Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Siti Kholisoh

Di Balik Bayangan Kelam Sebuah Mahkota

Eduaksi | 2025-06-08 16:08:33
sumber gambar: canva.com

Pernahkah kita merangkai rumus impian yang tak kasat mata? Bukankah setiap keringat yang menetes dan membasahi dahi adalah molekul-molekul dedikasi yang bereaksi dengan semangat membentuk senyawa dedikasi dan kerja keras yang tulus ? Bukankah lantunan doa yang dipanjatkan adalah Upaya berharap hadirnya katalis Ridha Ilahi yang menjadi pelumas terwujudnya asa? Jadi Apakah kompetisi sejatinya bukan sekedar persaingan, melainkan laboratorium jiwa, berharap panen keberkahan pada hasil yang diraih.

Namun kenyataannya, di Tengah gemerlap Impian, perjuangan yang dibangun dengan peluh dan doa, tiba-tiba runtuh seketika. Mengapa? Karena ada data yang tidak sesuai kaidah, entah disengaja atau kelalaian, telah merenggut hak seseorang. Ini bukan sekedar angka-angka di atas kertas, melainkan ujian keimanan bagi semua. Akankah kita menerimanya?

Adakah nilai sejati dari mahkota juara yang ditempa dengan landasan ketidakadilan? Sebuah pertanyaan yang menusuk kalbu. Saat gemuruh sorak kemenangan tapi kemenangan itu berdiri di atas puing-puing kebenaran yang diabaikan. Ibadah itu apakah hanya sebatas ritual? Sejauh mana hati kita bergetar melihat kebatilan dan seberapa kuat kita berdiri di sisi keadilan?

Bukankah sebuah kompetisi itu idealnya adalah panggung keadilan, Tempat usaha dan nilai diukur seakurat mungkin? Bagaimana jika angka-angka yang katanya objektif itu justru “berkhianat”? Bagaimana jika hasil rekaman para juri yang telah susah payah menilai, sebagai bukti otentik yang seharusnya tak terbantahkan, tiba-tiba berbeda dengan yang diumumkan? Ini bukan sekedar kesalahan ketik atau input data yang bisa diampuni, melainkan ketidaksesuaian data. Sebuah anomali mencolok yang dengan Santai menodai transparansi. Bukankah Amanah terbesar itu adalah kejujuran di tiap digit, karena di situlah nilai sebuah kompetisi yang diridhoi Allah yang betul-betul dipertaruhkan?

Bayangkan, sebuah kompetisi telah selesai, nilai-nilai dikumpulkan, direkap, dan diumumkan. Namun dibalik semua itu, mana berita acara yang telah ditandatangani juri dan panitia? Ketika tidak ada, bukan kelalaian kecil, namun cacat prosedur yang fatal, yang melukai transparansi. Berita acara yang seharusnya menjadi bukti otentik dan saksi bisu kesepakatan dan keabsahan nilai, justru raib.

Skenario in kian menyesakkan dada, Ketika terbukti keliru data nilai, tapi enggan untuk revisi. Ini bukan kesalahan manusiawi tetapi anomali etika yang patut disoroti. Mengapa kebenaran yang sudah gamblang justru ditampik? Dalam syariat penolakan atas kebenaran adalah kezaliman yang nyata, yang merugikan peserta dan mencoreng Amanah dan kejujuran.

Amanah bukanlah sekedar janji atau tanggung jawab biasa, melainkan sebuah titipan Ilahi. Amanah yang diberikan kepada panitia penyelenggara yaitu berlaku adil, transparan, dan profesional dalam keputusan. Maka Ketika terjadi kesalahan input apalagi sengaja dan enggan direvisi, itu bukan lagi sekedar kesalahan teknis yang harus dimaklumi tetapi pengkhianatan terhadap Amanah tersebut. Tidak ada iman bagi orang yang tidak Amanah, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menepati janji (HR. Ahmad).

Rasulullah mengingatkan bahwa ketidakadilan adalah kegelapan di hari kiamat. Sebuah peringatan keras, dan bagaimana bisa ditoleransi ketiadaan berita acara penandatanganan juri dan panitia yang menjadi bukti konkret dari proses adil? Lebih jauh lagi, bagaimana bisa diterima penolakan revisi sebuah kekeliruan yang terang benderang? Ini bukan sekedar kesalahan administratif melainkan bentuk nyata ketidakadilan, mencoreng esensi sebuah kompetisi.

Ingatlah, tiap tetes keringat yang jatuh, tiap Impian yang disemai ketulusan hati, semuanya ada dalam perhitungan Ilahi. Merampas hak peserta sama dengan mencuri hasil jerih payahnya dan itu beban yang sangat berat yang akan menjadi tuntutan yang dipertanggungjawabkan kelak. Sejatinya tidak ada satu pun perbuatan yang luput dari catatan-Nya.

Dampak ketidakadilan itu sangat terasa, dan melampaui pahitnya kekalahan. Tidak hanya kecewa mendalam, namun juga rasa tidak percaya akan menggerogoti, bukan hanya pada panitia, tetapi kompetisi itu sendiri. Lebih dari itu perlahan membunuh semangat kompetisi dalam diri. Jika kejujuran tak lagi dihargai dan kebenaran tak lagi ditegakkan, lantas untuk apalagi diperjuangkan? Tragisnya, apa mungkin di dunia ini kecurangan adalah satu-satunya strategi jitu menuju kemenangan.

Mari renungkan Kembali niat dan Amanah yang diemban. Kekuatan sejati organisasi tidak hanya terletak pada kokohnya struktur atau megahnya acara, tetapi pada hati yang jujur dan integritas yang tak tergoyahkan. Di balik gemerlap bayangan sebuah mahkota kemenangan yang salah disematkan dalam sebuah kompetisi ini. Di setiap angka yang terpampang adalah amanah yang harus dijaga, dan setiap amanah itu ada pertanggungjawaban yang menanti di hadapan-Nya, sang pemilik keadilan sejati.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image