar daerah, karena hanya pemain bermodal besar yang mampu memasok stok dalam jumlah besar dengan sistem distribusi panjang. Akibatnya, UMKM hanya jadi penonton, dan multiplier effect ekonomi desa nyaris tak terasa.
Padahal, hitungan kasar memperlihatkan potensi yang jauh berbeda bila MBG dikelola dengan pendekatan koperasi desa atau kantin sekolah-komite sekolah. Dengan kapasitas 300 porsi per hari, satu dapur koperasi membutuhkan investasi awal sekitar Rp170 juta. Nilai itu masih dalam jangkauan gotong royong desa, apalagi bila difasilitasi koperasi merah putih yang ditopang anggaran modalnya oleh pemerintah. Dengan skema sederhana, enam orang bisa langsung terserap sebagai tenaga masak, distribusi, dan administrasi. Biaya operasional bulanan sekitar Rp100 juta, sementara pemasukan dari kontrak pemerintah bisa mencapai Rp120 juta. Artinya, dalam tempo sekitar sembilan bulan, modal awal sudah bisa kembali, selanjutnya profit akan mengalir ke kas koperasi.
Jika logika ini diperbesar, 10.000 dapur koperasi saja mampu menyerap setidaknya 60.000 tenaga kerja langsung, belum termasuk ribuan petani, nelayan, peternak, dan pedagang kecil yang ikut menopang rantai pasok. Dampak ekonominya jelas lebih merata, uang berputar di desa, dan janji lapangan kerja tidak berhenti pada pidato politik.
Persoalannya, pemerintah tampak lebih memilih cara pintas, menyerahkan proyek besar kepada segelintir pemain mapan. Filosofinya masih warisan paradigma “trickle down economics”, yang dalam sejarah ekonomi Indonesia maupun dunia kerap terbukti gagal. Alih-alih menetes ke bawah, keuntungan justru menguap ke atas, meninggalkan sisa ampas untuk rakyat kecil.
Ironisnya, di saat banyak orang tua kehilangan pekerjaan dan kesulitan memenuhi gizi anak di rumah, negara justru membuka ladang emas bagi konglomerasi makanan. Anak-anak memang mendapat jatah makan, tapi harga sosial ekonomi yang dibayar adalah semakin menyempitnya ruang hidup UMKM lokal. Ini bukan hanya soal distribusi pangan, tetapi soal distribusi keadilan ekonomi.
Literatur pembangunan lokal dari para pemikir seperti Michael Lipton hingga Elinor Ostrom menekankan pentingnya “local ownership” dalam program sosial-ekonomi. Tanpa keterlibatan masyarakat sebagai pemilik dan pengelola, program besar negara kerap melahirkan ketergantungan, bukan kemandirian. Indonesia mestinya belajar dari kegagalan berulang proyek top-down, mulai dari swasembada pangan hingga BLT yang cepat habis tanpa meninggalkan bekas produktif.
Dengan desain berbasis koperasi desa, MBG bisa menjadi instrumen nyata penciptaan lapangan kerja. Tidak perlu menunggu investasi asing atau megaproyek padat modal yang rawan gagal. Satu desa, satu dapur, enam tenaga kerja. Jika ini direplikasi nasional, dampaknya bisa menyaingi janji 19 juta lapangan kerja itu.
Prabowo dan Gibran perlu menyadari, legitimasi politik tidak hanya ditopang oleh retorika angka, tetapi oleh fakta yang dialami rakyat setiap hari. Orang tua yang kehilangan pekerjaan, anak yang sulit makan bergizi di rumah, dan UMKM yang terus terpinggirkan adalah wajah riil yang menuntut jawaban konkret. Membiarkan program makan gratis menjadi mesin rente konglomerasi hanya akan memperlebar jurang ketidakadilan.
Pemerintah punya pilihan, apakah terus membanggakan angka-angka yang tak pernah menyentuh bumi, atau menata ulang skema agar desa, koperasi, dan UMKM menjadi pilar utama. Dari sanalah lapangan kerja sejati lahir, bukan dari statistik yang dikemas indah di podium.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
