Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muliadi Saleh

Narasi dan Refleksi Puitis Surah Al-Fatihah Ayat ke-6

Agama | 2025-09-02 13:06:13

Ayat 6 : TUNJUKILAH KAMI JALAN YANG LURUS

ٱهْدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ

Penulis : Muliadi Saleh

Narasi Puitis

Tuntunlah kami, ya Allah, ke jalan yang lurus. Sebab hidup ini adalah rimba raya yang penuh persimpangan. Ada jalan yang berliku dengan kilau harta, ada jalan yang dipenuhi gemerlap kuasa, ada jalan yang diselimuti kabut ego. Kami, manusia kecil yang mudah tergoda, tak tahu mana arah sejati tanpa cahaya-Mu.

Ayat ini adalah jeritan jiwa seorang musafir yang tersesat di padang luas. Ia berjalan di tengah gurun, haus dan letih, sementara kompasnya pecah dan bintang-bintang tertutup mendung. Ia hanya punya satu harapan: petunjuk dari langit. Maka, ia menengadah, berbisik penuh air mata:

ٱهْدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ

Jalan lurus itu bukan sekadar jalur jalan yang rata tanpa lubang. Ia adalah arah menuju Tuhan. Ia adalah keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara cinta dan takut, antara kerja keras dan tawakal. Jalan lurus itu adalah titian tipis, halus seperti rambut, tajam seperti pedang, membentang di antara dua jurang: jurang kemaksiatan dan jurang kesesatan.

Lihatlah bagaimana ayat ini begitu sederhana, namun mendalam. Hanya tiga kata: “tunjukilah kami”, “jalan”, dan “lurus”. Namun, di baliknya, terkandung seluruh kegelisahan manusia. Karena hidup adalah perjalanan tanpa peta, kecuali jika Allah sendiri yang menjadi penunjuk jalan.

 

 

Refleksi :

Ayat ini adalah inti doa dari seluruh Al-Fātiḥah. Jika ayat sebelumnya adalah ikrar (“Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan”), maka ayat ini adalah permohonan paling mendasar: bimbingan. Karena tanpa petunjuk, semua ibadah hanya gerakan kosong, semua doa hanya kata-kata tanpa arah.

Kata ihdinā (tunjukilah kami) mengandung makna yang dalam. Ia bukan hanya sekadar menunjukkan jalan seperti seseorang yang memberi alamat di persimpangan. Ia juga bermakna membimbing dengan penuh kasih, mengantarkan sampai tujuan, menjaga agar tidak tergelincir. Maka, doa ini bukan sekadar: “Ya Allah, tunjukkan kami jalan lurus.” Tapi juga: “Ya Allah, tuntun kami, genggam tangan kami, jangan lepaskan kami di tengah badai kehidupan.”

Lalu, apa itu "jalan yang lurus?" Para mufassir menjelaskan, ia adalah jalan Islam, jalan wahyu, jalan para nabi dan orang-orang saleh. Namun secara lebih dalam, jalan lurus adalah jalan menuju Allah dengan penuh keikhlasan. Jalan itu bukan jalan yang mudah. Ia penuh ujian, penuh godaan, penuh rintangan. Tapi ia adalah satu-satunya jalan yang membawa pada keselamatan.

Hidup manusia adalah perjalanan yang selalu berada di persimpangan. Setiap hari kita dihadapkan pada pilihan: jujur atau bohong, sabar atau marah, ikhlas atau riya, adil atau zalim. Setiap pilihan kecil itu adalah cabang jalan. Jika kita salah memilih, kita bisa tersesat jauh dari tujuan. Karena itu, doa ini menjadi kompas rohani yang kita baca berulang kali dalam shalat, agar setiap langkah kita diarahkan kembali ke jalan lurus.

Menariknya, kita tidak diminta berdoa “tunjukilah aku”, tapi “tunjukilah kami”. Artinya, kita tidak bisa berjalan sendiri. Jalan lurus adalah jalan jamaah, jalan kebersamaan. Kita butuh guru, kita butuh sahabat, kita butuh umat. Sebab siapa yang berjalan sendirian, mudah tergelincir dan terjerat oleh bisikan setan.

Refleksi lain yang lebih dalam: doa ini membuktikan kerendahan hati seorang hamba. Meski sudah beriman, meski sudah mengenal Islam, kita masih terus memohon: “Ya Allah, tunjukilah kami jalan yang lurus.” Mengapa? Karena hidayah bukan sekali untuk selamanya. Hidayah adalah proses yang harus dijaga, dipupuk, diperbarui. Seorang ulama berkata: “Banyak orang yang memulai hidupnya di jalan lurus, namun berakhir di jalan yang bengkok.” Karena itu, doa ini adalah tameng agar Allah tidak mencabut petunjuk-Nya dari kita.

Bayangkan jika doa ini hilang dari shalat. Shalat hanya menjadi gerakan fisik tanpa arah, ibarat kapal berlayar tanpa kompas. Tetapi dengan doa ini, setiap sujud kita menjadi sebuah deklarasi: “Ya Allah, aku ini rapuh, tunjukkan aku arah, jangan biarkan aku tersesat.”

Lebih jauh lagi, ṣ-ṣirāṭ al-mustaqīm bukan hanya jalan individu, tapi juga jalan kolektif sebuah bangsa. Ketika masyarakat terseret dalam arus korupsi, ketidakadilan, dan penindasan, doa ini menjadi jeritan sosial: “Ya Allah, tuntun kami, agar bangsa kami tidak hancur di jalan gelap, tapi menemukan cahaya keadilan dan rahmat.”

Ayat ini juga mengajarkan bahwa hidup adalah perjalanan spiritual, bukan sekadar keberhasilan material. Betapa banyak orang yang sukses dalam dunia, tapi tersesat dalam makna hidup. Betapa banyak yang memiliki rumah besar, kendaraan mewah, jabatan tinggi, tetapi kehilangan arah. Doa ini adalah pengingat: kekayaan dan jabatan bukan tujuan, ia hanya halte sementara. Tujuan sejati adalah Allah, dan jalan lurus adalah jalannya.

Pada akhirnya, ayat ini adalah doa yang tak pernah basi. Kita membacanya ratusan, bahkan ribuan kali sepanjang hidup. Karena memang setiap detik, setiap nafas, kita butuh bimbingan. Kita bukan musafir sehari, tapi musafir seumur hidup, berjalan di jalan yang panjang menuju keabadian. Dan tanpa cahaya Allah, kita hanyalah pengembara buta di padang yang tak bertepi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image