Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Michael Jovanny Ardi Prasetyo

Ngobrol di Era Digital: Ketika Emoji Menggantikan Tatapan Mata

Gaya Hidup | 2025-07-01 17:48:38
source : https://www.istockphoto.com/id
source : https://www.istockphoto.com/id

Di zaman serba digital ini, komunikasi telah berubah dengan sangat cepat. Kalau dulu orang harus bertatap muka untuk berbagi cerita, kini cukup kirim pesan di WhatsApp, DM di Instagram, atau bahkan cukup satu emoji untuk menyampaikan perasaan. Menariknya, meski kita lebih sering “bicara” lewat layar, komunikasi tetap berjalan. Tapi apakah benar komunikasi digital bisa menggantikan kehangatan komunikasi tatap muka?

Coba bayangkan percakapan seperti ini:

“Oke.” “Oke (emotikon senyum).” “Oke.” (tanpa emotikon)

Kalau kamu pembaca aktif pesan singkat, kamu pasti tahu bahwa ketiga “oke” itu bisa terasa sangat berbeda. Ada yang terdengar dingin, ada yang terasa ramah, dan ada pula yang ambigu. Di sinilah ilmu komunikasi berperan: memahami makna di balik pesan, bukan sekadar kata-katanya.

Ilmu komunikasi mengajarkan bahwa komunikasi bukan hanya soal apa yang dikatakan, tapi juga bagaimana cara menyampaikannya. Dalam komunikasi tatap muka, kita bisa membaca ekspresi wajah, intonasi suara, atau bahkan bahasa tubuh. Namun, dalam komunikasi digital, kita kehilangan banyak isyarat non-verbal itu. Akibatnya, satu kata bisa punya banyak tafsir—tergantung siapa yang membaca dan bagaimana konteksnya.

Maka muncullah "emoji" sebagai penyelamat. Emoji, GIF, dan stiker lucu bukan cuma hiasan, tapi telah menjadi bahasa baru dalam komunikasi era digital. Mereka membantu mengisi kekosongan ekspresi. Tapi di sisi lain, kita juga makin bergantung pada simbol. Tidak jarang, salah kirim emoji bisa menimbulkan kesalahpahaman.

Fenomena ini membuat banyak pakar komunikasi mulai mengkaji ulang bagaimana media memengaruhi makna. Komunikasi tidak pernah lepas dari konteks. Kita perlu lebih bijak dan sadar saat berkomunikasi lewat media digital. Misalnya, kalau ingin mengkritik teman, beda rasanya menulis: “Kamu salah.” dengan “Kayaknya ada yang perlu direvisi deh (emotikon senyum).”

Kalimat yang sama-sama menyampaikan koreksi bisa terasa lebih halus atau lebih menyakitkan tergantung cara menyampaikannya. Di sinilah pentingnya komunikasi empatik, kemampuan untuk memahami perasaan lawan bicara meskipun hanya melalui teks.

source : https://id.pinterest.com
source : https://id.pinterest.com

Ilmu komunikasi juga menekankan bahwa semakin banyak media, semakin tinggi pula risiko gangguan makna. Noise (gangguan dalam komunikasi) di era digital tidak lagi berupa suara berisik, tapi bisa berupa notifikasi yang mengalihkan perhatian, salah ketik, hingga delay balasan yang memicu overthinking.

Lalu, apakah komunikasi digital lebih buruk dari komunikasi langsung? Tidak selalu. Justru, ia membuka banyak peluang baru: long-distance relationship bisa tetap berjalan, diskusi kelompok bisa berlangsung lintas kota, dan promosi produk bisa viral dalam hitungan jam. Namun, kita tetap butuh kecerdasan komunikasi untuk bisa bertahan dan berhasil di era ini.

Akhirnya, komunikasi di era digital bukan soal memilih antara emoji atau suara, antara video call atau kopi darat. Tapi soal bagaimana kita tetap manusiawi dalam menyampaikan maksud, tetap peduli terhadap perasaan orang lain, dan tidak kehilangan makna sejati dari sebuah obrolan—meski hanya lewat layar kecil di tangan kita.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image